Pentingnya Refleksi Diri: Mencari Subyek dan Buat Hidup Lebih Asyik!

Matahari tak bosan-bosannya menyengat kita untuk bangun setiap pagi. Segatan itu pula yang mengajak kita kembali menegangkan otot wajah ini untuk tersenyum mengawali hari. Matahari juga seakan menjanjikan kita bahwa kita memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, sekali lagi. Namun, di tengah perkembangan teknologi yang super cepat bak angin sepoi-sepoi yang tenang namun menghanyutkan ini, kita nggak sempat untuk melakukan hal reflektif semacam tadi. Boro-boro mikirin matahari dengan personifikasi, tugas yang deadline pengumpulannya hari ini aja nyaris nggak tersentuh, dan terkadang dengan gampangnya kita bilang “skip”.

Advertisement

Yakin nggak ada waktu untuk merenung sebentar? Terus kok bisa ya akun instagram kita itu punya followers ratusan? Isinya ambar-gambar flawless hasil hunting dari lensa mirrorless. Sekarang ini siapa sih yang setiap pagi masih menyempatkan diri berdiri di depan cermin buat melihat bayangan diri sebentar, lalu berani mengucapkan mimpi sebanyak tiga kali? Haha, malah jadi mirip film horor aja. Tapi serius nih, sudah jarang sekali orang yang memiliki kebiasaan reflektif semacam itu.

Sekarang ini kebanyakan dari kita bangun setiap pagi sebagai sekedar rutinitas belaka. Semua tugas dan kewajiban menjadi terasa berat dan melelahkan. Belajar terasa bak beban yang dipikul berat, bukan kesempatan emas untuk menimba ilmu. Keinginan untuk berprestasi membakar ambisi dan memaksa kita untuk selalu dalam mode “gas pol” setiap harinya. Diri ini bak gasing yang terus menerus berputar, tak peduli sekitar dan menabrak sana sini untuk menunjukkan eksistensinya. Ada juga istilah “ambis” yang kadang diartikan negatif untuk orang yang padahal berjuang memenuhi tujuan baiknya. Ada juga istilah “mbadak” yang maknanya mirip dengan gasing tadi, hingga tak sadar merugikan pihak lain, duh.

Disadari atau tidak, tiap elemen di dunia ini punya kapasitas. Dalam material baja pun, setelah menunaikan tugasnya menahan beban tarikan sekian lama, punya fase yang namanya relaksasi. Mesin motor bebek di kosan juga perlu rutin masuk servisan setiap membelah angka kilometer tertentu. Jadi sebenarnya wajar bagi kita untuk merasakan yang namanya lelah. Namun bila tidak diimbangi pemaknaan dan refleksi diri, di suatu titik kita akan mempertanyakan sesuatu. Akan muncul suatu perasaan hampa atau kosong dalam diri akibat kebiasaan “mbadak” dan ”nggasing” tadi.

Advertisement

Ibarat bola yang menggelinding dengan cepat, selama proses itu bola tak sempat melihat keindahan di kanan kirinya. Kemungkinan bola itu tercebur di kubangan, tertancap paku, atau menelindas permen karet yang ikut menempel dan menggelinding. Semua proses itu berjalan begitu cepat dalam sebuah lintasan yang bahkan bisa jadi tak disadari oleh sang bola. Hingga suatu saat dia menabrak tembok pagar tinggi yang memaksanya untuk berhenti. Dalam kondisi itu, bisa jadi dia tidak tahu dimana dia berada. Bisa juga kaget melihat kondisi dirinya yang basah, penuh dengan permen karet, dan terlukai paku tadi.

Kita bisa belajar dari bola tadi untuk tidak terus menggelinding. Perlu bagi kita untuk menyadari di mana posisi kita sekarang dan apa yang kita harapkan. Kita juga perlu paham bahwa seringkali proses atau perjalanan lebih bernilai dibanding tujuan dan destinasi itu sendiri. Dalam sebuah perjalanan, kita dipertemukan oleh banyak orang dan peristiwa. Hal itu memungkinkan kita untuk belajar, mengenal dan membandingkan, dan berakhir pada roh hidup sebenarnya: untaian rasa dan ucap syukur.

Advertisement

Namun untuk dapat memberi makna pada hal-hal lain, hal utama yang diperlukan adalah untuk menyadari siapa sejatinya diri kita. Kita perlu menyadari “who I truly am”, sehingga walau tampak luar terlihat kotor, penuh paku dan permen karet, kita tidak bingung dan tetap bisa malanjutkan langkah kita. Walau tak jarang perjalananlah yang sebenarnya membentuk diri seseorang. Kita tidak bisa menilai diri kita sendiri, namun kita bisa berkaca dari orang lain dan bisa menilai diri dari sikap orang terhadap kita.

Tak hanya itu, mengenal sejatinya diri akan membebaskan kita dari keinginan untuk mengimitasi orang. Ikut ajang ratu kecantikan karena meniru A, ikut lomba roket terbang karena si B, ikut les memasak karena nggak mau kalah dengan C, dan beli iphone baru biar post instagramnya nggak kalah bagus sama di D.

Kembali ke yang namanya refleksi diri tadi. Menengok kembali tujuan dan harapan kita disela-sela segala tugas dan kewajiban yang menumpuk adalah hal yang penting. Karena semua yang kita lakukan sebenarnya adalah untuk memperkaya diri. Apa sih yang diperkaya? Diri?

Aku mengajak kita semua berandai-andai. Seandainya kita ini adalah sebuah subyek tanpa predikat, tanpa obyek, dan tanpa keterangan. Pernah nggak kamu membayangkan subyek seperti apa dirimu?

Semua yang kita alami adalah sebatas predikat. Kata-kata kerja yang seakan membuat kita terasa hidup. Berlomba, belajar, berlibur, berenang, mengalahkan, menalukkan, meraih, dan mendapatkan. Lalu, yang kita miliki dan peroleh adalah obyek-obyek yang dapat diimbuhi keterangan. Piala, selempang, sertifikat, teman, rumah, HP, kamera, duit, mobil, serta pacar. Seakan makin banyak predikat itu, hidup kita makin asik dan semakin keren. Gara-gara itu semua, kita menjadi lupa kalau yang membuat hidup ini hidup adalah sang “subyek” itu sendiri. Kita seringkali terlalu asik memperbanyak predikat dan mengoleksi obyek. Tertawa dan menangis, lari-lari dan melompat-lompat, berteriak dan berpeluh, tapi lupa untuk diam berkaca. Bayangkan sebuah paragraph berisi deretan kalimat tanpa subyek. Terasa ada yang kurang dan membuat pembacanya bertanya-tanya.

Ada saat-saat di mana pada akhirnya kita tersadar, hidup ini mungkin tak butuh kalimat yang panjang-panjang, cukup subyek yang mengerti siapa sejati dirinya. Bisakah kita mengenal diri ini sebagai subyek tanpa embel-embel? Lalu bisa dengan tegas dan bangga mengatakan “anggrek tetaplah anggrek diantara ribuan pohon jati.”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

a fan of simplicity

CLOSE