Perjuangan Sang Lintas Jurusan, Jangan Pernah Putus Asa!

Keinginan hati yang bulat, cita-cita yang semakin kuat, doa-doa yang tak berhenti terpanjat, Kun Fayakun!


"Kenapa dulu ambil Akuntansi di SMK kalau mau kuliah di jurusan Bahasa?"

Sudah beratus-ratus kali aku mendengar pertanyaan macam itu. Endingnya: tersenyum tipis sebagai respon singkat.


Advertisement

Keinginan hati yang bulat, cita-cita yang semakin kuat, doa-doa yang tak berhenti terpanjat, Kun Fayakun!

Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang tinggal di sebuah daerah pegunungan; Wonosobo, Jawa Tengah. Sebenarnya sangat panjang jika aku harus menceritakan kisahku sejak awal. Terlalu rumit dan juga terlalu menguras emosi. Jadi, ijinkan aku memotong jalan, dan sampailah kita pada alasan atas pertanyaan "Mengapa aku memilih lintas jurusan?"

Aku adalah stereotip anak desa yang kampungan, tetapi aku menempuh SMP tervaforit di Kabupaten Wonosobo. Tepatnya pada sebuah kelas billingual yang konon katanya berisi anak-anak dengan kemampuan di atas rata-rata. Waktu itu, aku bisa bertahan dengan amat sangat penuh perjuangan. Bukan hanya dari segi kognitif, tetapi mental yang tangguh sangat diperlukan di kelas dengan atmosfer penuh persaingan. Aku berhasil lulus dengan nilai yang sangat baik, kemudian memilih melanjutkan  pendidikan di SMK.

Advertisement


Aku memilih jurusan Akuntansi dengan dalih ~Aku bisa bekerja setelah lulus nanti. Alasan ini aku kemukakan untuk menutupi kenyataan, bahwa sebenarnya alasan finansial-lah yang membuatku harus legowo masuk di SMK.


Tiga tahun di SMK, membuatku selalu bertanya-tanya. Apakah benar aku ingin bekerja setelah selesai sekolah nanti? Apakah benar aku harus mendaftar menjadi seorang akuntan, atau menjadi kasir, atau menjadi apapun itu yang memegang uang perusahaan? Aku tidak cukup yakin dengan jawaban yang harus aku buat. Mengapa? Karena aku tidak bercita-cita untuk menjadi seorang yang duduk berdiam diri di belakang layar komputer, mencatat alur kas yang masuk dan keluar, bertemu dengan nasabah yang bermasalah, atau hal lain yang semacamnya. 

Advertisement

Tetapi apa daya, aku yang sudah terlanjur 'basah' diakuntansi, akhirnya memutuskan untuk belajar keras. Aku memang kurang menyukai angka. Tapi bukan berati aku sekolah dengan semaunya. Aku tetap berjuang dengan keras, menyamakan peresepsi dengan guru dan teman-teman tentang pelajaran hitung-hitungan, belajar menggunakan kalkulator sampai kapalan, dan banyak hal lain yang membuatku mengambil mimpi "Aku akan melanjutkan ke sekolah akuntansi yang populer di Indonesia,"

Tahukah? Takdir Allah terkadang jauh dari harapan. Tahun 2012 ketika aku lulus SMK, ternyata sekolah tinggi itu tidak membuka pendaftaran dengan sebuah alasan. Aku yang semula membara, akhirnya harus tersiram putus asa dan meredam mimpiku sendiri untuk melanjutkan di sana. Ketika terpuruk itulah, guru-guru di SMK menyalakan lilin penerang. Guru-guru membawa kabar bahwasannya pemerintah menyiapkan dana Bidik Misi bagi siswa kurang mampu. "Kalian harus kuliah! Jadilah orang besar dengan kemampuan yang kalian miliki. Jangan hanya berpuas pada jenjang SMK, Nak! Dunia itu luas. Cobalah keluar dari Wonosobo dan bawalah nama harum SMK kalian ini!" Tutur seorang guru, Pak Tri namanya.

Informasi itu seperti angin segar ketika aku merasa sesak. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk meminta ijin kepada orang tua. Dengan sangat sabar aku mencoba memberikan informasi Bidik Misi ini kepada orang tua. Maklum, Bapak dan Ma'e sangat was-was. Takut kalau rumah harus melayang untuk membiayai kuliah di kota orang. Apalagi di Perguruan Tinggi Negeri. "SPP mahal, makan mahal, kos-kosan bayar!" Begitu kata lidah-lidah lain yang tidak paham, yang menjadikan langkahku sempat gamang untuk memperjuangkan mimpiku sendiri.


Ngomong-ngomong soal mimpi: aku ingin menjadi seorang Guru!

Mimpi yang sederhana, tetapi tidak sesederhana ketika mengatakan. Iya kan?


Dan yaaaaaahhh.. Jalan masuk universitas juga tidak mudah bagiku. Semula aku ingin melanjutkan keilmuanku di bidang akuntansi. Tetapi, nun jauh di sana, hatiku melarangnya. Aku menantang diriku sendiri untuk mengambil jurusan yang benar-benar aku cintai.  Berbekal keyakinan, aku berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa diterima di jurusan  keguruan atau lebih hits dengan 'jurusan kependidikan', pada bidang yang mana aku yakin aku bisa berkembang di dalamnya; bahasa dan sastra. Berbagai penolakan aku alami, jatuh bangun meyakinkan diri dan orang tua aku lalui, pada akhirnya Gusti Allah menggerakkan hatiku untuk masuk di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Ilmu bahasa adalah sesuatu yang baru bagiku karena sebelumnya aku bermain dengan angka dan harga. Sebagai konsekuensinya, aku harus menekan diriku sendiri untuk belajar, belajar, dan belajar. Aku bahkan tidak merasa tertekan. Aku menikmati arus yang sedang aku tempuh. Selama kuliah aku mencoba melahirkan berbagai karya, mengikuti berbagai kegiatan lomba, sekaligus mempertahankan IPK sebagai bentuk syukur atas dana Bidik Misi yang menyokong hidupku. Aku begitu bersyukur, Allah memberikan kemudahan dan memberikan jalan atas apa yang aku perjuangkan dengan penuh pengorbanan.

Kurang lebih seperti itulah jalan hidup yang membawaku pada titik ini. Tidak ada yang mengerti bagaimana Tuhan membuat skenario. Juga, tidak ada yang mengerti bagaimana jalannya hidup kecuali dengan cara menempuhnya. Memperjuangkan segala hal yang dihadapi dengan semaksimal mungkin, tidak berlari dari kenyataan, kemudian berpasrah diri. Sepertinya tidak salah, berharap bahwa Tuhan akan memberikan nilai 100 untuk segala hal yang diusahakan dengan maksimal.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Menyukai kata-kata dengan segala maknanya ~ karena hidup adalah teks, koteks, dan konteks

CLOSE