Prihatin Harga Karet Kian Anjlok: Kasihan Petani Karet, Tanggungjawab Siapa?

Sudah bertahun-tahun, jika boleh dirunut semejak 3 hingga 4 tahun belakangan harga karet tidak pernah mengalami kenaikan harga lagi. Bahkan cenderung turun alias semakin Anjlok. Keadaan ini tentunya menjadi sebuah dilema sekaligus tangis derita para petani karet yang menggantungkan hidupnya dari hasil karet. Lalu, melihat persoalan ini siapa yang bertanggungjawab?

Sebuah tangis sekaligus derita bagi para petani, itu sudah pasti. Hasil karet menjadikan satu-satunya sumber penghidupan sehari-hari (jika boleh dikata, karet adalah nafas bagi mereka para petani). Mengingat harga karet di tingkat penampung di Kampung di Kalimantan hanya dihargai Rp 4.000-Rp 5.000 /1 kilogramnya. Jika di tingkat penampung tengkulak harga kisaran Rp 6.000-Rp 8.000 /1kilogram. Dan mungkin juga hal yang sama terjadi di tempat lain seperti di Sumatera.

Di kampung-kampung, desa ataupun di Kota sekalipun lebih khusus masyarakat di Kalimantan dan Sumatera para petani karet saat ini tidak bisa disangkal kian menjerit dan menderita dengan situasi keadaan. Benar saja, kebutuhan sehari dan biaya pendidikan menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi saat ini. Boleh dikata, tidak boleh tidak harus dilakukan. Singkat kata, Tidak menoreh, tidak makan. Kurang lebih demikian gambarannya.

Kebutuhan sehari-hari sebagai penyambung nyawa, setiap hari setidaknya dapur harus ngebul, untuk membiayai makan dan minum. Beras, minyak makan, lauk pauk, gula kopi atau teh sudah pasti memerlukan rupiah (ongkos) Anak-anak mesti perlu biaya sekolah, pakaian dan jajan. Belum lagi diharuskan untuk membeli buku dan pena. Setidaknya dalam satu bulan kebutuhan masyarakat akan anggaran rumah tangga tidak kurang lebih dari Rp 100.000/ hari. Sedangkan pendapatan mereka perhari hitung-hitung kurang dari Rp 100 Ribu. Misalnya saja, sehari petani karet dapat menyadap karet (menoreh- istilah lokalnya) dengan hasil sadapan 20 kg karet, jika dikalikan dengan harga Rp 4.000 maka hasil yang didapat adalah Rp 80.000. Sudah pasti, mereka sudah minus (kurang) Rp 20.000 dalam biaya sehari-hari. Hal ini diperparah lagi dengan harga kebutuhan sehari (sembako) yang tanpa lelah untuk cenderung naik, tentu hal ini semakin mencekik dan menambah derita masyarakat. Tidak jarang pula para petani mencari hutang disana-sini untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.

Derita lainnnya yang acap kali menimpa nasib para petani adalah tentang faktor cuaca. Bila musim penghujan tiba, hampir dipastikan para petani sulit untuk menoreh (menyadap karet) sebagai hasil. Sedangkan jika musim panas berkepanjangan, hasil sadapan karet (air karet) akan menyusut. Dua faktor ini pula yang terkadang penambah derita panjang dikala keperluan mendesak memaksakan namun berlawanan dengan keadaan cuaca yang sering kali tidak bersahabat.

Tidak hanya itu, derita dari para petani karet juga antara lain adalah bagi para petani yang menumpang menyadap di kebun yang relatif jauh dari rumah. Pengeluaran lebih sudah pasti harus dikeluarkan seperti pembiayaan transportasi berupa bensin untuk sepeda motor.

Lalu, Salah siapakah ini?. Jujur, para petani tidak tahu menahu tentang harga karet yang tidak kunjung naik. Tentu hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah, lebih khusus menteri Perdagangan. Dalam hal ini, setidaknya dari pihak terkait melihat tangis derita para petani karet untuk mencari solusi terbaik bagi mayoritas petani karet yang menggantungkan hidupnya dari hasil karet. Jika tidak, bukan tidak mungkin nafas para petani akan semakin tercekik dengan situasi harga yang tidak kunjung berpihak kepada mereka.

Suatu kekhawatiran, jika harga terus anjlok berdampak pula kepada nasib anak-anak para petani yang menempuh pendidikan dari tingkat yang paling bawah hingga perguruan tinggi dan sudah pasti biaya pendidikan tidaklah murah. Walau, dibeberapa tempat ada sekolah yang gratis, tetapi belum semua yang bisa gratis. Biaya pengeluaran dari hari ke hari pun semakin meningat karena kebutuhan dan harga barang yang tanpa lelah pula naik. Ironis memang, ditengah harga pasar terkait kebutuhan sembilan bahan pokok yang naik tetapi harga karet cenderung turun.

Sebagai pengingat, kebutuhan akan karet selalu ada tetapi petani karetnya menderita. Mungkin itu kata yang pas dari gambaran saat ini. Jika tidak ada petani karet, apakah karet (ban) akan selalu ada?. Lalu pertanyaannya adalah mampukah pasar menampung dari hasil para petani dengan harga yang masuk akal dan mampu memberi dampak positif bagi masyarakat?. Jawabannya mampu (bisa) asal ada kebijaksanaan dari pemerintah untuk melakukan kebijakan.

Hingga saat ini, belum ada langkah yang diambil para pemegang kebijakan dalam hal ini pemerintah, pengusaha dan para pemangku kepentingan. Para petani jika boleh dikata sudah sangat bingung dengan keadaan atau situasi yang ada. Selain Pasrah, mereka juga berharap. Berharap semoga ada keberpihakan kepada nasib mereka saat ini.Mengingat, jika situasi terus begini boleh jadi mereka akan kehilangan mata pencaharian dan semakin menambah luka derita mereka yang sudah ada. Belum lagi ditambah dengan keberadaan serta keharusan anak-anak mereka untuk bersekolah yang sayang jika harus terhenti karena tidak tersedianya dana karena hasil karet yang minim dan harga anjlok.

Akankah keadaan akan terus begini dan masyarakat kecil (para petani karet) diabaikan?. Suatu kebijakan atau kebijaksananaan dari pemerintah sudah semestinya dilakukan. Apabila tidak, sudah pasti masyarakat akan semakin terjepit dengan tangis derita harga yang semakin anjlok dan biaya kebutuhan yang semakin tinggi.

Berharap adanya langkah penanganan yang harus cepat dan serius dilakukan berupa kebijakan (kebijaksanaan) dari pemerintah, dengan demikian masyarakat petani karet bisa bernafas lega. Jika tidak, makan masyarakat yang menggantungkan hidup dari karet akan semakin menderita dan tidak ada kepastian.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penyuka Alam dan Satwa, suka berbagi informasi melalui tulisan dan bekerja di Yayasan Palung, Ketapang, Kalbar.