Masih Menganggap Kalau Perempuan Ditakdirkan Untuk Berada di Bawah Posisi Laki-Laki? Wah Sepertinya Kamu Salah Besar!

#LepasPerangkapWanita

Anggapan bahwa laki-laki berkedudukan sebagai penyedia, penentu, dan penopang wanita (terutama secara finansial) seperti sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia. Seiring dengan stereotip tersebut, wanita terkesan memiliki keharusan untuk berada dibelakang laki-laki; istri harus nurut suami, dan istri harus ikut suami. Hal ini berkaitan dengan beragam kebiasaan-kebiasaan dan budaya yang ada di Indonesia yang salah satunya sering terjadi di kalangan wanita adalah ketika wanita memutuskan berhenti bekerja atau diharuskan berhenti bekerja setelah menikah dengan alasan kewajiban wanita menjaga anak dan mengurus rumah.

Budaya ini sudah ada dari semenjak zaman Raden Ayu Kartini pada akhir abad 19 hingga awal abad 20, dimana wanita-wanita Indonesia belum memperoleh kebebasan dalam banyak hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria, bahkan belum diijinkan menentukan pasangan hidup sendiri. Bahkan, mimpi Kartini untuk mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik harus terpaksa ia hentikan ketika orang tuanya mencegah kepergiannya dengan menikahkan Kartini dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Pertanyaannya, mengapa sebuah pernikahan bisa menghentikan sebuah mimpi seseorang? Bahkan lebih parahnya lagi, mengapa pernikahan yang seharusnya menjadi momen yang indah dan menjadi sejarah sekali seumur hidup dua insan yang disatukan cinta, malah menjadi ancaman untuk menghentikan sesuatu?



Keharusan wanita untuk mendahulukan pernikahan Menurut data tahun 2017 dari Badan Pusat Statistik, selama 2017, pengetasan angka perkawinan anak di Indonesia tidak mengalami kemajuan bahkan justru mengalami kegagalan dibandingkan tahun 2015 dengan angka yang ditunjukkan terus bertambah.

Contoh budaya seperti ini seperti sudah mengakar di budaya Indonesia, dan terkesan mengharuskan wanita menjadikan pernikahan sebagai prioritas utama, dibandingkan pendidikan. Menurut seorang penulis asal Amerika, Sheryl Sandberg di bukunya yang berjudul Lean In, dia menuliskan bahwa wanita merendahkan ekspektasinya untuk apa yang bisa mereka raih dan memilih untuk melanjutkan sebagian besar pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak. Wanita berkompromi dengan tujuan karir mereka guna memberi ruang untuk pasangan atau anak-anak mereka yang bahkan belum mereka punya. Ada pula tekanan sosial yang memaksa wanita untuk menikah di usia muda, ini dibuktikan oleh beberapa orang tua yang yang mungkin menekankan pentingnya pendidikan, tetapi pada kenyataannya, pernikahan adalah hal yang jauh lebih ditekankan kepada anak wanitanya.

Budaya di Indonesia menekankan stereotip bahwa wanita bekerja tidak akan memiliki keluarga yang utuh dan kehidupan keluarga yang tidak akan seimbang. Bagi mereka, asumsi yang paling mendasar adalah wanita tidak mampu, bahkan tidak mungkin bisa berkomitmen kepada dua kehidupan: karir dan keluarga. Wanita dikelilingi oleh peringatan-peringatan yang mempropaganda bahwa mereka tidak akan berhasil berkomitmen dengan keduanya dan diarahkan untuk memilih. Mereka diyakini bahwa hidup mereka tidak akan bahagia jika mereka memilih keduanya. Jika dibiarkan terus demikian, wanita akan selamanya berpikir bahwa bekerja itu adalah hal yang salah ketika sudah menikah. Lalu, ketika ada sesuatu terjadi di hubungan pernikahan mereka, bagaimana caranya wanita dapat hidup mandiri dengan menghasilkan uang sendiri?

Seorang ibu rumah tangga akan bergantung pada suaminya sepenuhnya secara finansial, dan ketergantungan itu adalah bentuk ketidaksetaraan yang akan merugikan dirinya dalam hubungan mereka. Ini terjadi karena tanpa penghasilan, dia akan kesulitan untuk membela dirinya (menjadi mandiri) ketika sesuatu yang buruk terjadi—atau ketika hubungan pernikahannya tidak benar lagi. Misalnya, seorang istri akan merasa tidak mungkin untuk melarikan diri ketika suaminya melakukan kekerasan kepadanya. Dia tidak akan setuju untuk bercerai meski pernikahannya berantakan, karena dia berpikir bagaimana dia akan hidup dan tetap dapat memfasilitasi  anak-anaknya?

Di sini adalah letak masalahnya. Setiap wanita seharusnya memiliki kekuatan yang sama dengan pria di kondisi kestabilan finansialnya. Pertama, wanita memiliki tanggung jawab yang sama besarnya dengan pria dalam memiliki uang yang cukup untuk ayah dan ibunya, saudara-saudaranya, dan mungkin juga kebutuhan anak-anaknya. Kita menaruh gambaran jika seorang wanita tersebut adalah seorang tulang punggung keluarga, bagaimana ia bisa tetap menghidupi keluarganya jika ia tidak bekerja? Kasus selanjutnya adalah, jika seorang istri yang adalah seorang ibu rumah tangga ditinggal mati suaminya.

Keadaan ekonomi yang hanya sampai tahap “cukup” selama ada suami, kini harus berubah secara mendadak karena tidak ada sama sekali dorongan dari suami untuk masalah pemasukan. Dengan keadaan jiwa yang masih terguncang karena kehilangan suami, tekanan untuk membayar proses pemakaman dan kekhawatiran akan tanggungan anak-anak dimasa depan, apa cara yang tepat dan cepat yang bisa dilakukan sang istri yang juga seorang ibu untuk dapat bangkit dari keterpurukan yang tiba-tiba dan mengenyampingkan perasaan dukanya? Bagaimana caranya agar sang istri yang selama ini bergantung kepada suaminya seutuhnya, kini harus mandiri?

Terlepas dari istri yang dapat ikut berkontribusi dalam ekonomi keluarganya dan dapat membantu suaminya dalam segi finansial, seorang suami seharusnya dapat mendukung dan memfasilitasi keinginan istrinya untuk bekerja demi perkembangan cara berpikir istrinya dan keinginan istrinya untuk menjaga keproduktifitasannya, bukan malah melarang. Wanita seharusnya diperbolehkan untuk meraih sebuah pencapaian yang memuaskan dirinya dan membuat dirinya bangga akan dirinya sendiri. Dalam kata lain, seorang wanita seharusnya diberi ruang untuk dapat mengembangkan pengetahuan dan ilmu yang ia punya untuk mendapatkan sesuatu yang akan memuaskan dirinya, bukan malah menaruh istrinya dalam perangkap adat istiadat dan egoisme dalam dirinya sendiri.

Saya tidak percaya bahwa hanya ada satu definisi dari kebahagiaan dan kesuksesan. Saya tahu bahwa wanita menginginkan hal yang berbeda-beda. Tidak semua wanita mau karir, tidak semua wanita ingin anak, tidak semua wanita ingin keduanya. Saya tidak akan pernah menganjurkan bahwa kita semua harus memiliki tujuan yang sama. Banyak wanita yang tidak tertarik dalam memiliki power dan hal tersebut bukan karena ia punya sedikit ambisi dalam dirinya, tetapi karena mereka menjalani hidupnya seperti apa yang mereka inginkan. Wanita adalah janji dunia yang lebih setara. Harapan saya untuk wanita Indonesia adalah setelah mendapatkan gelar sarjana hingga doktor, mereka akan memperjuangkan karir mereka. Wanita diluar sana harus menemukan sesuatu yang mereka suka dan mereka harus melakukannya dengan penuh semangat. Ambil peluang dan buat peluang untuk diri sendiri, bukan sebaliknya.

Saya belajar bahwa saya harus percaya dengan apa yang saya miliki dalam diri saya dan kapabilitas diri saya untuk tetap belajar dan berkembang. Saya juga belajar, bahwa wanita bisa melewati tantangan apapun yang ada di hadapannya karena wanita itu kuat.

Tanpa rasa takut, wanita dapat mengejar kesuksesan kehidupan profesionalnya dan kepuasan pribadinya. Karir, menikah, anak, keluarga, diri sendiri; silahkan pilih salah satu, atau yang lainnya, keduanya, atau semuanya.

Sudah saatnya wanita bergerak tanpa gerah.

Sudah saatnya wanita lepas perangkap.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini