Mengelilingi dan Mengupas Sejarah Kelam Batavia di Kota Tua

Tempat ini adalah saksi kekejaman pemerintah kolonial Belanda kepada kaum pribumi.

Pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari jajahan luar negeri. Pada saat itu, Kekaisaran Jepang sedang menduduki nusantara setelah mengalahkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan koloninya yang di nusantara.

Advertisement

Tetapi jauh sebelum Kekaisaran Jepang mengalahkan Belanda di tanah air, Pemerintah Kolonial Belanda sudah menjajah nusantara untuk waktu yang sangat lama yaitu lebih dari 300 tahun. Daerah jajahan di nusantara yang dahulu dikenal dengan sebagai Dutch East Indies atau Hindia Belanda ini memiliki cerita-cerita dan efek samping yang buruk dan kejam kepada penduduk-penduduk pribuminya.

Salah satu contoh perilaku kejam yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda kepada kaum pribumi dilakukan di gedung Balai Kota Batavia, di mana banyak pembantaian dan kekerasan terhadap penduduk pribumi terlaksanakan. Tetapi siapa sangka tempat yang penuh dengan cerita kejam dan mengerikan tersebut telah dijadikan museum dan menjadi salah satu pusat pariwisata di daerah Jakarta Pusat. Tempat pembantaian tersebut mungkin lebih diketahui pada masyarakat zaman sekarang dengan nama yang telah ditetapkan sekarang yaitu Museum Fatahillah.

Batavia, yang sekarang disebut Jakarta adalah ibu kota yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda pada saat masa jajahan mereka. Pusat kota dan pemerintahan pada waktu jajahan tersebut terletak daerah yang kita sekarang kenal sebagai Kota Tua. Daerah tersebut dijadikan sebagai kantor pusat Perusahaan Hindia Timur Belanda pada tahun 1650, lalu dijadikan pusat administratif untuk seluruh wilayah jajahan Belanda di Nusantara. Daerah tersebut dulunya terdiri dari banyak gedung yang masing-masing memiliki fungsi-fungsi yang berbeda.

Advertisement

Salah satu gedung penting yang hadir pada daerah tersebut adalah Stadhuis van Batavia, atau gedung Balai Kota Batavia. Gedung tersebut sebenarnya adalah balai kota yang dibangun sebagai pengganti gedung balai kota yang asli, yang telah dibongkar setelah serangan dari Sultan Agung pada tahun 1626. Gedung tersebut memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda-beda.

Selain dijadikan sebagai balai kota yang mempunyai fungsi sebagai pusat administratif pemerintahan, gedung tersebut melayani tujuan-tujuan lain seperti menjadi tempat untuk dewan kotapraja dan dewan pengadilan. Gedung tersebut juga memiliki ruang tahanan yang pada masanya dijadikan sebagai penjara utama di kota Batavia. Dari situlah berawalnya banyak cerita-cerita kejam yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda terhadap kaum-kaum pribumi pada masanya.

Advertisement

Penjara utama Batavia terletak di belakang gedung balai kota tersebut. Tetapi gedung utama Balai Kota Batavia ini juga memiliki ruangan tahanan. Berbeda dengan yang di penjara utama, penjara yang ada di gedung utama balai kota memiliki kondisi yang cukup horor dan mengganggu jika digambarkan. Penjara tersebut terletak dibawah tanah, ventilasi dan kebersihan yang sangat minim mengakibatkan tahanan-tahanannya meninggal sebelum mendapatkan hukuman aslinya.

Di depan gedung Balai Kota Batavia ini hadir sebuah lapangan atau halaman yang cukup lebar dan luas. Lapangan luas ini pada masanya disebut Stadhuisplein. Sebuah plaza lapangan yang digunakan untuk beraktivitas seperti bersosialisasi dan perdagangan. Tempat tersebut juga digunakan untuk wadah eksekusi yang tentunya akan ditonton dengan banyak warga publik di daerah tersebut. Metode pembantaian tahanan di gedung Balai Kota Batavia terdiri dari beberapa cara yaitu hukuman mati menggunakan tali untuk digantung, alat penggal dan tentunya pembunuhan massal menggunakan senjata tajam seperti pistol.

Siapa sangka tempat yang cukup menyeramkan bagi kaum pribumi itu malah menjadi pusat pariwisata bagi masyarakat asli Indonesia maupun turis asing?

Ketika saya mengunjungi kota tua Batavia tersebut, pemandangan yang saya lihat langsung dan pemandangan yang saya awal gambarkan tentunya sangat berbeda. Kota tua yang saya kunjungi terlihat seperti tempat pariwisata yang hanya bertema klasik jaman dahulu. Walaupun gedung-gedung nya masih memiliki atap khas Belanda yang berwarna jingga, aura yang hadir pada daerah tersebut tidak sedikit pun mengingat kembali aura buruk dari penjajah-penjajah belanda.

Gedung Balai Kota Batavia yang dikenal sebagai Museum Fatahillah atau Jakarta History Museum terlihat penuh dengan turis dari berbagai macam daerah. Di depan gedung tersebut terletak sebuah lapangan. Dulunya sempat digunakan untuk pembantaian massal, tetapi sekarang pun menjadi pusat kota tua dimana turis berkumpul untuk berfoto-foto dan bermain sepeda.

Sekitar museum tersebut ada juga berbagai macam museum seperti Museum Wayang, Museum Magic Art 3D dan lain lainnya. Lorong yang hadir di sebelah museum tersebut terlihat seperti jalanan eropa yang modern tetapi bertema klasik. Lorong yang jalannya terbuat dari batu-batu susunan memiliki kafe-kafe dan restoran pada satu sisi dan titik-titik seni seperti warung tato dan kendaraan-kendaraan jadul yang dijadikan wahana berfoto.

Lorong tersebut juga kehadiran pengamen jalanan. Tetapi bukan seperti pengamen biasa, pengamen-pengamen ini berpakaian dan terlihat sangat unik. Contoh dari pengamen jalanan tersebut adalah sosoknya seorang yang mirip dengan Soekarno tetapi berwarna silver satu badan.

Daerah kota tua juga memiliki kuliner-kuliner yang cukup menarik. Selain KFC yang terletak di sebuah kantor pos jaman dulu,  kafe-kafe yang hadir pada daerah tersebut sangat menarik dan cukup jelas asli kota tua. Tetap memiliki tema kota tua, kafe-kafe seperti Cafe Batavia yang terletak di depan Museum Fathillah tetap mempunyai estetik jaman dahulu. KFC yang ada di daerah kota tua tersebut pun juga memiliki estetika klasik yang membuat KFC tersebut terlihat asli dari jaman dahulu.

Jika masyarakat-masyarakat Indonesia jaman dahulu mengetahui bahwa tempat yang mengakibatkan banyak pembantaian pejuang Indonesia sekarang menjadi destinasi pariwisata yang populer, tentunya mereka akan bingung. Tetapi faktanya adalah apapun tempat yang memiliki sejarah atau cerita dapat di jadijkan menjadi wahana pariwisata. Seperti di Kota Tua.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE