Mereka yang Lupa Daratan Untuk Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja

Saat ini populasi penduduk usia 16-30 tahun telah mencapai angka 62 juta jiwa lebih (Susenas, 2010). Populasi ini dibebankan sebuah standar norma ganda yang menyatakan bahwa remaja mampu menjadi agen perubahan dan masa depan bangsa, dan disatu sisi remaja ditempatkan dalam level objek dari pembangunan dan acap kali menjadi beban dari pembangunan itu sendiri.

Advertisement

Ditambah lagi, isu yang membebani remaja seperti masalah Seksual dan Reproduksi mengancam remaja. Data nasional mungkin bisa menyatakan bahwa remaja yang mengetahui informasi komprehensif tentang HIV mencapai angka 12,5%. Tapi, realita tidak serta merta menyatakan demikian, coba tanyakan pada dirimu, apakah orang yang positif HIV akan menularkan HIVnya jika berhubungan seks tanpa kondom? Jika anda menjawab Ya, artinya anda masih belum memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV.

Advertisement

Berbagai pihak telah melakukukan berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas remaja dari permasalahan HKSR mulai dari kekerasan seksual, aborsi tidak aman, infeksi HIV dan IMS, dan sebagainya. Upaya yang dilakukan tentu melakukan pendekatan yang berbeda-beda, mulai dari pendekatan pemberdayaan akar rumput hingga level advokasi.

Advertisement

Berbicara mengenai upaya advokasi, pada advokat yang mengangkat mengenai HKSR remaja dan membawa realita lapangan terkait situasi–yang tidak mampu diangkat oleh penelitian sekelas SDKI, memiliki tantangan besar ketika menghadapi pada pemangku kebijakan.

Mereka yang mengatakan bekerja untuk isu remaja di Kementerian, atau para petinggi negeri ini acap kali tidak mengetahui situasi lapangan. Upaya-upaya yang mereka lakukan tidak lebih dari penyelesaian tugas yang telah mereka emban dan kemudian mendapatkan gaji di akhir bulan.

Sementara korban usia remaja terus berjatuhan menghadapi kehamilan remaja, IMS dan HIV, hingga kekerasan seksual. Mereka yang duduk di bangku kementerian, yang memengang jabatan Eselon atau staff teknis tak mampu mengakomodir bagaimana kebutuhan remaja di akar rumput.

Salah satu contoh, Kementerian Kesehatan membuat sebuah instrumen untuk penjaringan remaja untuk mendiagnosa HIV. Instrumen yang mereka kembangkan menanyakan sejembreng pertanyaan, yang to be realistis, tidak akan diisi dengan jujur oleh remaja di sekolah. Terlebih lagi, remaja sebagai objek dari instrumen itu, dilibatkan setelah instrumen telah dikembangkan hampir 100%.

Saya yakin, ketika mereka dievaluasi dan ditemukan bahwa instrumen tidak dapat digunakan secara efektif, mereka tentu akan menyalahkan remaja karena mereka sudah dilibatkan. Sangat disayangkan, uang negara yang begitu banyaknya, dihabiskan hanya untuk pengembangan instrumen yang tidak akan berguna banyak.

Salah satu kelemahan dari sistem ketenagakerjaan Pegawai Negeri Sipil adalah mereka merekrut kemampuan manusia, bukan merekrut sesuai dengan passion. Sehingga ketika mereka menempati posisi tinggi, mereka berbicara hanya berdasarkan data dan imaji, tanpa mengetahui realita lapangan seperti apa.

Kemudian, sistem perputaran jabatan juga tidak melihat secara jelas mengenai apa passion si individu yang bekerja di dalamnya. Satu pengalaman, terdapat satu orang yang bekerja untuk isu remaja dan kesehatan reproduksi remaja, namun latar belakang pekerjaannya di kementerian yang sama tidak mendukung kinerjanya sama sekali, bagaimana dia bisa memahami persoalan remaja.

Tapi, saya tidak bisa mengatakan bahwa semua petugas kementerian atau pemegang jabatan strategis di negeri ini tidak memiliki pengetahuan lapangan. Banyak di antara mereka yang memiliki kemampuan dan keinginan untuk belajar dan menggali kebutuhan dari apa yang mereka kerjakan. Saya juga merasa hal ini bukan hanya terjadi di Kementerian, di LSM sekalipun kadang kita yang bekerja terlalu sering di level atas–anggap saja bekerja di UN, kita lupa akan kebutuhan remaja di daerah.

Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa kita tidak hanya bekerja di awan yang tentu tidak mampu menjangkau mereka yang membutuhkan? Menurut saya, pendekatan multi komponen adalah solusinya. Kita yang bekerja di LSM memiliki pembagian kerja, ada mereka yang bekerja untuk berpikir di belakang layar, ada mereka yang menjadi aktor, dan ada yang hanya mengurusi biaya transport dan konsumsi.

Kita harus menyadari adanya hal tersebut untuk memastikan bahwa tidak semua orang mengetahui isu di lapangan. Hal ini juga memastikan adanya pertukaran pengetahuan dari orang yang mengetahui lapangan, dengan mereka yang mengetahui kebijakan. Sehingga harapannya terjadi mutual relationship antara mereka yang bekerja untuk satu isu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE