Kisah Diet Selama 2,5 Tahun yang Berakhir Bahagia. Meski Cukup Lama tapi Sehat Jadi Bonusnya

Di dunia ini hanya ada satu yang bisa instan, yaitu mie instan.

Banyak orang menginginkan hasil yang instan, dalam hal apapun. Mungkin orang-orang itu lupa dengan pepatah “berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.” Jadi, ya sedikit tidak heran jika konsep marketing yang memberikan hasil yang instan masih banyak digunakan. Karena memang bisa dibilang masih cukup efektif untuk menggaet konsumen.

Salah satu produk dengan konsep marketing yang memberikan hasil yang instan adalah produk-produk untuk diet. Sering lihat kan tagline “dapatkan tubuh idaman dalam 2 minggu dengan minum produk A setiap pagi” atau “ganti sarapanmu dengan produk B, berat badan turun dalam waktu 10 hari”. Pada kenyataannya, menurunkan berat badan tidak semudah itu.

Dimulai dari bulan Agustus tahun 2016 saya mengubah pola hidup saya. Saya mulai olahraga dan makan makanan sehat. Yap! Saya diet. Sebenarnya badan saya tidak termasuk obesitas, hanya saja saya memiliki perut yang sangat buncit dan saya merasa tidak nyaman dengan bentuk badan saya kala itu.


Kok bisa tiba-tiba merasa tidak nyaman? Karena waktu itu saya sedang patah hati, hehehe. Tapi bukan karena ditolak dengan alasan bentuk badan ya! Tidak kok, sama sekali tidak.


Seperti perempuan kebanyakan, ketika patah hati saya ingin melakukan improvement dalam hal penampilan. Karena saya sudah merasa cukup #ehem cantik, jadi saya memutuskan untuk mulai membentuk badan agar menjadi lebih proporsional. Dan tentu saja seperti orang kebanyakan, kala itu saya menginginkan hasil yang instan.

Di awal saya mulai diet, bisa dibilang saya hanya modal nekat berbekal pengetahuan yang minimalis. Bahkan hanya berbekal “katanya”, katanya nggak makan malam bikin cepat kurus, katanya cardio adalah jenis olahraga yang paling efektif untuk membakar lemak, katanya kalau diet makannya harus direbus, katanya sit up setiap hari bisa membuat perut menjadi rata.

Dan saya melakukan semua “katanya” itu. Hasilnya? Selama kurang lebih 4 bulan, berat badan saya turun dari 50kg menjadi 47kg. Hasil yang cukup bagus untuk saya yang terhitung tidak obesitas. Tapi yang menjadi masalah adalah saya merasa kelelahan secara mental.

Bayangkan saja saya mengharuskan diri saya untuk olahraga 6 kali dalam seminggu dan itu cardio semua, bahkan makan pun hampir semua direbus. Badan lelah dan tidak pernah merasa puas setelah makan. Bahkan saya cenderung menjadi orang yang takut makan, selalu melihat makanan dengan label “makanan baik” dan “makanan buruk”. Selain itu saya juga menjadi merasa bersalah ketika saya tidak sempat untuk olahraga.

Kalau diingat-ingat, bodoh sekali ya saya kala itu. Untungnya saya tidak bodoh berkepanjangan. Saya mulai mencari sumber-sumber terpercaya di internet, mulai dari website kesehatan (yang terpercaya) sampai dengan fitness guru di Youtube. Seiring berjalannya waktu, pikiran saya mulai terbuka dan sadar bahwa untuk mendapatkan bentuk badan impian tidak semudah mengganti makan malam dengan suatu produk diet.

Ilmu tentang diet ternyata luas banget! Dan juga rumit karena bersinggungan langsung dengan dunia kesehatan. Dua faktor utama yang menentukan keberhasilan diet adalah nutrisi dan olahraga. Nutrisi tercukupi tanpa olahraga, FAILED. Olahraga tapi makan masih sembarangan, FAILED. Ilmu baru yang begitu banyak tentu saja saya cerna secara perlahan dan mulai saya terapkan satu per satu, semua trial and error.

Untuk dapat menurunkan maupun menaikkan berat badan ternyata kita harus paham terlebih dahulu tentang Total Daily Energy Expenditure (TDEE), yaitu total kalori yang tubuh kita bakar dalam sehari. Uniknya, setiap orang memiliki TDEE yang berbeda-beda! Tergantung dari jenis kelamin, umur, intensitas aktifitas fisik, riwayat kesehatan, dan masih banyak lainnya.

Untuk dapat menurunkan berat badan, kalori yang kita konsumsi dari makanan harus kurang dari TDEE, istilah kerennya adalah kalori defisit. Sedangkan untuk menaikkan berat badan, kalori yang kita konsumsi dari makanan harus lebih dari TDEE atau disebut juga dengan kalori surplus. Terus tahu berapa TDEE kita dari mana? Tenang, sudah banyak website kesehatan yang menyediakan TDEE kalkulator, kalian bisa googling sendiri ya!

Intinya, mau makan makanan yang direbus maupun tidak, selama kalori yang kita konsumsi dalam sehari masih di bawah TDEE, berat badan kita tetap akan turun. Wah, jadi untuk apa ya kala itu hanya makan makanan yang direbus? Sering kali kenyataan memang membuat diri sendiri merasa tertampar, jangan percaya ilmu “katanya”.


Lalu apakah ketika saya sudah paham tentang TDEE lalu otomatis saya mendapatkan bentuk badan impian dan perut rata?


Pada kenyataannya, tidak. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari karena ternyata tubuh manusia itu sangatlah rumit dan juga diet tidak selalu berjalan mulus. Ada saja kondisi di mana saya stress memikirkan pekerjaan dan menghibur diri dengan makanan yang manis dan tinggi kalori.

But that’s okay. Saya memang ingin diet sampai saya tua nanti, diet dalam arti mengatur pola hidup menjadi lebih sehat.

Sejak saya memulai hidup sehat mengatur pola makan dan olahraga, tidak hanya bentuk badan saya yang mulai mendekati body goal, tapi saya juga belajar banyak hal. Saya belajar memahami dan mencintai tubuh saya. Saya belajar bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan makanan, bahwa makanan lebih dari sekedar kalori. Makanan mengandung makro dan mikro nutrisi yang sangat baik bagi tubuh kita. Dan juga, saya belajar bahwa olahraga bukan untuk menghukum diri sendiri karena terlalu banyak makan, melainkan olahraga untuk mendapatkan badan yang lebih sehat.

Walaupun saat ini saya belum mencapai bentuk badan idaman, tapi kesehatan tubuh saya selama ini cukup membuat saya lebih bahagia. Saya yakin suatu saat nanti pasti bakal tercapai, ehehehehe. Usaha tidak akan menghianati hasil.  Di dunia ini hanya ada satu yang bisa instan, yaitu mie instan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.