Rama (sebuah kisah, berbentur ruang masa)

Malam ini hujan lagi. Sendu.. Kesendirian. Ingin ku gapai rindu, namun tak terbesit satu namapun di hati. Apakah ini rasanya hampa?

Aku memandang sekeliling, dibaliik jendela kaca yang mulai berembun. Indah memang, tapi tidak ada tempat berbagi. Sosial media? Tak punya.. Kehidupan sosial pun tak punya. Buat apa media. Lalu perasaan makin kalut di guyur hujan yang makin deras. Apa… Apa yg harus ku lakukan di tengah badai yg tenang?

Kamar ini.. Atau ruangan, atau ruangan yang ku jadikan tempat tidur… Menjadi saksi betapa aku ingin hidup. Dan bunuh diri. Betapa aku ingin mengakhiri hidup ini. Hanya karena aku ingin lebih hidup dari hidup. Dingin mulai merambat menembus dinding tebal, lalu menyentuh ujung kuku yg mulai ngilu.. Kepalaku mulai pusing.

Aku berjalan menyusuri ruang.. Melewati satu sofa kecil, entah sofa entah apa, aku tidur di atasnya setiap saat. Terus maju perlahan menuju sedikit pojok ruangan, menggapai segelas kopi yg sudah di siapkan. Oleh siapa? Oleh aku sendiri. Aku tidak memiliki teman sekamar. Aku bahkan tidak memiliki teman.

Kembali duduk disini. Spot favorit menghadap jendela kaca. Melihat dunia. Sekali-dua kali meneguk kopi hangat, dan menghisap sebatang rokok, atau mungkin sebungkus.. Entah sebenarnya aku sudah habis berapa.

Suasana terasa tenang.. Suara jangkrik malam yang khas mulai menghiasi alam ketika hujan mulai reda. Meninggalkan aku yg makin sunyi.. Bangunan ini, bangunan ini terletak sedikit di pinggiran kota. Jadilah hiruk pikuk malam minggu tak sebegitu terasa. Ditambah hujan yang barusan saja reda. Membuat semua orang dalam kawasan ini lebih memilih memaksimalkan waktu untuk tidur dan beristirahat, ketimbang keluyuran tak tentu arah seperti dulu… Saat aku masih layak disebut gerombolan muda mudi.

Kala itu… 10 tahun silam.

Rama. Namaku Rama, setidaknya semua orang saat itu memanggilku begitu. Badanku masih kurus, tidak terlalu kurus namun terlihat sekali tidak makmurnya. Tidak makan 3x sehari dan jauh dari kata 4 sehat 5 sempurna. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Cukup untuk ukuran laki-laki indonesia.

Oktober 2007. Aku, daus dan nadira, 3 sekawan yang tak terpisahkan. Bersepeda mengelilingi sudut kota. 10 tahun silam kota masih bersahabat dengan para pesepeda. Jalanan memang sudah ramai dengan kendaraan bermotor, baik itu roda 2, 3, atau 4, tapi tak sepadat sekarang yang bisa menyisakan macet berpuluh kilometer.

Seminggu lagi sebelum kami menyongsong ujian akhir sekolah menengah pertama. Masa tenang. Gembira meliputi mimik wajah polos kami. Akhirnya… Sebentar lagi kami akan mengenakan seragam putih abu2. Celana panjang yg menutupi lutut pasti terlihat keren. Walau perubahan seragam tak berpengaruh banyak pada nadira, dia juga ikut senang. Setidaknya dia akan melihat kakak2 senior keren di taraf SMA nanti. Ada banyak hal yang kami rencanakan bersama. Kami berjanji akan masuk sekolah yang sama, selalu berangkat bersepeda bersama, dan entah nanti sekelas atau tidak.. Kami harus makan siang bersama saat jam istirahat. Rencana2 sederhana itu sudah mengisi otak kami selama berbulan2. Dan walau sederhana… Itu membuat kami bahagia. Setidaknya saat itu.

Satu hari sebelum ujian akhir sekolah. Kami bertiga masih bersama di tempat persembunyian kami. Sebuah benteng sempurna yang tidak mungkin di ketahui dunia orang dewasa. Bangunannya memang mirip benteng, terkepung oleh tembok2 tebal tua dengan banyak lobang di sana sini. Bangunan kumuh bekas pabrik roti di pinggir kota yang ditinggalkan begitu saja. Kami bertiga duduk melingkar dalam salah satu ruang yg sudah kami sakralkan. Ini wilayah kami. Saling tatap dan mulai berdiskusi menyusun rencana.

"apa yg akan kita lakukan dengan benda ini?" nadira menggenggam tongkat kayu yang di atasnya terdapat batok kelapa dengan coretan arang menyerupai wajah.

"bisa di mainkan tidak itu?" daus menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

"bisa lah!" aku menjawab pasti dan menatap wajah mereka berdua. "yang jadi masalah kalian berani tidak memainkannya" timpalku lagi.

Nadira dan daus saling tatap. Menunjukkan ekspresi remeh dan tidak percaya. Kemudian mereka tertawa bersama.

"jadi bagaimana komandan, kita mulai sekarang? Yakin?" daus menatapku tajam. Membuatku makin yakin.

Kini tangan kami bertiga telah berpegang pada tongkat kayu tersebut. Mengangkatnya berdiri sedikit di atas alas bertuliskan abjad2 yang telah kami siapkan sebagai media berkomunikasi. Kami membaca mantra.. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga tiga belas kali. Kemudian kami mulai merasakan benda itu bergerak ke arah yg tidak beraturan.. Terkadang padaku, pada daus, atau pada nadira.. Makin kencang. Dan makin sulit pula menahannya.

Kami saling tatap dengan ekspresi sedikit panik. Dalam benakku pun tak terpikirkan akan berhasil. Hanya ingin main2.

"bagaimana ini, sudah pegal tangan di buatnya" celetuk daus.

"kita hempaskan ke bawah" sahutku.. Mereka mengangguk. "serentak! Dalam hitunganku, satu… Dua… Tiga!"

Prak.. Kami hempaskan benda itu serentak. Bersama2 menekan tongkat kayu itu ke arah bawah. Dan kemudian cepat2 melepaskannya. Panik. Kami sekali lagi saling tatap menunggu siapa yg akan berbicara duluan untuk mengatakan apa yang selanjutnya harus di lakukan.

Namun, belum hilang perasaan panik itu… Kami kembali di kejutkan dengan pemandangan di depan mata. Tongkat kayu itu.. Jelangkung itu. Kenapa posisinya bisa berdiri. Sedari tadi setelah kami lepaskan. Kenapa posisinya bisa tegak lurus begitu. Seolah2 masih ada yg menahannya agar tidak terjatuh..

Bersambung…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Secangkir Rindu Untukmu, di hari yang syahdu.