[CERPEN] Menunggu Sampai Bertemu

Bagi Syafi, menunggu adalah candu. Begitiupun dengan Syafa, ia rela menunggu seseorang yang bahkan belum ia ketahui namanya.



Sudah menjadi rutinitas Syafi sepulang dari Kantor setiap sore, ia akan duduk di bangku taman sambil memperhatikan sekelilingnya. Setelah 15 menit berada di sana, maka ia akan pulang ke rumah. Keesokan harinya ia akan kembali datang dan menunggu seseorang yang ia cari ada di taman itu.

Ia tak pernah bosan melakukan aktivitas tersebut. Sudah hampir 1 tahun ia duduk di bangku taman itu di setiap sore. Itu semua dilakukannya demi seeorang wanita yang pernah ditemuinya dulu. Terlalu konyol memang, namun ia tak pernah merasa lelah untuk menunggu. Baginya, menunggu adalah candu.

****

Suatu sore, seorang laki-laki berumur 23 tahun tengah termenung di sebuah taman. Ada sebuah bangku berukuran sedang berada di pojok taman menghadap ke danau. Netranya memandang kosong ke arah danau, tak terasa air matanya mengalir begitu saja. Pada saat yang bersamaan, seorang gadis berusia 18 tahun hendak menuju bangku tersebut. Namun ketika melihat seorang laki-laki telah lebih dulu menempati bangku tersebut, ia hendak berbalik dan mencari bangku lain.

Gadis itu mengurungkan niatnya ketika melihat sosok lelaki tersebut menangis. Entah mendapatkan keberanian darimana ia mendekati lelaki tersebut dan duduk di sampingnya. Tangan cantiknya mengulurkan sebuah benda yang selalu ia bawa di tasnya ke hadapan lelaki itu.

Merasa tak ada tanggapan dari lelaki tersebut, ia berniat menegurnya, “Pak.”

“Eh, ya. Ada apa?” tanyanya setengah terkejut.

“Ini ada sapu tangan, silahkan dipakai. Maaf jika saya lancang, Pak.”

“Terimakasih. Tapi, tolong jangan panggil saya dengan sebutan ‘Pak’. Lagi pula saya belum terlalu tua.”

“Bagaimana kalau panggil kakak saja?”

“Baiklah.”

“Kak, bersedih itu boleh tapi jangan terlalu sering. Masih banyak tanggungjawab yang harus kakak pikul.” Gadis tersebut tanpa sadar memberikan sedikit nasihat untuk Syafi.

“Darimana kamu tahu kalau saya punya banyak tanggungjawab?”

“Dari tatapan mata kakak.”

“Lalu ada urusan apa kamu ke sini?”

“Bersedih juga. Terkadang kalau ada waktu luang di sore hari aku pasti ke sini untuk mengenang mereka.” Tanpa sadar Syafi dengan gadis tersebut terlihat sangat akrab ketika berbicara, layaknya orang yang sudah saling kenal sejak lama.

“Oya? Jangan terlalu sering bersedih,” ucap Syafi menirukan gaya bahasa gadis tersebut ketika tadi menasehatinya.

“Iya. Aku pulang dulu, Kak. Sudah sore.” Ia bergegas setelah melihat jam yang ada di tangannya

Sebelum gadis tersebut berjalan menjauhinya, ia memutuskan untuk bertanya, “Namamu?”

“Syafara.”

‘Nama yang bagus,’ batin Syafi.

 “Di mana kamu tingga—“ ucapannya terpotong, ia menyadari jika gadis tersebut sudah hilang dari pandangannya.

****

“Fa, mau kemana?” tanya seorang gadis berwajah oriental.

“Mau ke taman, ikut?”

“Ogah. Capek abis pulang kuliah juga. Lo sekali-kali refreshingnya ke tempat lain, kek. Gak bosen apa ke taman terus?”

“Kamu tahu alasan aku, ‘kan?”

“Mau cari doi yang tahun lalu ketemu sama kamu.”

“Nah, itu tahu.”

“Gak cape emang? Belum tentu doi nungguin juga, ‘kan?”

“Gak ada salahnya usaha. Toh, ini tepat setahun aku ketemu dia dulu.”

“Iya deh. Semoga berjaya. Semoga doi nungguin kamu juga.”

Syafara memilih untuk mengabaikan sahabatnya. Ia berjalan dengan gontai menuju taman. Sesampainya di sana, ia sempat berkeliling sebelum menuju bangku yang selalu ia kunjungi. Setelah memastikan tak ada sosok yang ia cari, ia pun berjalan dengan lesu menuju bangku favoritnya.

Masih teringat dengan jelas wajah laki-laki yang ditemuinya tahun lalu. Sayangnya, dulu ia tak sempat menanyakan nama dari laki-laki tersebut. Ia terlebih dulu pergi. Namun setelah sampai di rumah, ia selalu terbayang-bayang dengan wajah laki-laki itu. Sebelumnya ia sangat jarang berkomunikasi dengan seorang lelaki, ia selalu merasa canggung. Tetapi ketika bertemu dengan lelaki itu ia merasa tak ada rasa canggung sama sekali, aneh memang.

Syafara tengah melamun, mengingat waktu pertama kali pertemuannya dengan lelaki tersebut. Hingga tanpa sadar tertarik garis senyuman tipis di wajahnya. Cantik, satu kata untuk menggambarkan wajahnya. Rambutnya yang tergerai diterbangkan oleh angin, menambah kesan menawan. Tepukan di pundaknya membuyarkan segala lamunannya. Saat Syafara menoleh, betapa terkejutnya ia dan orang tersebut.

“Syafara?”

“Kakak?”

“Dari mana aja kamu?”

“Lah emang dari mana?”

“Maksudnya, udah setahun aku nunggu kamu di sini.”

“Kakak tinggal di sini?”

“Bukan. Maksudnya setiap sore selama setahun belakangan ini. Berharap bisa ketemu kamu dari dulu. Ehh, baru ketemu sekarang.”

“Selama setahun belakangan ini, kalau ada waktu luang aku juga pasti ke taman.”

“Oya?” tanya Syafi. Syafara hanya membalas dengan anggukan.

“Kok gak pernah ketemu, ya.”

Syafara menggelengkan-gelengkan kepalanya. “Emm … nama kakak siapa?”

“Lah, kamu belum tahu, ya?” Syafara kembali menggelengkan kepalanya.

“Syafi, nama yang diberikan secara khusus oleh kanjeng ratu mamih.”

“Kakak orangnya sedikit lebay ternyata,” komentar Syafara terang-terangan. Syafi yang mendengar hal tersebut pun tertawa.

“Kakak emangnya kenapa nungguin aku?”

“Pengen ketemu orang cantik yang dulu pernah ngasih nasehat buat kakak.”

Syafara tersipu malu, wajahnya terlihat memerah. Ia berusaha menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. “Hanya itu, Kak?”

“Rindu juga dengan kamu, sosok adek kecil kakak.”

Deg!

Ia salah mengira, ternyata ia hanya dianggap sebagai adik kecil bagi Syafi. Percuma saja menunggu jika akhirnya cintanya tak mendapatkan balasan. Ya, ia telah menaruh hati kepada sosok yang ada di hadapannya saat ini. Untung saja dia belum mengungkapkan keinginannya untuk bertemu Syafi. Kalau saja ia sudah berbicara jujur sejak awal, ia pasti sangat merasa malu.

“Terimakasih untuk saran yang kamu berikan setahun yang lalu. Sejak saat itulah kamu sudah kuanggap sebagai adikku.”

“Ah, iya. Sama-sama.” Syafara memaksakan untuk tersenyum meskipun rasanya sangat sulit.

“Oya, minggu depan kakak ada acara. Kamu datang, ya.”

“Acara apa?” tanya Syafara dengan mimik serius.

“Tunangan,” jawab Syafi lalu tersenyum hangat.

‘Ya Tuhan, tolong hilangkan aku dari hadapannya untuk saat ini.’

“Syafara, kok bengong. Ada apa?”

“Emm, ti-tidak kenapa napa. Aku pamit dulu, ya.” Syafara langsung berlari menjauh dari Syafi. Tangisnya pecah. Ia tak pernah menyangka jika akhirnya akan seperti ini. Dari kejauhan ia mendengar Syafi memanggil namanya. Namun ia sudah tak peduli.

“Kita emang sama-sama saling menunggu satu sama lain. Tetapi tujuan kita berbeda sedari awal. Jika kutahu akhirnya akan seperti ini, aku tak akan pernah mau untuk menunggu.” Sepanjang jalan pulang, Syafara terus menggerutu. Ini pertama kalinya ia merasakan jatuh cinta, namun hatinya langsung terpatahkan. Cintanya bertepuk sebelah tangan.

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini