Pohon Balam, Hantarkan Aku Pulang

Apa potensi tanah kelahiran? Kata itu kerap terlontarkan. Konsentrasiku terpusat pada sejenis pohon yang kaya akan getah. Namanya balam, begitu masyarakat memberikan sebutan lateks karet alam muara gula lama—suatu desa sarat akan penduduk bermata pencaharian karet. Di desa itulah sejumlah pelaku pengolah karet tinggal, mulai dari pemilik lahan, buruh karet, pengepul karet, serta pemuda-pemuda yang bekerja sebagai tenaga panggilan untuk pengangkut karet. sebagai bagian dari penduduk asli, aku turut memahami bagaimana bibit karet dipilih dan ditanam hingga menghasilkan getah sadapan.

Advertisement

Peleburan balam itu istilah penebasan batang-batang penganggu, sebelum menuju tahap penanaman. Mereka memulai dengan pohon-pohon kayu berdiameter 5cm, berganti ke pohon-pohon berukuran besar. Ayunan kencang dari pisau yang tajam diisertai emosi petani, semua itu mereka curahkan untuk merobohkan pohon cihu. Membabat pohon-pohon itu, seperti uji kejantanan bagi mereka. Proses itu berujung pada hamparan tanah kosong. Lahan yang luas, hanya tersisa sesemak pohon perdu, itu petanda fase penanaman.

Sederhana, sabar dan berani itu yang tampak dimuka para petani saat proses penanaman. Mereka tak mengunakan teknologi canggih, pupuk yang mahal, serta pembiayan berlipat. Bibit pun berasal dari bantuan pemerintah yang dibayar setengah harga dari harga aslinya. Cangkul tradisional menjadi pilihan petani untuk membantu mengali tanah. Bibit ditanam disertai poses pengawasan

Berdiam dihutan layaknya resepsi ritual yang harus dilakukan sebelum upacara sakral, tak jauh berbeda seperti yang dilakukan mereka pada saat mulan karet telah ditanam. Umak aku dindak temalam di ume begitu ujar adekku, ketika orangtuaku mengajak bermalam. Adekku tak diingin diajak ke kebun. Tergurat ketakutan akan kebun(Talang).

Advertisement

Di sisi lain kera-kera menunggu penjagaan lengah. Kehadiran serta ketelitian mengawasi menjadi senjata. Sedikit Lengah, rusaklah pohon-pohon karet. mengejar, menembak dan melempar kera itu sudah biasa dilakukan. Sering kali terbangun malam-malam apabila terdengar auman harimau, yang masyarakat sekitar menyebutnya subat.

Lima tahun, waktu yang panjang. Dalam kurun waktu tersebut, pohon baru disa disadap. Alat yang digunakan pun sederhana. Besi seperti pisau tapi ada kailnya itu alat sadap karet. lingkaran menurun digoreskan batang dengan jarak karet satu meter dari tanah. Daun ditancapkan ditempat keluar getah agar bisa menetes dengan teratur. Tempurung kelapa atau plastik dari bekas kemasan air mineral gelas digunakan sebagai alat penampung getah. Sedangkan mencetak getah terbuat dari papan yang dibentuk kotak. Terpenting cuka karet untuk mengentalkan getah.

Advertisement

Sungai lematang turut andil ambil bagian. Bau busuk balam dipangkalan sungai lematang layaknya gosip hangat yang selalu menjadi bahan pembicaraan. Germerisik riuh kenakalan anak-anak bermain di sungai. Mereka membasahi tebing-tebing sungai yang digunakan jalan angkutan. Berusaha melewati susunan balam yang tertata rapi dipermukaan sungai dengan cara mengelam di bawahnya, dikemas dalam permainan tradisional. Hal tersebut memberikan kenangan tersendiri bagi diriku.

Demikianlah lima tahun yang kulewati bersama para pengolah karet. Dalam kurun waktu tersebut, kuteramat memahami bagaimana berharganya satu rupiah dari tujuh ribu rupiah yang dihargakan terhadap satu kilo getah. Dengan nominal tak seberapa itu pula, kami dapat bersekolah. Cucuran keringat, aroma tak sedap dari karet dan sepatu tayoko menemani perjuangan mereka. Semangat orang tuaku serta orang-orang sekitar mengantarku pulang. Ingin segera ku berlabuh dari Yogyakarta menuju Muara Gula.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

SMA Negeri 1 Muara Enim Alumnus MPKD UGM

CLOSE