Minuman Moke Flores; Soal Tradisi, Jati Diri dan Solidaritas

Ketika menyebut Moke orang akan ingat Flores dan NTT

Moke, minuman beralkohol asal Flores ini semakin lama semakin terkenal. Minuman yang memiliki kadar alkohol tinggi ini menjadi terkenal bukan karena bikin orang tewas atau gila karena over dosis. Moke menjadi terkenal karena kekhasan aromanya yang luar biasa menggoda, makna dibalik moke dan usaha Bapak Gubernur untuk melegalkan minuman ini sebagai bagian dari tradisi orang NTT.

Minum moke berarti meneguk cita rasa keramahan orang Flores. Hampir disemua kesempatan orang Flores akan menunjukkan rasa sopan mereka pada tamu dengan menyuguhkan moke sabagai ucapan selamat datang. Adalah suatu yang sopan jika tamu memberi hormat pada sambutan itu dengan meminum beberapa teguk moke.

Bagi orang Flores moke bukan sekedar minuman alkohol untuk bersenang-senang. Moke adalah repsentasi jati diri. Itulah sebabnya disetiap acara adat moke selalu menjadi simbol persetujuan, perdamaian, kesepakatan, dan kesepahaman akan suatu hal atau pun persoalan.

Di Manggarai contohnya, ketika ada keluarga yang saling berselisih mereka dapat didamaikan dengan sebotol moke. Atau ketika sepasang laki-laki dan perempuan disahkan menjadi suami istri perlu sebotol moke. Memang, bukan tentang mokenya. Moke hanya simbol kesediaan, kerendahan hati, dan keterbukaan untuk memberi dan menerima aneka kesepakatan tersebut. 

Moke juga menjadi tanda persaudaraan dan pergaulan. Siapa pun manusianya ketika pertama kali sampai di Flores akan langsung disuguhkan moke. Ketika kita menerima moke maka kita akan dianggap saudara. Demikian pun dalam pergaulan, akan lebih mudah mengingat teman minum moke ketimbang teman makan bakso.

Hal lain yang membuat moke penting di Flores adalah karena menjadi sumber ekonomi orang Flores. Hampir semua keluarga adalah para penjual moke. Tidak tanggung-tanggung dari hasil menjual moke kebanyakan orang Flores sanggup menguliahkan anak-anak mereka. Dari hasil moke orang Flores bisa membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Sedari dulu moke menjadi sarana untuk memupuk rasa kekeluargaan. Tradisi moke dalam setiap urusan adat justru membentuk ikatan batin antar masyarakat semakin kuat. Meski zaman berganti dengan segala tetak bengek yang serba online dan instan, moke justru memberi tawaran sebaliknya. Minum moke mesti bersua muka dan berbagi cerita karena tak ada minum moke online.

Membuat moke butuh kesabaran dan keseriusan bahkan rasa was-was dari para petani moke. Sejak proses penyadapan hingga penyulingan ada cerita tentang perjuangan memasak moke. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha agar hasil sulingan mereka laris di pasaran dan pada akhirnya bisa menyekolahkan anak-anak mereka.

Saya yakin, atas berbagai pertimbangan di atas Gubernur NTT berusaha melegalkan moke. Sebab, meski ada berbagai kasus KDRT dan persoalan kekeluargaan yang disebabkan oleh moke, tidaklah sebanding dengan dampak besar jika moke dilarang peredarannya di Flores dan NTT umumnya.

Demi menunjukkan rasa solidaritas pada para petani moke, untuk keperluan adat dan untuk berbagai acara lain moke dijadikan minuman prioritas bak anggur, sake atau wiski. Maka kebutuhan akan moke pun meningkat dan senyum bahagia keluarga penyuling moke kian merekah, selebar mulut meneguk moke.

Bagi orang Waerana khususnya, kabar akan dilegalkannya moke disambut baik para petani dan pengusaha moke. Bagaimana tidak moke terkenal dengan nama BM alias Bakar Menyala, Nomor Satu, dan Arak berasal dari daerah sekitaran sana. Sebut saja Moke Kobok yang terkenal di antara masyarakat Manggarai yang tersebar hampir di seantero negeri ini atau BM Ranameti yang selalu jadi andalan di setiap pesta adat.

Semabuk-mabuknya orang Waerana bahkan orang Flores karena kebanyakan minum moke tak separah orang-orang fly karena oplosan dan narkoba di Jakarta. Mabok moke hanya sejenak. Efek mabok moke tidak sampai gila bahkan merenggut nyawa. Biasanya jika ada yang mabok mereka akan tidur meski terkadang kedapatan nyenyak di selokan. Tingkat terparah mabok moke biasanya berkelahi tapi selalu cepat dilerai dan masalah pun selesai dengan sebotol moke lagi.

Namun, terlepas dari efek tak tahu diri karena mabok moke, rasa persaudaraan orang Flores sudah tersimbol sejak lama melalui moke. Mulai dari berbagi rasa dan cerita hingga acara pesta adat dan pesta lainnya moke selalu menjadi kata pengantar dalam setiap pembicaraan. Ikatan batin yang kuat terjalin begitu saja hanyak kerena sebotol moke.

Sesungguhnya melegalkan moke di NTT bukan sebagai bentuk keberpihakan pada Penyakit Masyarakat atau mabuk-mabukkan. Persoalan mabuk atau tidaknya bukan pada moke tetapi pada siapa yang meminum moke. Tanpa minum moke orang bisa mabuk juga bukan? Naik bus misalnya. Oleh karena itu masyarakat perlu menyadari tentang bahaya moke jika diteguk melebihi kapasitas yang seharusnya.

Menghilangkan moke berarti menghilangkan tradisi orang Flores. Menghapus moke berarti menghapus rasa kekeluargaan, meniadakan rasa solidaritas dan ikatan antar masyarakat di Flores. Melarang moke justeru akan menimbulkan persoalan baru yakni ekonomi. Ada berapa banyak petani dan pengusaha moke yang akan kehilangan pekerjaan mereka karena pelarangan moke?

Lebih dari itu meniadakan moke berarti meniadakan jati diri orang Flores sendiri. Ketika menyebut Moke orang akan ingat Flores dan NTT. Apalah artinya ketika di Flores lebih banyak dijual Sprite atau Bir, apakah Flores masih dikenal?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Saya adalah seorang Pengajar dan Pendidik. Mengajar dan mendidik adalah medan dan media untuk mengembara ke alam ide dan imaginasi manusia. Melalui pendidikan manusia menemukan kesungguhan untuk merealisasikan ide dan kreatifitasnya. Melalui pendidikan manusia menegekspresikan dirinya untuk memperdalam relasi dan intimasi dengan yang lain. Pada akhiranya pendidikan menjadiwadah untuk membangun karakter manusia untuk menjadi cerdas secara "otak" dan juga luhur secara "watak"