Sesekali Sambat Itu Manusiawi, Setiap Jiwa yang Hidup Pasti Akan Mengalami

Berkeluh kesah

Dalam hidup, setidaknya kita pernah berkeluh kesah. Seorang mahasiswa yang resah menghadapi dunia luar. Seorang sarjana yang baru lulus tapi belum menemukan pekerjaan karena belum memahami betul apa yang dia mau, termasuk tidak tahu apa passion-nya.

Advertisement

Seorang karyawan perusahaan yang sebatas kerja karena terhalang permainan politik dunia kantor dan tidak bisa berkembang, seorang pekerja perempuan yang resah tidak bisa menyeimbangkan karir dan keluarganya.

Seorang programmer ingin merakit PC tapi biaya tidak memungkinkan, kebimbangan, perasaan berdosa, takut doi direbut orang, tugas akhir yang sebetulnya tidak benar-benar “akhir”, dan masih banyak keresahan didunia ini. Termasuk meresahkan rezeki, besok bisa makan tidak? atau nanti punya jodoh atau tidak?


Resah adalah bagian dari kehidupan, sah-sah saja dan lumrah. Percayalah, bahwa resah bukan hanya dirasakan diri kita sendiri, yang lain juga sama. Hanya kadang gengsi untuk mengakui, seolah resah adalah tanda kalah, dan orang yang berkeluh kesah itu salah.


Advertisement

Padahal tidak, semua orang punya keresahan hidup, variabelnya saja yang berbeda. Atau mungkin satu diantara kita keresahannya sama, saling beririsan dan berhubungan. Bisa saja, kan? Pada kenyataannya, ada yang tidak vocal bersuara, diam memendam keresahan sebab keresahan dianggap objek menakutkan.

Ketika ada yang memulai pembicaraan, mengangkat hal itu ke permukaan. Hal yang paling menyenangkan adalah menemukan teman yang punya keresahan yang sama. Kemudian berkata “Ih, iya! Sama aku juga!”.

Advertisement

Masa muda yang ceria seketika menjadi gundah gulana kala resah itu melanda, kalau sudah begitu apa yang bisa melegakan? Mungkin bercerita solusinya. Pilih media yang dianggap tepat menuangkan isi kepala. Bisa kepada manusia, bisa kepada sang Pencipta.

Ibarat manusia saling bercengkarama meminta solusi dari sebuah perkara, terkadang solusi itu datang dari diri kita sendiri, kita hanya butuh refleksi. Namun semandiri-mandirinya kita, butuh teman berbagi juga untuk meyakinkan pilihan atau keputusan kita. Untuk mengkonfirmasi apa yang kita pikirkan dan rasakan. Walau hanya jawaban “ya” atau “tidak” saja, itu sangat melegakan dibanding kita menyimpan sendirian.

Jauh sebelum era millennial, manusia di bumi juga pernah merasakan keresahan. Kalau kita melihat jalan cerita manusia terdahulu, banyak hikmah yang bisa dipetik dan diterapkan pada hari ini. Misalnya mengiblat kepada kisah Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim A.S ini sangat sabar luar biasa. Bagaimana dirinya mengahadapi keresahan? Let’s see another perspective about ‘resah’.


Di sebuah tanah kering kerontang, Siti Hajar ditinggal pergi suaminya. Ia berjalan bersama anaknya yang menangis kehausan harena kehabisan air. Ia bersedih dan bertanya kepada suaminya “Hendak kemana kah engkau? Sampai hatikah kau meninggalkan kami berdua ditanah yang tandus ini?"


Namun tak ada jawaban dari Nabi Ibrahim, akhirnya Siti Hajar bertanya “Adakah ini memang perintah dari Allah?" 

Beliau hanya menjawab “Ya." Mendengar jawaban itu, Siti Hajar merasa tenang dan memasrahkan segalanya kepada Allah. Dirinya percaya hidupnya terjamin walau ditempat yang tandus, sunyi, tidak ada kemudahan sama sekali.

Dilembah pasir, ditanah tandus itu Siti Hajar bersama anaknya mencari air pulang pergi dari bukit Shafa ke Marwah. Hingga saat ketujuh kali, ada suara mengagetkan. Alangkah terkejutnya suara itu ternyata mata air yang memancar dari dalam tanah dengan derasnya di bawah telapak kaki anaknya Ismail. Itulah yang kemudian disebut air zam-zam.

Peristiwa diantara bukit Shafa dan Marwah adalah Sa’i, yakni lari-lari kecil dari bukit Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali yang menjadi rukun haji & umrah. Betapa sabarnya berbuah manis mengecap nikmat tersebut yang menjadi petikan hikmah di kemudian hari.

Pelajaran yang bisa diambil untuk manusia hari ini apa? Jika semua rezeki sudah dijamin, mengapa kita harus resah? Kita lihat proses Sa’i yang dilakukan Siti Hajar, di mana dirinya memasrahkan segalanya pada Tuhan, namun tak lantas berdiam diri. Seperti terlihat tidak ada kemudahan, tapi dirinya terus bergerak. Hingga saatnya tiba datang rezeki yang tak disangka-sangka.

Bukan, ini bukan menasehatimu, ini untuk diriku sendiri yang sering lupa bahwa realita terus bergerak dan hidup itu dinamis. Ketika keresahan menimpa apa yang harus dilakukan? Berdiam diri dan berpasrah? Manusia diselimuti tanda tanya.

Ketika hampir menyerah dan dikeroyok rasa resah, ingatlah, pertolongan Tuhan itu dekat, sedekat kening dan sajadah. Dalam menjemput rezeki kita tidak bisa hanya mengandalkan usaha, itu sombong namanya. Dalam keheningan sujud, manusia terus berlarut tanpa dibarengi usaha yang nyata itu bohong namanya. Kalau kata pribahasa, hasil adalah gabungan doa dan usaha.


Mungkin Tuhan ingin melihat kita bergerak dulu, tekad kita sejauh mana. ibarat sekolah, ujiannya itu rasa resah. Masih mending diuji daripada jadi murid tidak dianggap? Kan sedih.


So, keresahan itu manusiawi. Tidak usah takut menyuarakan keresahan, tulisan ini juga berawal dari keresahan. Bukan keresahan aku saja, tapi dari teman, juga lingkungan sekitar, “resah mengutarakan keresahan”.

Buka mata, telinga, hati, dan pikiran. Bahwa sebenarnya kita tidak sendirian. Menurutku keresahan ini perjalanan spiritual, melibatkan intuisi dan pikiran. Agar perasaan kita digunakan, dan logika dipakai saat memutuskan. Jika mata tak mampu saling menatap untuk menjelaskan. Lewat tulisan adalah media untuk menuangkan keresahan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE