Pergilah Jika Tak Ingin Menetap, Biar Kukemasi Harapan yang Sirna

Senja menjadi tempat bagiku menghitung waktu. Menghitung sudah berapa kali matahari terbenam sejak rasa ini menghuni hatiku. Tapi kamu tak peduli pada hitungan waktuku. Bagimu, rasa ini hanya angin lalu yang menerpa jendela kamarmu.

Advertisement

Kamu tak mau tahu, sesulit apa aku menahan diri untuk tidak menghubungimu.

Aku selalu bertanya padamu, apakah aku mengganggu? Jawabanmu selalu sama, tidak. Tapi caramu meresponku begitu ketara. Kamu tak sebersemangat seperti minggu pertama kita berkenalan. Kamu berubah sedemikian rupa, sampai kukira kamu adalah orang yang berbeda.

Tapi kenyataannya kamu adalah orang yang sama. Orang yang menjatuhkanku kemudian menjauh tanpa mempertanggungjawabkan rasa yang terlanjur ada.

Advertisement

Bintang jadi pelarian bagiku untuk bertahan hingga larut malam. Saat orang lain bertanya kenapa aku tak kunjung menutup mata, kukatakan bahwa aku sedang sibuk menghitung bintang. Kenyataannya tidak. Aku sibuk menghitung detik, menunggumu mengucapkan selamat malam hingga tengah malam berlalu dan bintang memudar.

Kamu tak peduli seberapa gelisah aku menunggu. Kamu tak peduli seberapa sering aku mengecek ulang sosial mediamu. Kamu tak peduli seberapa rindu aku mendengar suaramu. Kamu tak peduli pada apapun. Kukatakan maupun kusembunyikan, sama saja. Bagimu perasaanku tak ada artinya.

Advertisement

Kucoba menjaga jarak, tapi tak bisa. Satu hari tanpa kabar darimu rasanya kosong tanpa makna.

Pantai adalah hiburan terakhirku saat kamu tak lagi menyapaku. Aku duduk di atas pasir sambil menatap sendu gulungan ombak yang menyentuh kakiku. Tidakkah kamu melihat luka yang terpantul di cermin mataku? Aku menyentuh pasir dan menggenggamnya erat, tapi tak berhasil membuat hatiku hangat. Aku berdiri dan mencoba menari bersama ombak, tapi bibirku gagal tersenyum.

Aku terduduk kembali. Kutaruh telapak tanganku di dada, mencari-cari luka yang tak berupa. Dia ada disana, masih disana. Sesak, aku tak tahu bagaimana cara mengatasinya. Aku tak bergerak dan menangis di tempat yang sama. Tanpa sadar, aku menunggumu di bibir pantai yang lengang. Berharap kamu datang seperti tokoh utama dalam dunia imajinasi.

Tapi kamu tak datang, kamu tak pernah datang lagi. Pertemuan kita begitu singkat dan kamu sudah melupakannya.

Tanpa ikatan, aku tak bisa memintamu memelukku dan menghapus air mataku. Tanpa ikatan, aku tak bisa mengadukan rasa sakitku karena merindumu. Tanpa ikatan, aku tak bisa menyalahkanmu atas luka di hatiku. Tanpa ikatan, aku tak bisa berharap lebih.

Harusnya dari awal aku menghindar, atau setidaknya berhati-hati. Tapi kamu tahu? Aku ini tuna asmara yang bodoh. Bisa-bisanya aku menaruh harap pada ketidakpastian yang kamu tegaskan. Bisa-bisanya aku menaruh asa pada hadirmu yang sejenak ada lalu tiada. Bisa-bisanya aku menyayangimu yang tak cukup peduli pada perasaanku. Bisa-bisanya, aku memimpikan kamu berhenti dan menetap bersamaku.

Harusnya dari awal aku sadar, bagimu aku hanyalah persinggahan. Bagimu, aku hanya pelabuhan untuk sejenak istirahat lalu melanjutkan perjalanan. Bagimu, aku hanya mercusuar yang menari-nari di pulau kosong, yang menarik di kejauhan, namun tak cukup berharga untuk di perjuangkan. Aku yang gagal membuatmu nyaman, kini hanya bisa mengais sisa kenangan.

Aku sampai pada titik dimana menahan hadirmu hanya membuatku lelah.

Pergilah, aku tahu kamu tak ingin menetap. Pergilah, aku tahu kamu masih ingin mencari. Pergilah, aku tahu kamu tak bahagia bersamaku. Pergilah, aku tak akan menahanmu. Segalanya akan baik-baik saja bagimu, hatiku tak akan mengganggumu. Bagiku, cinta itu sederhana. Ia memberi tanpa berharap diterima, ia ada tanpa perlu didekap keberadaannya.

Aku melepasmu, meski perasaanku untukmu tak tahu kapan surutnya. Entah kapan rasa ini lepas, tapi yang jelas kamu bebas.

Tentang harapanku yang sirna, buar kukemasi sendiri bersama puisi. Ia tak akan tercecer tanpa nyawa. Sisa kenangan kita biar kurawat baik-baik, kuputar ulang saat rindu menghampiri. Segalanya akan baik-baik saja, kecuali luka di hatiku yang entah kapan sembuhnya. Jangan khawatir, aku tak akan menyalahkanmu, tak juga menyalahkan cinta, tak menyalahkan keadaan, apalagi waktu yang mempertemukan kita. Aku sudah dewasa, biar kuhargai semuanya.

Hujan adalah peraduan terakhirku untuk menyendiri. Aku menangis bersama payung hitam yang tergeletak di kakiku. Hujan luruh menyapu wajahku, membersihkan air mataku tanpa henti. Aku menangis tanpa alasan, seperti aku bahagia mendengar suaramu yang juga tanpa alasan. Kuraba kembali luka yang tak berupa, dia masih ada disana. Bersama bahagia yang diam-diam kusisakan atas kenangan yang kau tinggalkan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Author Amatir Ig: @puisimei

3 Comments

CLOSE