Patah Hati Paling Pahit Terkadang Akan Mengajarkanmu Menemukan Cara Mencintai Paling Baik

Mencintai paling baik lewat patah hati

Malam ini hujan turun. Entah sudah yang keberapa semenjak September-Oktober ini. Rasa-rasanya hujan tak kunjung lelah untuk jatuh menemui para perindu yang sibuk mendamba sebuah temu. Dan pikiranku, sibuk menerawang jauh. Perihal luka yang dulu menganga, tapi akhirnya sanggup ‘sembuh’ juga.

Advertisement

Aku ingat, bahwa dulu luka pernah sedemikian perih untuk diingat. Sebab kehilangan dan perpisahan tak pernah sesederhana ‘jatuh cinta’. Jatuh cinta bisa terjadi begitu apa adanya. Tapi perpisahan tidak. Ia hadir serupa nelangsa. Berlarut menyiksa jiwa dan raga tak habis-habisnya.

Aku juga ingat, bagaimana hampir tiap malam aku harus terbangun. Menangis, duduk di sudut tepi tempat tidur dan memeluk lututku sendiri. Sebab esok akan kutemui pagi dengan kau yang sudah tak lagi ada di sisi. Oh sungguh itu menyiksa sekali.

Mungkin kau tak akan pernah tahu. Bagaimana saat itu sedemikian dalam kujatuhkan hati padamu. Bagaimana sedemikian keras usahaku mempertahankanmu untuk tetap berada di sini bersamaku. Namun dengan ego, kau melangkah pergi. Tanpa menghiraukan betapa terlukanya aku di sini. Kau tetap tak peduli.

Advertisement

Aku menyiksa diriku hampir setiap hari. Sampai sampai aku ‘kehilangan’ diriku sendiri. Aku memaki. Marah. Tapi entah pada siapa. Mungkin pada diriku sendiri. Sebab pedihnya seperti tak sanggup kutahan sendiri. Kau pergi membawa hatiku yang setengahnya lagi.

Namun, perlahan aku sadar, bahwa aku harus bangkit. Menata semangat dan hatiku kembali. Selepas kau pergi, aku harus mampu melanjutkan bahagiaku lagi.

Advertisement

Karena perlahan aku paham, ‘bagaimana aku bisa tega mencintaimu, jika ternyata ada rumah lain yang sedang berusaha kau tuju?  Bagaimana bisa aku tega mencintaimu, jika saat menatap matamu yang serupa bintang jatuh, tak pernah ada aku yang kau pandang secara utuh? Demi apapun, bagaimana bisa aku dengan bersikeras masih tega mencintainya?”

Kau harus tahu, perjalanan menuju ‘sembuh’ selalu penuh liku-liku. Tak pernah mudah. Tak akan pernah.

Sampai waktu berlalu, dan warasku kembali seperti dulu. Mencintaimu ternyata hanya serupa ‘belati’. Dan setelahnya, tak ada hal baik yang kau sisakan selepas kau pergi. Aku malah kehilangan diriku sendiri. Dan ternyata memang bukan. Hatimu memang bukan rumah. Tempat segala lelah bisa rebah.

Lalu, waktu membawaku pada suasana dan orang-orang yang baru. Menyenangkan sekali.

Seperti saat pagi itu, di antara hentak sepatu yang berlalu lalang, dan senyum-senyum yang menawarkan diri untuk menyambut, aku bertemu ‘Dia’, seseorang yang luar biasa sederhananya. Yang hanya dengan sedikit tersenyum dan menyapa saja bisa membuatku ‘jatuh cinta’.

Aku seperti sudah lama tidak merasakan sesuatu. Seperti tak sabar bertemu pagi hanya untuk bisa menemuinya lagi, misalnya. Dia sangat istimewa. Yang dengan bermacam frasa pun tak mampu menjelaskan betapa istimewanya dia. Yang isi kepalanya sangat menarik untuk kubaca. Sangat bersahaja.

Waktu seperti sedang sangat berbaik hati padaku, yang mempertemukanku dengan dia yang pandai menenangkan sendu. Aku merasa beruntung sekali saat itu. Kau tahu? Betapa berbagai pengalaman dan pelajaran yang ia bagi, semakin menyadarkan bahwa aku perlu mencintai diriku sendiri.


“Jika kau saja tidak mencintai dan menghormati dirimu sendiri, bagaimana kau berharap orang asing untuk memeluk hatimu yang berharga itu?”


Kau lihat? Setiap kata yang ia keluarkan memang selalu bagai ‘mantra’. Dan aku betah untuk mendengarnya berlama-lama. Luar biasa.

Aku mulai melalui hari dengan semangat lagi. Dengan mimpi yang berusaha kubangun lagi. Sampai aku tahu, bahwa saat aku bertemu dengannya dan aku jatuh cinta, ternyata dalam keadaan dia sudah lebih dulu mengenal seorang wanita. Sudah lebih kurang 10 tahun kalau tidak salah. Aku bisa menebak, betapa perjalanan panjang telah mereka lalui berdua. Jika kau pikir, ia adalah lelaki penebar harapan? Oh tidak! Dia lelaki baik. Dan tetap akan selalu begitu. Betapa hubungan antara aku, dia dan wanita itu cukup rumit untuk dijelaskan.

Sebenarnya bukan karena jarak usia yang cukup jauh antara kami berdua. Mungkin inilah rencana Tuhan. Kami dipertemukan (mungkin) tanpa dipersatukan. Semuanya bukan salah lelaki ini, bukan juga salahku atau wanita itu. Semua terjadi begitu saja. Tanpa pernah kami bayangkan sebelumnya.

Aku jadi ingat satu hal bahwa “Mungkin ada orang baik yang hadir didalam kehidupan kita. Tertakdir hanya jadi kenangan. Ia hanya akan ada didalam hati , tapi bukan untuk jadi bagian perjalanan hari yang akan dilalui”. Kurasa kalimat ini benar, dan lelaki itu contohnya.

Saat itu, memang ada sedikit kesedihan yang menyelinap didalam dada. Bagaimana tidak? Aku tidak pernah merasa ‘sedamba’ ini pada seseorang. Pun sampai dengan sepenuh jiwa meminta hatinya pada Tuhan. Tak tanggung, aku menyebut langsung namanya didalam doa. Lalu setelahnya, aku harus kembali menerima luka. Kau pasti juga tahu bahwa aku tetaplah wanita biasa. Yang tetap bisa tersenyum walau malam harinya harus berurai airmata. Tapi bedanya, entah kenapa hatiku bisa lebih lapang. Seperti berusaha menerima apapun yang terjadi pada akhirnya. Aku terluka, tapi setelahnya aku kembali ingat satu hal. Bahwa kucintai diriku sendiri dengan segenap jiwa. Tak kubiarkan siapapun berlarut membuatnya terluka.

Jangan berpikir bahwa cintaku padanya tidaklah sungguh-sungguh. Sebab, demi darah dan nafasku kucintai ia saja dengan utuh. Hanya aku sadar, bahwa ada yang lebih membutuhkanku;diriku sendiri.

Aku mengikhlaskan, jika pada akhirnya wanita beruntung itu bukanlah aku. Tapi, selama aku tahu dia berbahagia dan baik-baik saja, kurasa dunia pun akan sama.

Jika selepas kepergianmu aku menangis sesenggukan, memaki dan menyalahkan diriku sendiri. Setelah kepergiannya justru berbeda, aku lebih banyak sibuk berkutat pada hal-hal bermanfaat. Menjalani ‘passion’ dan mencintai diriku sendiri. Berusaha menebar manfaat sebaik baiknya pada sesama. Kau pasti tahu kan? Bahwa aku suka sekali membaca, menulis, menyanyi dan traveling? Ya, aku banyak menghabiskan waktuku untuk itu. Sembari terus melahirkan ide dan karya-karya baru. Karena tekadku bulat, untuk siapapun hati yang akan ku’jatuh cintai’ nantinya harus jadi seseorang yang beruntung. Sebab rumah yang ia tuju ternyata adalah hunian yang berkualitas dan bermutu. Itu janjiku. Ah…. Betapa bahagianya aku~

Entahlah, apa yang aku dapatkan dari mencintainya ternyata lebih dari yang aku kira. Dia mengajariku hal yang cukup sulit kulakukan didunia; mencintai diriku sendiri. Dan dia ‘Berhasil’.

Jadi, aku merasa kalaupun aku kehilangannya, aku tetap merasakan cintanya. Detak lembut kesahajaannya. Lewat caraku mencintai diriku sendiri dengan nasihat-nasihatnya.

Jika denganmu aku merasakan ‘Patah hati’ paling pahit, dengannya aku justru belajar cara ‘Mencintai’ yang paling baik. Kelak, jika aku bertemu denganmu, aku akan berterimakasih. Karena telah melepaskanku dan membawaku mengenal dia. Dan padanya, aku juga berterimakasih, karena telah mengajariku mencintai dengan sebaik-baiknya cara.

Juga mungkin akan sedikit menghadiahinya sebuah puisi,

“dalam diam yang baik, ada seseorang yang diam diam memperbaiki dirinya. Menjaga irama langkahnya agar tetap tangguh untuk mencintaimu. Memahamimu dan menguatkanmu sambil berharap agar tak pernah dihampiri keinginan untuk menyerah.

Barangkali, dalam diam yang bisu, ada seseorang yang membayangkan hidup satu rumah bersamamu. Bersama dirimu dengan segala lebih dan kurangmu. Bangun ketika kau masih sibuk menikmati mimpi. Menyiapkan sarapan dan seragam. Sampai akhirnya mengecup punggung tanganmu dengan hati-hati agar kau bisa terjaga dengan bibir yang selalu tersenyum. Dan diam yang bisu itu, adalah ‘Aku’.

Dan tak lupa kubisiki pada telinga wanita yang beruntung itu, bahwa selamat karena telah menemukan dia. Lelaki yang luar biasa cara berpikirnya. Selamat karena kau akan menghabiskan waktu dengan lelaki yang tak akan berhenti membuatmu jatuh cinta. Entah itu dengan sikapnya, semangatnya, pun tutur katanya.

Dan setelahnya, dilubuk hati terdalam, besar harapanku bahwa wanita beruntung itu bernama ‘Annisa’. Iya, itu aku. Wanita yang sedari tadi menulis sambil sibuk membayangkan indah senyummu yang seindah purnama dilangit yang bertebaran bintang jatuh.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Semoga kita tetap berpikir melangit, dengan hati yang selalu membumi

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE