[CERPEN] Mengantar Kepergianmu, Merawat Kenanganmu, Menunggu Kepulanganku

Aku menunggu waktu, menunggu giliranku untuk pulang. Menunggu pertemuan kita di keabadian.

Aku sedang menatap pohon manggaku yang rindang, daunnya bergoyang tersentuh angin yang menari memanjakannya. Aku menanam banyak tanaman di depan rumahku, di kebun kecil yang kuberi nama “Kebun Kita”. Terdapat beberapa pohon terong, pohon tomat, dan pohon cabai di samping kiri dan kanan pohon mangga, berbaris rapi dengan bunga-bunga hias tertanam disekat-sekat antar pepohonannya, sebagai pemanis mata.

Advertisement

Keseharianku selalu sama. Bangun pagi, pergi ke pasar, memasak, berberes rumah, tidur siang atau nonton televisi ketika bosan. Membaca buku-bukuku yang telah menua atau sekedar membuka album, melihat-lihat foto. Ketika sore datang, aku mulai berkebun dan setelahnya aku duduk bersantai di teras. Bersama secangkir teh dan rokok, sementara pikiranku berkelana ke masa silam. Mengais-ngais memori, mengenang cerita, tentang kita, tentang engkau. Kadang aku tersenyum malu mengingatnya, terkadang aku bahkan tertawa, dan tak jarang pula aku meneteskan air mata.

Aku masih mengingat jelas kenangan manis kita berdua, seolah baru kemarin. Semua kisah indah kita tak akan pernah hilang meskipun usang, meski telah menguning, tak perduli berapa lama waktu berlalu, kenangan kita tetap terasa sama.  

Mungkinkah kau ingat? Pertama kali kita jalan-jalan berdua di kota yang mempertemukan kita, Yogyakarta. Aku masih kuliah saat itu, sedangkan kau tidak meneruskan pendidikanmu karena satu dan lain hal. Kau datang ke kostku bersama teman-teman dari kotamu, mengenakan baju berwarna hitam kebanggaan dan senyuman yang menjadi kesukaanku. Kau membawaku ke Malioboro, berjalan kaki hingga ke Alun-alun. Melewati pemain keroncong, berhenti di toko kelontong untuk sekedar membeli gelang buatan tangan. Sampai akhirnya kita terpisah dari rombongan.

Advertisement

Kau menceritakan banyak hal tentangmu kepadaku, dan aku tidak sedetikpun merasa bosan akan ceritamu. Bahkan mungkin aku bisa bertahan sepanjang malam, mendengar kisah-kisahmu yang lucu dan menyenangkan. Meski malam itu aku tak banyak berbicara, namun aku sangat bahagia. 

Aku menikmati setiap langkah yang disertai cerita dan canda juga tawa. Ketika di perjalanan pulang aku memelukmu erat, lebih erat dari sebelumnya. Bahumu yang hangat dan nyaman, aku senang menghirup aroma badanmu. Selalu bisa membuatku tenang. Malam itu hati dan pikiranku menjadi satu, untuk pertama kalinya logika dan rasa menginginkan hal yang sama. Aku beserta pikiran dan hatiku menginginkanmu.

Advertisement

Semua hal yang pertama dan terakhir kali dirasakan, akan selalu menjadi memori yang paling kuat. Dan bersamamu, aku banyak mengalami segala hal yang pertama kali. Untuk pertama kalinya aku pergi liburan ke pulau bersama orang yang berstatus pacarku, bersamamu. Pertama kali aku menaiki gunung yang ketinggiannya diatas 3000mdpl pun bersamamu. Ingatkah kau ketika kau menggeser-geser badanmu saat kita tidur berduaan di dalam tenda? 

Kau tahu aku benci ruang sempit, dan kau masih saja dengan menyebalkannya menghimpit badanku. Kau bilang kau paling tidak suka memasak ketika di gunung, dingin. Namun waktu itu kau memasak untukku, membangunkanku ketika kau telah selesai, dan menyuapiku makan. Ketika angin gunung berhembus lewat, menghantarkan dingin yang menusuk hingga ke tulang, ketika gigi kita bergemeletuk tak tertahan, kau menggosok-gosokkan tangan kita. Tanganku tak menjadi hangat saat itu, namun hatiku iya.

Kau juga lelaki pertama yang menyicip masakanku. Meskipun kau sangat buruk dalam mengomentari rasa, meskipun semua masakan selalu kau bilang enak, namun aku tetap senang ketika kata-kata itu terucap darimu. Bangun tidur wajahmu yang pertama kali kulihat, dan saat akan tidur pun wajahmu pula yang terakhir kali kulihat. Kau lagi, kau terus, kau saja.

Kita terpisah oleh jarak, 553 kilometer jauhnya. Kau di sebelah barat pulau Jawa, sementara aku di kota Istimewa. Namun, jarak hanyalah angka, tetap akan kalah jika di dalam hati telah terukir satu nama, dengan hasrat akan sebuah jumpa, dan kita yang tak berhenti memanjatkan doa, maka kata “temu” bukan lagi suatu hal yang semu. Kau dan aku akan selalu bersatu meski harus menunggu.

Aku masih ingat wajahmu ketika kita harus berpisah, untuk yang kesekian kali. Meski dari bibirmu terus saja terucap “kita pasti bertemu lagi, tenang saja”, aku tahu kata-katamu itu lebih teruntuk ke dirimu sendiri. Aku yang sakit karena harus menahan tangis, dan kau yang perih karena harus melangkah pergi. Raut sedih dan khawatir yang terukir jelas di wajahmu, membuatku tersenyum sekarang.

Mengenangmu memang hal yang paling menyenangkan ketika rindu, karena kenangan bersamamu tak akan pernah habis. Candaanmu yang menyebalkan, senyumanmu yang menenangkan, tawamu yang menyenangkan, peluk dan kecupanmu yang hangatnya masih kentara kurasakan.

Aku sangat rindu hadirmu, hingga aku lelah terus memanggil namamu yang tak kunjung menjawab panggilanku. Beberapa kali di saat aku kesepian, aku pergi berjalan-jalan sendirian. Membiarkan diriku berteman dengan angin, dan berkhayal bahwa semua masih sama seperti dahulu kala. Dan tiba-tiba aku merasa sangat ingin cepat pulang. Pikirku, kau sedang menungguku pulang ke rumah. Namun, saat aku sampai di rumah kita, kau tak ada. Aku tak menemukan hadirmu di mana pun.

Aku menyesap kopiku yang mulai mendingin, menghidupkan rokok, dan menghela napas panjang. Hari ini, aku sedang ingin kopi. Padahal kau sering menceramahiku ketika aku meminum kopi. Tapi entah kenapa, kali ini aku hanya sedang ingin. Kuharap kau bisa mengerti, karena ini bisa jadi adalah kopiku yang terakhir.

Aku ingat nasihatmu ketika aku terlalu sering meminum kopi,

“Jangan kebanyakan, lebih baik kita ngeteh, aku buatkan untukmu ya?”

“Jangan lupa minum air putih, kau selalu begitu.”

“Jaga lambungmu, ngopi terus. Sudah makan belum?”

Aku tersenyum mengingat hangatnya perhatianmu. Apakah mungkin jika sekarang kau masih ada di sini, kau tetap akan mengomeliku seperti itu?

Aku penasaran dengan apa yang sedang kau lakukan sekarang. Mungkinkah kau sedang duduk-duduk melihatku dengan senyummu yang mengesalkan? Mengolok-olokku karena aku masih harus menunggu? Atau mungkin malah kau yang menungguku? Mungkin saja sekarang kau sedang uring-uringan, menunggu giliranku untuk pulang. Haha! Rasakan itu, dasar menyebalkan!

Aku masih ingat waktu aku mengantar kepergianmu yang terakhir, kau terbaring di kasur sementara aku duduk di sampingmu, menggenggam erat tanganmu. Wajahmu yang lesu, bibirmu yang pucat. Aku masih ingat ketika aku mencium pipimu yang kulitnya mulai mengendur, namun aromamu tetap sama, nyaman dan menenangkan. Kau tak berhenti mengucap kata maaf, sementara matamu terpejam dengan airnya yang mengalir perlahan. Seolah kau sedang menahan sakit, seolah hatimu sedang begitu resah karena harus meninggalkanku.

Kau terus berkata maaf, maaf karena kau harus berhenti disini, maaf karena kau tak bisa menjagaku hingga akhir. Aku mengelus pipimu, mencoba untuk menenangkanmu dengan kecupan-kecupan kecil yang kuharap bisa terasa hingga hatimu. Aku tersenyum, mengangguk, meski aku tetap tak dapat mengucapkan kata apa pun. Aku yakin kau mengerti, bahwa aku telah memaafkanmu karena tak dapat menepati janjimu untuk selalu menjagaku. Akhirnya kau tersenyum dan air mataku luruh, terjatuh. Kau pergi bersama dengan jiwaku yang ikut mati.

Dulu kenangan itu adalah mimpi buruk, aku hampir ingin mengoperasi otakku agar aku bisa menghapuskan segala hal tentangmu. Tapi semakin lama aku semakin terbiasa, hingga pada akhirnya kenangan kita menjadi rutinitasku ketika sedang menunggu.

Kini aku telah tua renta, tinggal sendirian di kota tempat engkau dilahirkan. Impian kita telah terwujud. Setelah kepergianmu, aku membeli sepetak tanah dengan uang sisa tabungan. Membuat rumah sederhana dengan halaman yang kecil saja, namun cukup untuk membuat kebun yang indah.

Di dalam rumah kita, terdapat Vespa pertama yang kau beli dan modifikasi sendiri. Vespa yang sering kita kendarai saat akhir pekan, ketika sore hingga malam. Kenangan saat kita berjalan-jalan, dengan tanganku yang melingkari pinggangmu, dan tawa kita yang tak berhenti ketika Vespa itu mogok di tengah perjalanan, selalu terlintas ketika aku sedang membersihkannya.

Di dinding rumah kita, rak-rak buku yang kau buatkan untukku masih terpajang bersampingan dengan foto-foto kita saat muda. Aku juga ingat saat kau sedang membuat rak-rak buku itu, kau yang sedang kesulitan dan aku yang semakin menyulitkanmu. Aku senang mengganggu pekerjaanmu, aku tertawa melihat ekspresimu yang kesal karena tingkahku. Ahh, kurasa setiap jengkal rumah ini selalu menyimpan memori tentang kita.

Kau ingat buku kecil tulisan tanganku yang kuhadiahkan untukmu? Aku melapisinya dengan kotak kaca, dan menyimpannya di lemari kamar. Aku tak ingin ada yang merusaknya, meski itu anak dan cucu kita. Haha, aku masih kekanakan ya? Meski tubuhku telah menua, jiwa dan hatiku masih sama. Masih sama seperti saat pertama kau mengenalku.

Dan kebun kita, aku merawatnya setiap hari. Menyabut rumput, membersihkan dedaunan, memberi pupuk, dan menyiram. Tak lupa juga aku memberi kasih sayang dan menceritakan kenangan-kenangan, agar mereka tahu. Yang merawat mereka bukan hanya aku, namun juga kau.

Sedangkan anak-anak kita telah tumbuh besar dan berkeluarga, satu persatu mereka mengunjungiku ketika ada waktu luang. Berulang kali mereka membujukku, agar ikut tinggal bersama mereka. Namun aku selalu menolak, aku lebih memilih untuk menunggu di sini. Aku ingin menjalani rutinitasku dengan tenang. Dan juga kau harus tahu bagaimana tingkah cucu-cucumu, sangat nakal serta keras kepala. Sama sepertimu. Namun ketika selesai makan malam, mereka akan duduk melingkar di sekitarku, menagih cerita tentang perjalanan kita. Kata mereka, tak ada kisah yang seindah kisah kita berdua.

Yogyakarta, pulau, gunung, sungai, taman, dan kedai. Aku masih ingat hampir semua tempat yang pernah kita datangi bersama. Dan aku tak akan pernah lupa.

Kisah kita sederhana, namun tetap istimewa. Dan aku selalu berucap pesan yang sama di akhir ceritaku kepada mereka;

“Nak, romantis itu diciptakan berdua. Jangan menggantungkan harapanmu terlalu tinggi pada seseorang, tapi berikan yang terbaik yang ada pada dirimu, dan ketika ia menghargainya, jangan kau lepaskan.”

Mereka tersenyum dan mengangguk, aku berharap mereka paham.

Hari ini aku tidak seperti biasanya, aku mengenangmu lebih lama. Mungkin ini yang terakhir, dan kurasa telah cukup. Aku tertatih berdiri, bersiap untuk mandi dan berdoa. Setelahnya aku merebahkan tubuhku di atas kasur, kasur yang dulu kita gunakan berdua.

Aku memejamkan mata, sesekali kenangan tentang kita masih terlintas. Jika kau masih ada, mungkin sekarang kita sedang bercerita tentang apa saja. Tentang apa saja yang telah kau dan aku lalui hari ini. Cerita tentang masa lalu, cerita tentang impian-impian yang kita rajut bersama. Cerita tentang gundahmu dan gundahku. 

Kau ingat, kau adalah seorang pencemburu. Kau selalu mengeluhkan sikapku sepanjang malam, aku hanya mengangguk saja. Dalam hatiku, aku gemas sekali ingin mencubit pipimu. Namun kau pasti akan semakin kesal jika aku melakukan itu, jadi aku hanya berkata iya-iya saja. Hahh, aku semakin merindukanmu.

Kurasa mataku semakin redup dan menggelap. Seluruh tubuhku terasa penat dan sakit, mungkin aku kelelahan atau mungkin hari ini giliranku? Ahh sudahlah, aku tak mau terlalu berharap. Aku memanjatkan do’aku, do’a yang sama yang selalu kuucapkan disetiap malam.

“Tuhan, kumohon berbaik hatilah. Jadikan malam ini giliranku, aku mulai lelah menunggu. Aku ingin segera bertemu, aku rindu.”

Malam ini tak seperti biasanya, ketika berdoa air mataku mengalir. Rasanya sedih sekali, namun hangat. Samar-samar aku mendengar suara, suara seseorang yang telah lama kunantikan. Apakah hari ini giliranku? Apakah akhirnya aku tak perlu lelah menunggu?

Aku rasa, sebentar lagi kesadaranku akan hilang. Aku tak tahu apakah ini hanya mimpi, namun aku tak perduli, aku bahagia malam ini. Aku harap, aku sangat berharap, mataku tak akan lagi bertemu hari esok.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mencintai keindahan.

CLOSE