Usahaku Memeluk Masa Kecil yang Terluka

Dia tetap menjadi anak-anak di dalam diri dan tetap menyimpan emosi dan perasaan di masa kecil.

Sejak menikah dan memiliki seorang anak, aku senang mempelajari ilmu tentang kesehatan mental. Beberapa istilah tentang psikologi menjadi tidak asing bagiku. Salah satunya adalah inner child. Inner Child dari berbagai sumber bisa dikatakan sebagai bagian dari diri manusia yang tidak ikut tumbuh dewasa. Atau yang sering kita dengar adalah anak kecil dalam diri orang dewasa. Dia tetap menjadi anak-anak di dalam diri dan tetap menyimpan emosi dan perasaan di masa kecil.

Advertisement

Ketika tahu tentang hal ini, aku pun menengok ke dalam diri. Sepertinya ada sesuatu yang belum selesai di masa kecil. Kendati inner child tak selamanya buruk. Namun, jika ia terluka tentu akan berpengaruh pada saat dewasa. Begitu ilmu yang aku dapat dari kelas psikologi. Aku pun mulai berusaha ‘menyelesaikan’ apa yang tertinggal di masa kanak dulu. Tentunya dimulai dari mendeteksi bagian mana yang terluka hingga berusaha untuk berdamai dengannya. Mulai dari konsultasi bersama pakar, terapi menulis, meditasi, dan sebagainya. Hingga aku merasakan berangsur-angsur sembuh.

Aku sudah mulai menerima, berdamai, dan memaafkan apa pun yang terjadi di masa kanak-kanakku. Termasuk siapa saja yang terlibat dan menggoreskan luka di sana. Namun, semalam aku mencoba untuk mendeteksi kembali apakah luka masa kanakku masih ada? Tengah malam, kuberanikan diri mendengarkan podcast dari salah satu psikolog ternama. Hasilnya, aku menangis tersedu-sedu. Aku bingung. Kok bisa? Rasanya sudah kuselesaikan semuanya

Di sana, di ingatanku. Aku melihat aku kecil sedang memasak mie instan dengan kemampuan seadanya. Kelas 3 SD. Aku belum makan sejak pagi. Sementara sebentar lagi aku akan berangkat wisata ke Pekalongan. Maka, mie instantlah yang bisa menganjal lambungku saat itu. Ibuku terbaring sakit. Hampir semua temanku pergi bersama ibu mereka. Hanya aku yang dititipkan.

Advertisement

Semuanya terasa nyata seakan aku hadir di sana. Di bangku mana aku duduk dalam bus yang kami naiki. Berapa uang sakuku saat itu. Bahkan perasaan kecewa, sedih, dan merana. Kenapa ibuku sakit? Kenapa aku tak seperti anak-anak lain? Air mata pun membanjiri sepasang pipi hingga akhir sesi. Kini jelas sudah, bahwa masih ada yang perlu diselesaikan.

Mungkin bagi orang dewasa keidakhadiran orang tua pada acara anaknya adalah hal biasa. Tapi tidak bagi anak. Bukan, bukan berarti aku marah pada ibuku. Namun rasa nelangsa menyeruak pada saat itu.

Masa kecil tak akan selamanya menjadi masa kecil. Ia akan terus berubah dan menua. Mengikhlaskan masa lalu adalah salah satu kuncinya. Bahwa yang sudah berlalu biarlah tertinggal di sana tak perlu lagi kita tangisi sebab tak akan pernah mengubah apa-apa. Itu sudah terjadi. Yang perlu kita lakukan adalah menjalani hari ini dan tak lupa memeluk diri kecil kita yang mungkin masih terluka. Mengajaknya memaafkannya, berdamai, dan menjalani masa dewasa bersama-sama.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Lahir 1 Juni di Batang, Jawa Tengah. Seorang guru di SMP Negeri 6 Batang. Menyukai Puisi. Buku kumpulan puisinya berjudul "Senandika Pemantik Api".

CLOSE