#PuisiHipwee; Menyusun Seribu Rindu

Untuk ibu, insan yang sudah berbagi hidup denganku.

Menyusun Seribu Rindu

Advertisement

Letih tak memaksa ibu keluar dari gorong-gorong ambisi.

Ia bangun pelabuhan dari keringat dan jaminan usia.

Tanpa kata menyerah, tanpa kehabisan gairah.

Advertisement

Sering hidup yang sulit pasung jiwanya,

tapi kau giat mengisi pelita, menjaga mimpi agar terus menyala.

Advertisement

Ibu berpesan: "Berlayarlah mengikuti matahari, sehingga kau tak akan mengenal kata tenggelam.

Kelak matahari kan jadi peta untuk jalanmu pulang."

Ibu... Pelukmu yang palung itulah pintu bagi setiap kepulanganku.

Berpangku aku pada kecamuk balada rindu.

Ku ukur panjang lengan ibu.

Jaraknya sepanjang Senin.

Ibu… Jika waktunya sudah ketemu, ku harap tulang ibu sekuat dulu.

Akan kupeluk kau serindu bayi pada asi.

Untukmu ibu, si kepala batu.

Wanita yang bertahan dalam lolong sepi.

Wanita yang terus menungguku kembali.

Purnama sungguh hidup dalam tekadmu, surga tetap di telapak kakimu.

Aku tak mau gugat apa-apa lagi pada ibu.

Kau sudah membesarkanku tanpa kira-kira.

Aku ingin mencintaimu dengan buta.

Yogyakarta, 20 April 2018

Pria Pemimpi

1. Telah ia relakan ibadahnya demi menyudahi mimpi.

Dalam mimpinya, Tuhan tertidur.

Sehingga ia menarik sarung.

Bukan untuk bersujud, tetapi untuk melanjutkan jingkrung hingga gigil pagi tak terasa lagi.

Ia tak bisa mencintai dalam kegelapan, Ia tak bisa memuja paras-Nya.

Cinta tak mengalir seingin sungai bersua laut.

2. Seorang pemimpi terlelap dalam tidurnya

Ia masuk ke dalam pusaran waktu.

Di mimpinya ia melihat sebuah nisan.

Di sana terkubur cita-cita masa kecilnya − jiwa seorang musisi

yang padam karena meluluskan permintaan ibu ketika masih tinggal di bangsal isolasi.

Sejak itu ia kehilangan nafsu selain untuk tidur.

3. Pada sebuah arloji usang, detiknya mengarah pada angka lima

tapi senja telah berlalu, dan lampu taman mulai nyala.

Ia tahu arloji itu bukan penunjuk waktu yang benar

Jarumnya sudah tua dan payah.

Sungguh…Ia pria urban yang tidak mencintai gaya hidup kota.

Tetapi baginya ini adalah waktu yang paling purna untuk mendengkur.

Semata untuk mengisi kekosongan,

karena tak ada apa-apa di meja makan.

Maguwoharjo, 23 Agustus 2017

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE