Mencintai Seseorang Dengan Jarak Jauh Melalui Media Sosial

Berhubungan jarak jauh melalui jaringan ponsel adalah hal yang justru seringkali membuat cukup nyaman.

Sejujurnya aku sendiri belum mengerti sampai sekarang bagaimana mengartikan cinta. Seringkali cinta menjadi bahasan yang menarik sampai saat ini untuk di perbincangkan. Meski tak jarang aku sangat malas untuk membahasnya. Mendengar, membaca, dan mengucapkan kalimat itu menjadi suatu kenyamanan, kebahagiaan, sekaligus tidak dipungkiri menjadi hal yang menyedihkan bahkan beban sesuai masing-masing orang yang merasakannya.

Sudah tidak asing lagi bagiku, bagimu, bagi kita semua merasakan perasaan misterius yang tak pernah kita tahu bagaimana dia datang, bagaimana dia hidup, dan bagaimana juga dia bisa menjadi bagian dari hidup kita. Tapi yang perlu kita sadari, bahwa cinta bukanlah suatu kesalahan. Jangan pernah menjadikan cinta sebagai suatu alasan. Sebab tidak ada alasan apapun yang membuat cinta itu hadir dalam hidup kita. Bisakah kau menjelaskan bagaimana kau bisa mencintai seseorang yang menurut temanmu, sahabatmu, bahkan orang tuamu adalah seseorang yang tidak pantas untukmu?

Bisakah kau menjelaskan awal dari cinta yang kau rasakan? Pandangan pertama? Tersandung bersama? Atau se-es teh berdua? Kurasa tidak ada yang bisa menggambarkan secara konkrit. Sampai saat ini mungkin sudah ribuan bahkan jutaan kalimat yang membahas dan menjelaskan tentang balada cinta. Namun tak jarang, sudut pandang tak bisa disamakan. Hanya hati dan diri kita sendiri yang bisa merasakan sekaligus mengekspresikan cinta yang kita rasakan sesuai cara kita sendiri.

Ada banyak hal tak terduga yang bisa menghadirkan rasa cinta. Misterius sekali. Aku ingin menyebut cinta ini adalah sesuatu yang ghaib. Bagaimana dia bisa muncul tiba-tiba tanpa permisi? Sudahlah. Simak saja cerita cinta yang kualami. Aku bahkan bisa hampir sangat mencintai seseorang yang sudah kukenal sejak beberapa tahun yang lalu melalui media sosial "saja".

Karena kami berada dalam satu grup menulis di media sosial, boleh kusebut tidak? Exactly in Line. Dia menyapaku dengan baik. Aku menanggapinya dengan baik juga. Kami berbincang-bincang dengan sangat baik, sangat akrab. Seorang laki-laki yang hangat tanpa kutahu watak aslinya. Seseorang begitu terlihat sangat baik ketika pertama bertemu dengan orang lain. Bukan begitu? Meskipun hanya sekedar via Line. Chatting pula.

Tidak lama kami bersandiwara. Tidak setiap hari. Terlampau beberapa bulan saling mengabarkan keadaan masing-masing kembali. Sehat tidak? Apa kegiatannya saat ini? Dan lain sebagainya. Kita tahu jarak antar pulau itu cukup jauh. Mana mungkin langsung bertemu begitu mudah. Sama-sama masih kuliah. Dia senior, 4 tahun di atasku. Aku suka laki-laki yang umurnya 4-5 tahun di atasku.

Tapi tidak semudah itu aku suka padanya. Setelah lama tak berkabar, hampir satu tahun lebih. Kami saling mengikuti satu sama lain di Instagram. Dia sering sekali memberi "like" di setiap postinganku. Lain halnya denganku. Aku sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan untuk sekedar memberi "like" pada postingannya. Tidak terlalu mengalihkan duniaku. Tidak terpikirkan sama sekali untuk menghubunginya kembali. Dan semua berjalan begitu saja.

Sampai pada suatu hari, aku tertarik dengan instastory-nya. Video lapak dengan banyak buku-buku yang berjajar rapi. Banyak orang yang mampir untuk sekedar melihat buku-buku, ada juga yang duduk sambil membaca salah satu buku. Tiba-tiba saja aku ingin menuliskan komentar. Sekedar tanya, di mana lapak itu? Meski aku tahu, tentu saja itu di Kota-nya. Basa-basi yang sungguh basi. Sampai pada Direct Message di Instagram kemudian kembali lagi ke room chat Line. Baiklah. Hari itu kami bercengkrama cukup lama. Mulai siang sampai malam. Membicarakan apapun. Dia juga bilang, hari itu adalah hari ulang tahunnya.

Genap 24 tahun umurnya, dengan jabatan sebagai senior tua yang tidak segera lulus. Masih proses merampungkan skripsi katanya. Kemudian sampailah pada gurauan tentang perasaan. Membicarakan masa lalu, sakit hatiku yang baru, keburukan, kebodohan, bahkan sampai gombalan receh, semuanya. Seorang laki-laki yang tidak menyembunyikan apapun kecuali rasa sakit yang pernah dia rasakan. Tahu dari mana? Entahlah, aku membaca dari kalimat-kalimat yang di tulisnya, di chat atau media sosialnya. Dia seringkali membuat puisi. Puisi yang sangat menyedihkan, menurutku. Untuk seorang yang thinking pasti tidak peduli, tidak tahu bagaimana rasa yang ada di dalam puisi. Tapi sayangnya, aku adalah seorang feeling. Perasaanku sangat kuat. Sungguh aku tersentuh.

Sejak saat itu kami selalu berkomunikasi. Yang kami bicarakan bukan hanya sekedar, "lagi apa?", "sudah makan?" Seringkali kami bicara tentang hal-hal yang membuka gambaran tentang masa depan. Tak jarang juga beropini untuk trending topic. Atau sharing tentang daily activity. Menyenangkan dan tidak cukup cepat membuat bosan. Hanya saat sore atau malam hari kami berkomunikasi, sebab aku mengerti pagi dan siang adalah waktu untuk beraktifitas. Tapi pernah juga pagi saling menyapa, untuk mengawali hari dan memberi semangat.

Atau siang kadang memberi komentar untuk Instastory masing-masing, kemudian bertanya sekedarnya saja. Begitu seterusnya. Pernah juga tidak saling menghubungi sampai seminggu. Aku pun tak keberatan. Sebab aku tahu, dia sedang sibuk dengan skripsi. Dan meski aku tak benar-benar tahu apa dia mengerjakan skripsi saja, apa tidak berbincang hangat juga dengan perempuan yang lain saat tidak berbincang denganku? Entahlah, urusan dia. Aku bisa menjadi seorang yang sesantai itu untuk hal-hal seperti ini. Kenapa tidak? Dia belum tentu menemuiku, bukan? Pikirku rasional.

Lama-lama aku mulai merasakan hal misterius itu. Dia tumbuh begitu saja. Nyaman di tempatnya. Pun juga menjadikanku gusar. Meski jauh sebelumnya dia sudah menjelaskan dengan baik kepadaku melalui video call, bagaimana kita selanjutnya. Dia sama sekali tidak menembakku, tidak pernah, ah sama sekali. Terlebih pacaran. Kami tidak pernah membahas soal itu. Atau mengobral janji-janji? Juga tidak. Aku pun harus menyadari. Lagi pula aku juga masih di bangku kuliah.

Dia harus segera lulus dan bekerja. Dia mengajakku untuk meraih impian terlebih dahulu. Masih banyak yang harus diselesaikan. Katanya hanya, "Berdo'a-lah saja". Kalimat itu yang selalu diucapkannya padaku. Aku tahu dari cara bicaranya yang begitu hati-hati. Dia tidak ingin menggores hatiku. Tidak memberi harapan apapun kepadaku, katanya, "Tuhan tempat kita berharap. Tenanglah. Jangan sekalipun bersedih terlalu larut.", dan lagi-lagi kalimat itu, "Jangan berhenti untuk berdo'a dan meminta.

Kita hanya berusaha. Aku memang sedang merencanakan, tapi Tuhan yang menakdirkan. Aku hanya menuruti kata-katanya. Tanpa dia tahu seberapa besar perasaan ghaib itu padanya. Dan tanpa kutahu juga seberapa besar perasaan ghaibnya padaku. Semua masih begitu rahasia, tapi masing-masing merasakannya.

Kita tetap menjalani hari seperti selalu bersama. Berdiskusi, curhat, saling mengejek, marah, bete, semuanya. Dan berjalan begitu saja sampai sekarang. Meski kadang ada hari di mana aku begitu sangat sentimental. Dan dia harus mendengarkanku menangis dan marah-marah, dia harus pusing menjawab pertanyaan anehku, dia harus sabar dan memberi pengertian padaku. Ah! Menyebalkan. Kenapa dia begitu hangat. Aku benci padanya.

Semua itu nyata. Tapi tiba-tiba sebagai perempuan yang kadar curiganya 90% lebih banyak, aku mencari adakah sisi kebohongan? Apa masih ada kebohongan antara aku dan dia? Tentu saja ada. Tapi aku belum tahu dimana sisi itu berada. Mungkin aku akan mengetahuinya dan menyebut itu kebohongan setelah dia pergi meninggalkan aku dengan alasan mencintai perempuan lain.

Dan aku pergi meninggalkannya karena aku membencinya. Hanya itu? Tentu saja tidak. Aku sangat membenci banyak kebohongan kecuali tentang perasaan yang belum benar-benar bisa diungkapkan. Lebih baik aku mendengar hal yang menyakiti hati daripada aku harus mendengar kebohongan untuk menjaga hatiku. Aku memang seperti itu. Sebab sekali-kali berbohong akan selalu berbohong kemudian. Apa kalian juga begitu?

Sampai sekarang, aku dan dia masih menyalingi setiap waktu. Meski hanya lewat alat elektronik persegi panjang yang tiba-tiba memanas jika di genggam terlalu lama. Tapi tidak terlalu ada banyak masalah. Syukur, kita sama-sama tipikal yang bisa santai jadi semua berjalan saja. Katanya dia akan kembali ke Jawa tahun ini. Kita sama-sama asli orang Jawa. Hanya beda Kota saja andai dia tidak merantau ke Kalimantan. Tapi entah ada harapan untuk bertemu atau tidak.

Dia tidak bisa memastikan. Hal yang menjadi permasalahan utama, uang. Tapi kusemogakan dia akan segera mendapat pekerjaan dan rezekinya lancar. Gampang saja begitu. Masalah kita jodoh atau tidak itu urusan Tuhan, bukan? Yang penting jalani saja apa yang ada di depan mata. Begitu pun yang dia pikirkan, sama seperti yang kupikirkan.

Hal ini sampai sekarang, aku belum mengerti wajar atau tidaknya. Aku hanya berpikir ini semua skenario Yang Maha Kuasa. Semua berada dalam kendali-Nya. Aku tidak menyebut hal ini salah. Apa aku tidak berpikir bahwa dia seorang penjahat? Tentu saja aku pernah berpikir seperti itu. Tapi semua sudah dibicarakan berdua dengan sangat terbuka meskipun hanya melalui "media sosial".

Tentu saja kalian tidak boleh tahu, apa saja, heuheu~ Video Call apakah cukup? Tidak sebenarnya. Memang seharusnya dia datang, menghadapku secara langsung. Tapi semua butuh proses. Tidak mungkin dia langsung menghilang dari peradaban dengan mantra kemudian ada di hadapanku. Aku mengerti dan memahami. Semua ini bukan kebetulan. Semua ini skenario Tuhan dan pilihan. Jadi kujalani saja dengan kemungkinan resiko yang pasti ada. Sakit hati dan menangis. Tapi kuharap tidak akan pernah terjadi. Semoga.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Who are the learned? Those who practice what they know.