[CERPEN] Kutunggu Kamu di Stasiun Tempat Kita Berhenti Nanti

Sabar, roda kereta masih bersengit dengan dinginnya besi rel.

Terhitung sudah 9 semester aku bernaung di Yogyakarta, yang katanya kalau mau belajar ya di sinilah tempatnya. Kalau mau pulang, silakan naik bis atau kereta. Moda terakhir inilah yang sering kupakai. Menuju rumahku di Bogor.

Advertisement

Stasiun Lempuyangan nyaris selalu kudatangi barang 10-15 menit sebelum pintu gerbong Progo ditutup. Selanjutnya, tinggal mencari tempat duduk sesuai tiket. Lalu memosisikan tubuh senikmat mungkin, sambil melihat-lihat sekeliling.

Ada kalanya seorang ibu kesulitan menggiring koper hingga membutuhkan bantuan untuk mengangkatnya naik ke rak besi. Segerombolan pemuda membopong carrier yang kemudian sigap melepas beban-beban di badan ketika bangku berhasil mereka temukan. Banyak juga yang hanya membawa satu atau dua tas berukuran sedang, lalu bergegas menelurkan ponsel dari saku celananya untuk kemudian mengabaikan semua yang berlangsung di sekitar

Perlahan, kereta mulai merangkak. Sambil sesekali menyergap layar ponsel, mataku masih menerawang ke depan. Ngikut insting saja, begitu. Terkadang, selintas pandanganku jatuh dan melekat pada seseorang di sana. Seorang wanita yang duduknya hanya beda tiga sampai empat bangku dariku. Ia berada dalam kondisi serupa; tak mampu mengontrol kebosanan sehingga dalam semilyar kemungkinan, mata kami berpapasan. Tak ada pula sedetik untuk sebuah pandangan pertama itu. Masing-masing langsung menoleh ke arah manapun yang kami mau.

Advertisement

Namun, entah. Memang saraf diciptakan untuk menghantarkan proses yang terjadi secara singkat, cepat, dan tepat mungkin. Habis celingak-celinguk, aku kembali mempertemukan pandangan. "Mempertemukan," karena kali ini keadannya pun sekejap, namun disengajakan. Lalu kembali mengalihkan tatapan masing-masing ke bebas arah. Aku menggerakkan jempol di atas ponsel, sementara ia dengan gemasnya bersender di bahu seorang pria.

"Tak' kuase aku!" kalau kata Sally alias Bang Saleh. Tapi tak apalah. Toh 8 jam ke depan aku tetap bisa berpetualang di fantasi yang kubuat, sehabis mengulang proses tatap-menatap tadi. Mencuri-curi waktu dari si mas yang acapkali merasa was-was dan menjaga betul kekasihnya. Apalagi di dalam kereta; bisa saja ada pria bodoh nan lugu yang memanfaatkan sempitnya waktu untuk mengagumi semesta dalam mata jelitanya.

Advertisement

Dan tak perlu waktu lama, aku menyerap semesta itu buat merangkai cerita indah tiada sudah. Aku tak pernah melibatkan si mas; buat apa juga. Yang kutahu, samar-samar tatapan sang wanita mengajakku untuk saling berucap salam nanti, ketika turun di Pasar Senen.

"Eh, halo mba….," kataku sambil malu-malu kucing.

"Iya mas. Tadi yang duduk di seberang saya kan ya?"

"Wah, mampus. Kok dia bisa ngeh sama aku…." kuberkata dalam hati. Rasanya makin mengucing saja sudah. 

"Eh, iya mba. Gimana tadi?"

Tadi apa pehuuul! Beginilah aku kalau sedang grogi, tidak jelas namun tetap berusaha waras.

"Nggg, apanya mas? Di kereta?" wanita yang ternyata tingginya sama denganku ini bertanya pelan.

"Eh, hehe. Iya."

"Yaa, agak dingin sih mas!"

"Ooh, hehe. Eh iya, Rokib aku mba. Mba-nya?", sambil menyodorkan telapak tangan kanan yang terbuka lebar, seperti senyumku. Cengengesan.

Sebenarnya lubuk hati menyarankan agar dirinya langsung pergi saja, takut-takut amal baik masih kurang. Namun di tengah kecanggungannya, sang wanita berani juga memperkenalkan diri.

"Ulfa.", disusul dengan sambutan tangannya yang lebih mungil sedikit dari kepunyaanku.

"Mas?"

"Oh ya! Maaf Mba Ulfa!" tanpa basa-basi langsung kugenggam erat tangannya.

Eh, maksudnya, kulepas genggamanku.

Kami berbincang dengan sedikit hahaha tapi banyak eheheh-nya, karena aku malu sekali padahal imajinasi ini aku sendiri yang bikin. Tak ayal, dinginnya malam di Pasar Senen serasa makin memeluk tubuh. Dari belakang. Bikin semriwing.

Obrolan seputar apapun berkelana dalam pusaran kata-kata kami. Untungnya aku tak perlu mencatat apa-apa saja yang baik darinya. Karena yakinlah aku, bahwa wanita ini adalah kata sifat itu sendiri.

"Stasiun Cirebon Prujakan. Harap hati-hati, pintu akan dibuka."

Rekaman suara dari seorang wanita yang tak pernah kita kenal membuatku terhenyak. Ternyata sudah sekitar 5 jam aku mengasyikkan diri dalam lamunan yang sebagian besar tidak tertuang di atas. Kulihat Mba Ulfa—jelas bukan nama sebenarnya—tertidur pulas di samping si mas. Aku melihat jam tangan, pukul 20.52. Pantas saja perutku kering sekali rasanya.

Tapi aku masih harus menunggu hingga turun di Pasar Senen nanti. Duitku sudah ludes gara-gara lupa menarik tunai di ATM namun tertekan oleh bayangan absennya oleh-oleh sehingga memaksaku, dengan lembaran seadanya, membeli sekotak bakpia untuk dihabiskan adik-adik. Staff operasional kereta hilir mudik menjajakan minuman panas, makanan ringan, hingga yang paling menggoda kantung mahasiswa kere di saat seperti ini: mie panas dengan gelas sekali pakai. Di tengah-tengah lalu-lalang mereka, si mas di seberang sana dengan lembut mengayunkan tangan kirinya, diikuti sentuhan pelan pada imutnya pipi Mba Ulfa.

Kuyakin di titik inilah, kesabaranku diuji.

Rupanya, si mas itu ingin memperbaiki posisi tidur wanitanya, karena kulihat memang kepalanya tidak dalam posisi pewe. Di samping itu, ia ingin menunjukkan hangat dan kasihnya pada seluruh dunia, betapa ia dengan tulus mencintai sang wanita. Dengan posisinya yang semakin mantap di bahu si mas, hatiku tentu saja bertambah remuk namun sekaligus teredam oleh gema yang berdatangan dari jauh:

"Woy, siapa elu!"

Benar, siapalah aku ini. Hanya seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang ingin pulang ke rumah; makanya aku rela menumpang untuk ke sekian kalinya di dalam Progo. Tiada intensi sama sekali untuk menemukan tambatan hati. Cuma kebetulan, peristiwa-peristiwa tadi membuat niatan bertemu keluarga menjadi sedikit berpaling. Kewajiban menunggu tibanya kereta di Pasar Senen membikin percikan kontak mata menjadi sebuah gambaran hidup nan fana.

Jarum jam menunjukkan angka 23.45 tepat ketika kereta berhenti. Segera aku mencabut pengisi daya ponsel dari stop kontak. Menurunkan tas jinjing besar dari rak besi di atasku. Menepuk-nepuk debu dari ransel yang kusimpan di bawah bangku. Menggendongnya menuju peron stasiun.

Melupakan apa yang terjadi dalam semesta Mba Ulfa.

Eh, semestaku bukannya?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE