Mengikhlasi Segala Luka yang Pernah Singgah, Kita Kuat Karena-Nya

Banyak hal yang kita suka dan cinta selalu saja sulit didapatkan, dan bila kita dapatkan seolah itu hanya sekejap saja. Seolah-olah ada yang tak rela kita bahagia.

Rabbi, saat Engkau membuatku patah hati kemarin, aku hanya diam, ini ujian. Lalu aku susah payah mengumpulkan kepingan hati yang hancur luluh berserak dengan sisa-sisa rasa yang ada. Aku percaya sekaligus berharap, akan ada cahaya terang di depan yang segera menerangiku. Akan ada seseorang yang menantiku tulus di depan. Membawakan pelita untuk menerangi jalanku ke arah-Mu. Aku pikir begitu. Setelah sabar menunggu, nyatanya?

Rabbi, aku kemudian terseret pada kesalahan lalu. entah ini balasan atas dosa ataukah ujian, tapi hal ini membuatku terjatuh sekali lagi. Retak-retak tepian hati yang aku tata susah payah kemarin hancur lebih kecil kepingannya. Kiranya aku harus bertanggungjawab atas kesalahan kemarin, tapi aku memperoleh perihnya hujatan. Ada apa Rabbi? Kenapa harus merasa sakit lagi? sakit dari orang yang paling aku hindari. kenapa Rabbi? aku tidak sekuat itu.

Aku hanya membatin, betapa mudahnya orang-orang bahagia, mendapat semua mau mereka, lalu bahagia dengan orang yang mereka cinta. Sedang aku?

Lagi-lagi aku memeram hati, menyabar-nyabarkan, lalu mencoba berdiri lagi. Aku pikir ini tidak akan membutuhkan waktu lama ketika aku berusaha. Tapi ternyata tidak, sisa ingatan tentang jatuh kemarin masih ada, nyeri-nyeri pada luka lama juga masih terasa. Kadang aku membatin, permainan apa ini Rabbi?

Pengalaman-pengalaman jatuh dan bangun berulang kali itu membuatku menerbitkan iba pada diri sendiri. Sejauh ini, aku hanya mengeluh dan mengeluh, tanpa berbuat sesuatu agar diriku segera menyembuh, agar lukaku segera mengering dan terkelupas tanpa bekas. Aku iba melihat diri, kenapa aku harus susah payah bersedih mengabaikan diri sendiri dan terlalu memikirkan ia yang bahkan entah pernah memikirkanku atau tidak? Aku sadar, ini bukan kesalahan-Nya.

Lalu kukatakan pada diriku sendiri, "Maaf wahai diri, untuk kesedihan yang selama ini yang kularuti, tidak mengizinkan bahagia datang mengunjungi barang sekali, aku memenjara rasa hanya sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Wahai diri, terima kasih sudah menguat, bertahan walau luka-luka itu terus terasa. Kini, di sisa waktu, aku akan membahagiakanmu, segera menyembuhkan luka dengan segala daya dan upaya, mengambil hal-hal yang membawa kita menuju gembira, dan jauhi semua yang hanya datang melukis luka. Aku harus jauh lebih berhati-hati dalam melangkah, menilik setiap keputusan sebelum akhirnya memutuskan, aku tak mau membuatmu wahai diri merasai sakit lagi."

Lalu aku berjalan lagi, meskipun masih ingat tapi tak menoleh ke belakang, apa yang di belakang yang menyajikan hal yang sama. Namun, aku tak merutukinya, semua luka-luka itu diam-diam memiliki andil dalam membentuk diriku menjadi bijaksana, menjadi pribadi yang kuat dan hati-hati.

Aku berjalan lagi, lalu teringat sesuatu, aku lupa belum minta maaf kepada Allah, atas segala prasangka pada-Nya. kemarin, aku pikir luka-luka itu hanya datang untuk menyiksa semata. Tapi, aku sadar sekarang, itu cara Allah menyayangi, mengajariku untuk menguatkan diri. Mungkin Allah sengaja memberiku luka agar aku menangguh, demi cinta yang tertakdir sebenarnya.

Rabbi, dengan ini biar pelan-pelan kami lepaskan. Apa yang dipegang erat-erat oleh hati. Biar Engkau yang memelihara. Semoga segalanya selalu terjaga, dengan segenap definisi indah. Dalam asuhan kekuatan iman.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

menulis, pharmacist, pecinta anak-anak, penggila buku