[CERPEN] Menunggu Tak Pernah Sepelik Ini

Aku hidup untuk masa depan, bukan malah terjebak pada penyesalan.

Setelah kupesan kopi lalu membiarkan mengendap sesaat agar dapat kuteguk nikmatnya, sesegera kualihkan pandanganku  dari amplop putih yang belum berani kubuka sedari pagi tadi pada segerombolan daun beringin yang jatuh berserakan dihadapan dan sesegera itu lamunanku tertuju padamu.

Advertisement

Pada istri tercinta di rumah, yang biasanya diantara jam makan siang dan menjelang petang sedang membangunkan anak tersayang untuk memandikan serta mengajak bermain sambil menyuapinya makan.

"Sendirian Mas? Istri sama si kecil nggak diajak?" Tanya Mbak Ida pemilik warung.

"Iya Mbak. Mereka sementara tinggal di kampung dulu sampai aku dapat tempat tinggal yang layak untuk kami tinggali kembali". Sahutku.

Advertisement

"Oh, tempat yang lama kenapa?"

"Pemiliknya sudah tidak memperpanjang masa kontraknya." Jawabku.

Advertisement

Kulanjutkan lamunan sepersekian detik setelah Mbak Ida bertanya. Dulu biasanya di warung ini kita bercengkerama bersama setelah berhasil menaklukan kemalasan diri dan bengisnya kehidupan kota. Di warung langganan di bawah rindang pohon beringin sudut kota, diantara penjaja pedagang asongan, pengemis dan pegawai-pegawai lainnya yang mencoba sejenak melepas penat.

***

Sudah tiga hari aku duduk dan menghabiskan sepotong waktu di sini, saat senja bertamu di kota yang mulai mengantongi debu dan sisa kepulan asap kendaraan yang begitu banyak. Tiga hari dari tiga bulan berturut sejak kami terpisah dan saling menunggu untuk dapat kembali berkumpul di sebuah rumah kontrakan kecil.

Sambil kubaca berulang selembar kertas dalam amplop berwarna putih bertuliskan "Surat Pemutusan Hubungan Kerja" ini, sambil kuputar otak agar dapat memperoleh kembali pekerjaan yang layak, yang menjadi tumpuan kami untuk hidup sehari-hari.

Aku selalu duduk di sebelah sudut warung persis dibawah akar beringin yang bergelayut, tempat yang paling sudut, yang tidak terlalu banyak gangguan orang lalu lalang. Tempat yang oleh beberapa orang dianggap sebagai legenda yang jarang didengar oleh manusia, yang jika hujan turun maka terciptalah genangan di ceruk-ceruk sudut jalanan.

Namun menunggu genangan-genangan air selepas hujan itu terjadi di tengah musim panas begini serasa tak mungkin terjadi. Sama sepertiku yang serasa mustahil menunggu impian-impian kecil terwujud dalam waktu dekat.

Sembari menunggu aku suka sekali membayangkan dirimu. Ada sesuatu yang selalu buatku rindu. Gurat senyum di kedua pipimu yang berisi. Tiap kali kamu tersenyum, ikut menyipitkan dua matamu yang semula sipit menjadi semakin sipit. Kuku-kukumu selalu rapi seolah pagar keraton yang saban hari dirawat.

***

"Sreeek… Sreeek… Sreeek…" 

Bunyi sapu lidi mengenai lantai warung itu menyadarkanku dari lamunan. Kutatap sekeliling, pemilik warung sudah merapikan kursi dan meja, membersihkan tiap sudut tempat. Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengaliri tubuhku, halus sekali, sesuatu yang menyadarkan. Nafasku naik-turun.

“Maaf, Mas. Mas masih lama lagi?” tanya Mbak Ida hati-hati.

Aku tak bergeming. Dia tentu heran, mungkin ia mengira aku kerasukan penunggu beringin tua ini.

“Terimakasih,” akhirnya kata itu meluncur memecah keheningan, kata yang sungguh-sungguh dan bulat dariku. Dia terkesiap dan serta-merta menghentikan pekerjaannya guna menyimak kata-kata selanjutku.

Mataku hangat, dalam hati aku berkata-kata,

“Terimakasih Mbak, Mbak Ida mengajarkan satu hal padaku, tentang membersihkan tempat ini tiap hari, tempat yang acapkali melekat kenangan-kenangan indah dan sedih! Yang mengajarkan aku bagaimana cara menyapu kenangan dan bayang kegagalan, lalu menjadikan diri seperti ruangan yang bersih dari kenangan-kenangan sedih itu sendiri!” 

Semua yang ada di warung menatapku, benar-benar teduh dan seolah mengiyakan kata-kata yang kugumamkan barusan. Mata mereka masih memerhatikanku. “Solo, aku harus menaklukanmu,” gumamku.

Mungkin aku akan tahu bila mampu mengeja denyut waktu, menunggu saat yang tepat untuk kita bertiga berkumpul kembali, di sebuah rumah petak kecil sederhana, sehingga kita akan paham jika mendekam dalam temaram hati. Tapi sementara ini aku masih harus menunggu untuk mendapat pekerjaan dan tempat tinggal yang baru. Dan aku hanyalah aku yang hadir di dekatmu jika lelah menggelayut, jika mata indahmu meredup dan jika malas mulai menunggang dengan culas.

Ya, aku hidup untuk masa depan, bukan malah terjebak pada penyesalan, pada kesalahan masa lalu, meski tak pernah sepelik ini, batinku. Selembar kertas dan amplop telah terkepal dan berpindah ke tempat sampah.

Bergegas kukemasi barang-barangku, membayar secangkir kopi tadi dan pamit.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE