[CERPEN] Menanti Sri

Jika hidup adalah perjalanan, maka mati merupakan akhir. Sebuah titik henti sekaligus pergantian menuju realitas lain.

Mata panah mengarah tajam ke arahnya. Namun wanita itu tak gentar, dan mengapa harus? Hidup yang tanpa nilai sama buruknya dengan kematian. Ia tersenyum, menantang pria yang terkenal bijaksana. Manusia tanpa ego, pasti memutuskan yang terbaik untuk semua, benar?

“Lepaskan saja, Dewabrata. Sebuah kehormatan bisa mati di tanganmu.”

Keringat mengucur, menderas, melicinkan jemari yang mencengkeram panah dan busur.  Seperangkat pembunuh tersebut tak berhasil menakuti sang puteri, bahkan berkedip pun tidak.

“Ragu? Atau takut?” Masih dengan senyum mencemooh, ia melanjutkan. “Mari pilih yang terbaik. Menikah denganku, berbahagia lalu lupakan dunia di belakang kita. Kau tahu, kerajaan dan singgasana tak pernah menarik bagiku.”

“Aku tidak menikah, tuan puteri. Kau tahu itu.”

Brahmacahya. Ya, sumpah itu mengikat pemiliknya untuk tak menikah. Hanya pria kolot semacam dia yang mengorbankan hidup atas nama negara. Kelak, sumpah itu pula yang mengakibatkannya membela angkara murka.

“Kalau begitu bunuhlah aku! Untuk ap—”

Pekik sakit memecah kesunyian hutan. Panah menancap di dada. Upaya menakut-nakuti jadi nyata, kematian menari di sekitar mereka. Melihat darah bersimbah, Dewabrata menangis, membebat luka yang menguarkan bau kematian. Sungguh ia tak sengaja, tangan licinnya yang bersalah, dan bisa dipotong nanti. Tak ada maksud ia membinasakan satu manusia, apalagi gadis cantik yang kini nafasnya terputus-putus.

Semua bisa diberikan pada sang puteri. Tapi dia meminta satu yang terkecuali: pernikahan. Dalam pandangan kosong, bibir pucatnya bergetar membata kata.

“Tu-tunggu saja. A-aku akan menjemputmu.”

……….

Jika hidup adalah perjalanan, maka mati merupakan akhir. Sebuah titik henti sekaligus pergantian menuju realitas lain. Sejatinya, yang dijalani manusia seperti himpunan paradoks. Salah satunya, tubuh yang menua namun waktu memendek. Bila boleh berandai, akan ideal kalau kita memuda dengan waktu yang meluas.

Lupakan, tiada hikmahnya merenungkan sesuatu yang fitrah. Meskipun kelak zaman jadi canggih sekali, hingga bisa menjejak ke kehidupan sebelumnya, makna cuma didapat dari masa kini. Masa ketika kita berpikir, memberi arti atas jenjang-jenjang yang berlalu. Bagiku sendiri, hidup dengan atau tanpa makna, tetaplah sebuah kehidupan.

Secara aneh, realitasku terus berulang menjadi seorang Bisma Dewabrata. Takdir bagi jiwa ini, adalah menunggu kehadirannya untuk mengakhiri. Entah harus berapa kali kelahiran, pada satu titik, kesadaran sebagai Bisma yang itu selalu kembali. Lalu hari-hariku hanyalah untuk menantinya menghabisi. Selalu dan senantiasa, berujung pada Amba. Dialah bidadari sekaligus malaikat mautku.

Kehadirannya, tak melulu berwujud wanita cantik. Kadang bisa berupa kekuasaan, ambisi, bisa pula binatang jalang. Tergantung karmanya. Tapi yang jelas satu, kebenciannya selalu bulat dan utuh, sempurna ditujukan padaku. Jika manusia, ia memandangku seperti ingin membinasakan. Jika benda dunia, maka dipastikan itu sesuatu yang membunuhku. Kemudian aku menyambutnya dengan tangan terbuka, sebagai tapal akhir penantian.

Lucunya, dia senantiasa hadir sebelum aku menikah. Jadi katakanlah aku selalu mati lajang. Tapi itu lebih baik, mati tanpa tanggungan lebih kusukai daripada meninggalkan anak cucu. Sebab figurku sebagai ayah akan terhenti, sementara mereka terus tumbuh tanpa sosok pengarah. Kemungkinan pula tanpa tulang punggung, sehingga jalan mereka tak tegap bangga, lantaran membungkuk mengais rezeki. Bisa pula mereka jadi manusia yang jiwanya tak genap, lalu merusak konstruksi sosial. Ugh, rasanya bagai berhutang pada semesta.

Pada kehidupanku kali ini, dia yang kutunggu tak kunjung tiba. Untung aku laki-laki, jadi melajang sampai kepala empat pun bukan masalah. Begitulah, menjadi lelaki di negara yang serba patriarki merupakan privilese. Masyarakat yang dalam arti sempit tetangga-tetangga, tak menganggap lajangku sebagai aib yang sedap dibicarakan. Terlebih karena di perkotaan, orang-orang sibuk berangkat pagi pulang malam demi rupiah.

Sampai suatu ketika aku menemukannya. Seorang pekerja prostitusi yang menatapku dengan kebencian identik. Dia bernama Sri.

***

Gemerlap lampu, musik pekak, manusia-manusia yang tenggelam di hingar-bingar suasana. Pada satu sudut, Bisma duduk mengawasi tempat, mencari calon tersangka. Penyamaran demi mengungkap kasus memiliki dua sisi koin, satu membangkitkan adrenalin, sisanya pemborosan waktu. Berpuluh menit dibuangnya untuk berspekulasi, menerka siapa gembong narkoba yang paling patut dibui. Berteman ginger ale, Bisma menjadi wallflower yang pantatnya seakan terpaku di sofa.

Bau rokok, minuman dan parfum berbaur menyesaki ruang diafragma. Frukuensi Bisma berinteraksi dengan preman tak membuatnya terbiasa, racun tetaplah racun, paru-parunya kenal itu. Menit yang menjelma jam diakui membuat jenuh, ia rindu kasur. Sepertinya malam ini pulang tanpa mengantongi apapun, selain bertambahnya pengalaman digoda PSK. Namun sebelum memutuskan beranjak, seseorang telah menjadi tamu di sofa yang disewa Bisma eksklusif.

 Cantik atau tidak itu kata yang terlalu sederhana. Menawan, ya ya, sebab di kedua matanya kamu akan merasa terpenjara, merasa ingin menatap lagi dan lagi. Dia terlihat terlalu muda, terlalu tinggi untuk wanita, terlalu tegas garis wajahnya, banyak terlalu. Tapi fitur yang paling kusukai adalah hidungnya yang terlalu mancung. Sehingga matanya terlihat menjorok dan dalam, mata yang tajam, yang ketika memandang seolah di dunia ini hanya ada kamu.

“Nggak joget om?”

Tak ada genit. Nada bicaranya datar dan bersih dari persuasi, seperti ketika seseorang menanyakan jam. Dan Om—Bisma serasa lahir di umur pamannya.

Dia mulai membuka mulut, lalu mengalirlah cerita-cerita. Bisma mulai yakin, prostitusi yang selama jadi masalah negara, tidak segelap kelihatannya. Yang harus diberangus bukan para PSK-nya, melainkan akar itu semua, termasuk para pengudap ‘jajanan malam’. Memang ada yang sungguhan berniat jualan tubuh? Sementara sisi lain prositusi adalah HIV, cap buruk masyarakat dan tindak kekerasan. Berbicara dengannya membuat Bisma terinspirasi mengusut dunia malam, termasuk eksploitasi anak dan human trafficking. Sayang fokusnya kali ini adalah narkoba.

Perlahan Bisma ternyahut dalam percakapan. Ia menikmati tiap si perempuan melirik hangat, mengundang tanpa perlu mengajak. Atau Bisma yang sejatinya merasa tergugah? Bisa jadi, sebab ada dorongan untuk mengungkap identitas asli. Bisma tak ingin mata yang indah itu memandangnya sebagai hidung belang, setara pria-pria yang selama ini dilayaninya.

Tak kuasa Bisma membuka kedok. Mata si cantik di depannya membelalak kaget, bibir ranumnya memvokalkan ‘wow’ tanpa suara.

“Aku Sri.”

Bisma takkan melupakan caranya menunduk malu seperti gadis polos. Keinginan melindungi terasa benar, membawa lari dari tempat kotor ini, dan jenjang puluhan tahun bukan masalah. Akhirnya ia menemukan, Sri adalah anak tangga puncak untuknya menutup penantian.

 ***

 

Ucapan selamat, penghargaan dan insentif, adalah trinitas bagi yang haus pencapaian. Sebagian aku menyukainya, namun diriku yang lain merasakan pahit berduri. Penghargaan yang didapat dengan hilangnya mata pencaharian orang, tak membuatku sebahagia itu untuk tersenyum senang. Kejahatan yang melibatkan banyak pihak, selalu menghasilkan pencapaian getir. Kecuali bila pemerintah memberi solusi sampingan, misalnya membina para penjaja karena sebagian mereka hanyalah wanita tanpa keterampilan. Wanita yang saking tak punya apapun, menjual satu-satunya yang diberikan Tuhan lewat kehidupan: tubuhnya.

Aku tidak lupa cara Sri memandangku malam itu. Di antara lalu lalang apparat, PSK yang berlarian, serta pelanggan yang menyelamatkan harga diri, Sri menatapku terluka. Kepasrahannya menyedihkanku, mengapa dia tak cukup pintar untuk kabur, bukankah telah kutunjukkan semua termasuk identitas asli? Alih-alih, dia tersakiti kemestian tugasku, seolah dihunjam penghianatan begitu dalam.

 Sejak itu kedekatan kami purna, selesai bagai sebuah keharusan. Bahwa buruan takkan menghamba predator, sebagaiman dia takkan pernah merindukanku. Kemudian hidupku kembali statis, tiada hujan tiada badai kutemui. Tiada Sri, badaiku.

 Kupikir memang peran kami selesai di kehidupan satu sama lain. Ya sudah. Meski sedih dikenang sebagai ‘pemutus rezeki’, aku terima. Telah banyak tempat kucari-cari, namun dia tak mau ditemukan. Sri disembunyikan permainan takdir, supaya aku sadar bahwa dia memang badai sebelum pelangi. Aku tahu sebab jantungku mau meledak gembira kala dia mengirim pesan.

 Star 8 Agustus 2018 jam 8 malam.

Seluruh angka itu cantik, dan aku membacanya sebagai kesempatan. Hotel? Baiklah, bukan masalah jika dia mulai berani meminta. Aku pun punya permintaan untuk dijadikan pelanggan tunggal. Soalnya aku punya kecenderungan monogami.

Entah perlu disyukuri atau tidak, dia menjadi lebih agresif. Lepas, seolah tak terjadi apapun, atau seolah aku membayarnya begitu mahal tak terkalkulasi. Seolah aku membayarnya dengan seluruh kehidupan. Dia bukan lagi perempuan dua puluh tahun malu-malu, melainkan seorang yang menagih bermanja-manja. Hampir sepanjang malam kami merapat jadi satu, melupakan dunia di belakang dengan segala kisruh.

Termasuk pula melupakan kemungkin terburuk. Seharusnya aku percaya ungkapan bahwa ketulusan telah punah. Setidaknya bisa cukup waspada ketika Sri meraba leherku janggal. Ada sengatan sakit, bagian leher seperti ditusuk benda tajam. Lalu kulihat Sri tertawa, tawa mengerikan yang kukira dia tak punya. Untuk apa kegembiraan itu?

Tawanya berangsur jadi senyum miring. Dia mundur, sementara aku mengusap-usap leher sambil menebak motif di balik tingkahnya yang ganjil. Bumi terasa berputar, di antara pandangan dan fokus yang mengabur, kudapati Sri menghapus riasan. Garis wajahnya yang tajam kian meruncing, tegas seolah dilukis tanpa ragu. Pelan-pelan ia melepas baju, dan aku tertohok mendapati tulang di leher jenjang itu. Jakun. Bisa-bisanya aku melewatkan fakta keras tersebut.

Kemudian segalanya terang. Fakta menjelaskan dirinya, dan aku menegak kaku. Sri mencopot rambut indah terawatnya, berubah jadi sejumput di kepala lapang. Detik itu, seiring sakit yang masif, aku sadar waktuku telah datang. Kami adalah anak takdir yang saling menggenapi, mengakhiri, sebagai ujung yang dinanti.

“Halo Bisma, senang berkenalan denganmu. Namaku Sri. Srikandi.”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini