Dariku yang Kerap Menikmati Lelah: Terima Kasih Sudah Hadir dan Sempat Singgah

Mengikhlaskan dia yang pergi


Hadirmu tak mungkin ku sambut lagi

Advertisement

Pergilah, cintamu bukan untukku

Kembali padanya, tak perlu kau ungkit cerita”

– BUKAN UNTUKKU (HANIN DHYA)


Advertisement

Memulainya saja aku bingung, bagaimana cara yang benar untuk membuat deskripsi tentangmu. Yang aku tahu, kita adalah teman. Ya, hanya teman. Segala bentuk celotehmu aku anggap hanya angin lalu. Sampai akhirnya aku memutuskan menjauhimu karena menurutku, kamu cuma tong kosong berbunyi nyaring saat itu; jadi aku putuskan untuk menghilang darimu.

Setelah sekian lama, kini kamu hadir lagi. Iya, hadir dengan membawa cerita berakhirnya kisahmu dengannya. Ya, seperti biasa aku jadi pendengar segala ceritamu saat itu. Kemudian kita terbiasa bertemu. Kata orang, benih asmara akan tumbuh, saat dua orang terbiasa bertemu. Benarkah itu?

Rasanya tidak bagiku. Mungkin karena aku tahu kamu seperti apa sebelumnya, jadi aku anggap masih dalam tahap yang biasa.

Advertisement

Aku tidak tahu kenapa hubungan kita jadi makin dekat saja. Mungkin karena aku sering berkomunikasi dengan ibumu. Aku sempat bersyukur. Kenapa? Karena baru saat itu aku merasa akrab dengan ibu dari teman laki-laki dan responsnya pun baik.

Ah, aku tidak  ingin larut dalam hal-hal itu. Kembali, jangan menggantungkan harap dengan manusia karena manusia hanya akan membuatmu kecewa.

Tidak pernah ada kata manis yang kamu ucapkan untukku dalam sebuah hubungan. Berjalan mengalir begitu saja. Sampai pada akhirnya kamu mengunggah foto kita di media sosial untuk pertama kalinya. Entah aku harus bahagia atau biasa saja.


Tapi, terima kasih untuk segalanya. Cukup aku yang mengerti bagaimana perasaanku saat itu.


Semua berjalan tidak semulus yang aku kira. Aku kira kamu orang yang santai menghadapiku. Toh, kamu sudah tahu aku seperti apa.

Hanya saja, kenapa kamu membuatku berpikir kalau kamu terlalu menyepelekanku? Aku juga nggak melihat ada rasa sayang dalam dirimu. Kamu masih saja acuh denganku. Tapi aku tidak terlalu memikirkan hal itu, sudah biarkan saja. Toh yang terbaik tidak akan pergi.

Dan ternyata kamu bukan tipe orang yang punya pikiran tetap. Pikiranmu bercabang ke mana-mana sampai aku pun tidak bisa memahamnya. Kita berbeda pikiran dan pandangan. Aku tidak bisa mengikuti alur cara pikirmu yang terlalu pendek, menurutku.

Sampai pada akhirnya kamu memutuskan untuk melepas genggam tanganmu. Ya, pergilah. Karena aku tau hatimu bukan di aku. Harapanmu juga  bukan padaku.

Ada beberapa hal yang tidak perlu kamu tahu, cukup kusimpan dalam hati saja. Cukup kudengar kata-kata yang menyakitkan itu darimu.

Asal kamu tahu saja, aku bukanlah perempuan yang harus kamu kasihani. Aku memang mempunyai kisah masa lalu yang cukup tidak mengenakan, tetapi itu bukan jadi suatu alasan untukmu mengasihaniku atau membalas perhatianku. Di sini terlihat siapa yang baper, kan?

Kamu tidak perlu tahu  apa yang sebenarnya ada dalam hatiku, cukup aku terima kasih dengan segala kata-katamu yang terlalu banyak alasan . kenapa kamu tidak perlu tau ? karena aku tidak ingin menyakiti hati orang lain sudah cukup aku saja yang merasakannnya.

Silakan pergi, kejar kembali cintamu. Aku tahu hatimu bukan untukku. Kesempatan itu hanya ada dua kali, tidak ada kata ke tiga, ke empat atau ke lima.

Ketika kamu memilih untuk pergi, jangan sekali-kali kamu menoleh ke belakang. Kupastikan saat kamu menoleh ke belakang, di situ sudah tidak ada lagi aku yang berdiri di belakangmu, karena saat kamu meninggalkanku, saat itu juga aku ucapkan selamat tinggal dan pergilah.

Terima kasih sudah hadir, sudah singgah dan tidak menetap.

Kupastikan aku akan baik-baik saja tanpamu. :)

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Saya Aprilia , tinggal dislah satu kota di Jawa Tengah , anak kedua dari satu bersaudara , aktivitas saya adalah saya seorang pendidik mengabdikan diri mencerdaskan anak bangsa

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE