Kuliah Kerja Nyata, Senja diantara Telaga Bacak

Jangan anggap cinta datang dari persahabatan yang lama dan hubungan akrab. Cinta adalah anak keturunan kecocokan jiwa. Dan jika kecocokan itu tidak ada, cinta tak akan pernah tumbuh, dalam hitungan tahun bahkan generasi” – Kahlil Gibran.

Pagi ini begitu tenang, pekerja ibu kos sepertinya belum datang untuk membereskan ‘proyek’ pagar halaman, hanya beberapa suara burung kicau milik tetangga yang dari subuh tak henti mengeluarkan suara merdunya, pertanda pemilik rumah telah bangun sedari itu juga. Hari ini aku terbangun lebih awal, alarm yang kupasang di angka delapan, kali ini tak membangunkanku, aku bangun dua jam lebih cepat dari itu. Karena waktu untuk berangkat ke kantor masih cukup lama, aku putuskan untuk sejenak berjalan di sekitar kompleks kos, sekedar untuk menikmati bersihnya udara, dan rasa dingin pagi hari yang sering terlewat olehku. Suasana seperti ini sedikit banyak mengingatkanku tentang suatu masa, suatu peristiwa. KKN, Kuliah Kerja Nyata.

Menjelang kelulusanku di fakultas hukum salah satu universitas swasta di kota Yogyakarta, ada satu tahapan yang harus aku lalui sebelum aku menyandang gelar sarjanaku, yaitu program KKN. Pada tahun aku mengikuti KKN, Lokasi penempatan peserta ada di dua kabupaten yakni Kulon Progo dan Gunung Kidul. Kami, peserta KKN ditempatkan di dalam satu rumah yang biasanya milik kepala dukuh dengan jumlah enam hingga delapan anggota di setiap kelompok. Oleh Dosen Pembimbing, setiap kelompok diberikan tugas untuk membuat dua program kerja disamping program kerja masing masing individu. Salah satu program kerja kelompok kami adalah, membuat keripik yang berbahan dari daun singkong. Menarik bukan? yang pasti itu hasil dari kreatifitasnya rekan rekan kelompokku, bukan karenaku, Haha. Kelompok kami terdiri dari tujuh Mahasiswa, empat laki-laki, dan tiga perempuan. Kami ditempatkan di Padukuhan Monggol, Desa Monggol, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Sebuah padukuhan yang mayoritas wilayahnya merupakan hutan pohon jati, dengan jalanan cor blok semen, serta kontur tanahnya yang berbukit bukit. Dari kota kecamatan Saptosari, Monggol dapat ditempuh sekitar 15 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. Ketika pertama kali tiba di Dukuh Monggol, sebenarnya tak ada perasaan kaget, canggung atau semacamnya, secara aku adalah anak kampung juga. Hahaa, Hanya kadangkala memang harus berpura-pura, sebagai bentuk sama rasa sama rata, untuk mengimbangi hegemoni rekan kelompok yang bisa dibilang kesemuanya adalah anak kota. Hahaa

Rumah pak dukuh yang kemudian menjadi “posko” kami begitu asri, tenang, dan meneduhkan.. terhampar pekarangan yang cukup luas di sisi rumah, yang juga membatasi antara rumah tinggal dengan kamar mandi, empat meter di sebelah kanan kamar mandi terdapat dua bilik kandang ternak yang berbatasan dengan tanah pekarangan milik orang tua pak dukuh. Kemudian depan rumah, di bagian teras, berisi dua buah meja kayu dan beberapa kursi, menjadi tempat favoritku selama menjalani KKN, aku banyak menghabiskan waktu di teras posko. Selama satu bulan penuh kami tinggal di posko. Kebaikan keluarga baru ini membuatku sangat nyaman berada dirumah itu, dari ibu dukuh yang tak pernah lelah mengisi penuh meja makannya, Si is, anak pertama pak dukuh yang cool ala ala anak seuisanya, Ma’ruf si bungsu yang manja, lalu Iva dan Metha, dua gadis mungil yang selalu membuat suasana rumah menjadi hangat, mereka dengan kepolosannya sering membantu pelaksanaan program kerja kami, ataupun kadangkala sekedar menjadi pemandu ketika kami jalan keliling kampung. Hehee..

Selain menjadi aparatur desa, bertani, Pak dukuh juga seorang peternak, ia memiliki satu ekor sapi, serta beberapa ekor kambing jawa yang dipelihara di samping rumah, tapi syukur tokai para binatang ini tidak menimbulkan bau yang serius, karena jika menimbulkan bau tak sedap, mungkin program rencana kerja kelompok kami bukan membuat keripik daun singkong, tapi membuat pengharum ruangan dari daun singkong. Hahaa

Menjelang hari penerjunan peserta ke lokasi KKN, aku banyak melakukan observasi dengan senior di kampus yang pernah menjalani KKN, untuk persiapan saja. Hahaha, aku bertanya tentang bagaimana keadaan nanti disana, hal hal yang perlu aku bawa, cara mengusir kejenuhan dll. Namun kebanyakan para seniorku malah banyak bicara tentang yang namanya cinta lokasi, bahkan ada banyak cerita ekstrem tentang kisah percintaan peserta KKN, seperti putus dengan pacar di kota, pacaran dengan akamsi (anak kampung situ), hingga ada yang batal tunangan. Tapi jujur, menanggapi hal tersebut aku anggap biasa saja, saat itu tak ada ekspetasi sama sekali ke arah “cinta lokasi”, semua berjalan begitu saja, hingga di minggu kedua melalui perjuangan yang liar, terjal, brutal, membuat orang menjadi gempar.., singkat cerita di minggu kedua aku pacaran dengan salah satu rekan kelompok KKN.

Aku memperhatikan kunang-kunang di pinggiran sungai dengan cahanya yang menakjubkan dan membuatku menyadari jika kami dalam gelap ini bukanlah mahkluk penghuni malam dan tak dapat menguasai malam. Karena itu, lelaki pendayung kemudian mengangkat dayungnya ke arah langit seperti membuat isyarat, dan secara berangsur satu demi satu hingga kemudian dalam jumlah ribuan, kunang-kunang itu berkumpul di arah muka haluan perahu kami.”

Bukan, itu bukan sajak yang kubuat di posko, itu adalah sepenggal tulisan dalam Novel “Yin Galema” karya Ian Sancin. Kunang-kunang, serangga yang pada malam hari dapat mengeluarkan cahaya, bahkan menurutku, karena kunang kunang lahir karena alam, cahaya yang dihasilkannya jauh lebih indah dari lampu apapun, kecuali lampu dugem. Kubayangkan, berapa romantisnya jika kami duduk berdekatan berdua di teras posko, disinari lampu tuduh, angin semilir menembus kulit, dengan aroma badan yang khas seusai mandi. dan kemudian di sela-sela obrolan ringan kami, halus jemarinya menyentuh pipiku.. dia menatapku, kami semakin dekat.. jarinya pelan menggenggam jariku.. melewati celah rimbunnya daun jati, kami pandangi puluhan bintang yang tercecer dipenjuru langit. Malam itu, ketika Monggol semakin sunyi, kami hanya berdua, sedikit bicara, namun tidak dengan mata dan hati kami, kami saling mengisyaratkan bahwa aku miliknya, dan dia milikku. Tidak salah, tapi apakah kami masih berdua saja ? ah kurasa tidak. ada beberapa kunang-kunang yang terbang pelan di sekumpulan mawar, di sudut teras itu. Lalalaa.

Menjadi mas mas KKN… pada awalnya begitu sulit, dari rasa bosan yang melanda, hingga kerinduan pada teman teman di Kota Yogyakarta. Sangat ingin agar program KKN lekas usai. Berat rasanya meninggalkan kehidupan yang telah biasa aku lalui di Kota Yogyakarta, untuk tinggal di kampung dengan air terbatas, kondisi akses yang terbatas, suasana malam yang sepi, bahkan tanpa televisi. Namun sekarang aku sadari bahwa kebersamaan kami terlalu singkat. Ingin sekali mengulang semua cerita disana, berjalan pagi keliling kampung, berbelanja daun kangkung dan pepaya di pasar trowono, melihat kebun jagung disisi telaga, mendengarkan cerita pak aman yang selalu baru setiap malam, atau sekedar membunuh waktu bersama di posko mengerjai si “slamet”, pemuda tampan berkebutuhan khusus yang sudah beberapa tahun diasuh oleh bapak dukuh, dengan tag line andalan, “etengku olo” (wetengku loro/ perutku sakit), ”umun au” (nggumun aku/ heran aku), ataupun ”angan ae” (mangan wae/ makan aja). Karena slamet pula suatu malam rekan perempuan kelompokku dibuat takut setengah mati, slamet mengatakan pernah dicekik oleh pocong… hingga akhirnya kami semua tertawa terbahak bahak karena diakhir cerita, masih dengan raut muka yang serius, slamet mengatakan pertemuannya dengan pocong terjadi di dalam mimpi. Sungguh suasana ini tak mudah digambarkan dalam sebuah tulisan. Setiap detik di rumah itu sekarang menjadi kenangan yang akan sulit untuk pergi begitu saja dalam ingatanku.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, Bung Tomo, seorang revolusioner dari Surabaya pernah berucap kepada kekasih yang kemudian menjadi istrinya, demikian… “Seorang pejuang tidak akan mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka, Aku akan membahagiakanmu, dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku”. dua kalimat terakhir itu rasanya pernah aku sampaikan kepada wanitaku dulu. Hanya bedanya, karena saat itu aku belum begitu bisa membedakan antara hitam dan coklat, maka kemungkinan aku sampaikan itu dengan keegoisanku saja, karena yang terjadi, aku tak setiap saat membuatnya bahagia, akupun tentu sering membuatnya kecewa, namun aku yakin yang terjadi dengan Bung Tomo adalah sebaliknya. Dan sekarang, kepada wanitaku saat itu, dimanapun kau saat ini sedang duduk, aku mengajukan proposal permohonan maaf atas sebagian waktumu yang telah aku habiskan dengan percuma. Aku minta maaf.

14 Juli 2014, sementara aku menjalani program KKN, aku telah dinyatakan lulus dalam ujian sidang skripsiku. Saat ini aku telah bekerja di salah satu perusahaan swasta di kota Surakarta, dan ketika perusahaan tempatku bekerja membuka cabang di daerah perbatasan sukoharjo-wonogiri, aku ditugaskan untuk melakukan rekrutmen karyawan di beberapa sekolah tingkat atas di Wonogiri, di dalam mobil aku memegang peta yang telah disiapkan sebelumnya, melihat beberapa wilayah Wonogiri yang berbatasan dengan daerah Gunung Kidul, ingin rasanya mengarahkan mobil kesana, belum lagi disepanjang perjalanan disesaki dengan pemandangan hutan jati, khas daerah selatan jawa, persis, suasana yang sama kutemui saat melaksanakan KKN di Gunung Kidul. Situasi yang membuatku semakin merasa kembali dekat dengan Monggol, sebuah kampung yang dengan kerendahan hatinya mampu memberikan pelajaran kehidupan yang begitu berharga untukku. Seandainya saja kami punya cukup waktu, sekedar merasakan suasana di kampung itu, menikmati hangat ketika pagi menyapa, melihat setiap jejak yang pernah aku lakukan disana, atau, sejenak menikmati sejuk dan romantisnya sapuan angin di bawah rimbunnya pohon beringin di telaga bacak.

Terimakasih Monggol,

Terimakasih untuk setiap senyum dan keramahan cinta di tanahmu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Terkadang, hidup penuh dengan kadang-kadang.