Sajak Patah untuk Untuk Pria yang Jemarinya Tak Dapat Kujamah

Deeck, ada yang bilang hidup ini aneh. Dan kau menyempurnakannya dengan satu frasa, satu fungsi. Pernahkah kau bertanya sejak kapan aku berpikir untuk gila sesaat menandingi kodrat? Hey, ini nyata dan mungkin terkesan amburadul, tak mengikuti pola. Tapi, ini benar karena pembenaran untuk menang, bukan atas dasar meyakini bahwa ini adalah kebutuhan dasar.

Kita selalu saja bingung tentang hakikat, merombak makna demi ego, membuang undi seperti ingin main taruhan. Bah, siapa yang sejatinya sedang bertaruh? Tidak ada! Tapi ketiadaan selalu berbicara tentang apa yang ada. Ujung-ujungnya, semua akan berakhir pada suatu titik yang sampai kapanpun tidak akan sanggup kau tolak. Karena ini kodrat Deeck. Kodrat! Orang-orang tua kita menyebutnya sebagai bayangan, mungkin juga cermin. Ah, Deeck… Sudahkah satu dari kita menyebutnya cermin? Entah!

Bukankah kita selalu berusaha lupa bahwa kita pernah sampai di titik ini, titik yang membatasi rasio, titik paling ekstrem yang dapat rapuh kapan saja? Hey Deeck, tidak ada yang mau peduli dengan titik konyol itu. Bahkan ketika bibirmu sanggup mengucapkan frasa yang sama, bukan berarti semua akan menolehmu dan menganggapnya aneh. Karena yang aneh itu pun terjadi pada semua orang tanpa perlu penjelasan. Jadi santai saja.

Aku ingin bilang, di luarku ada beberapa cerita yang sengaja tidak diperuntukkan bagimu. Jangan salah. Bukan karena itu tidak penting, atau tidak pantas untuk kau dengar, tapi lebih dari itu, langkah kakimu hanya belum sampai ke tempat itu sayang. Kau masih terlalu muda untuk mengerti Deeck. Karena mudamu berbeda dengan mudaku. Muda-mu adalah muda yang tidak pernah aku jalani atas nama kehidupan. Muda-ku adalah muda yang tak perlu kau tahu atau kau sentuh. Aku tidak perlu itu karena kau pun akan segera berada di dalamnya, tidak lama lagi.

Deeck, entah sudah berapa banyak sajak yang bermakna sama. Aku selalu ingin bilang, mengampuni itu bukan bagianku sepenuhnya. Betapa tidak mudahnya memilih diam, apalagi bertindak seolah-olah aku ini bisu dan serba-bisa. Betapa ini aneh, karena di saat dendam itu mencekam, aku selalu dihadapkan dengan pilihan untuk menerima dan memelukmu lebih erat.

Padahal, jangankan tubuhmu, bayangmu saja tidak pernah sanggup aku jamah. Ah, bukankah ini bodoh? Dan kau tahu, aku mengakhirinya dengan ilusi yang mewakili dirimu seutuhnya. Tahukah kau bahwa namamu adalah candu tak berbayar? Aku dapat mengingatmu kapan saja, seperti ketika jemariku yang mulai gatal memerintah untuk berkisah panjang lebar. Aku kini buta Deeck, buta segala-galanya. Masa bodoh! Apa itu cukup rill untuk dibahas sekarang? Zaman berubah mengikuti tuntutan, sama seperti kita ini. Kita adalah iblis-iblis itu Deeck. Dahulu, bukan sekarang. Sadar atau tidak.

Sudahkah kau mengecap penenang? Sejujurnya aku muak pada obat itu. Muak sekali. Karena hanya sajak inilah satu-satunya penenang. Sajak yang hingga kapanpun akan menjadi satu, bukan dua apalagi tiga. Memang, sajak yang kau temui kini adalah bentuk yang tak lagi utuh seperti dahulu.

Meski demikian, ijinkan aku untuk hidup seperti ketika kau mengajarkanku apa itu semangat, apa itu buku, juga apa artinya masa bodoh yang sebenarnya. Aku kini adalah bayi yang siap belajar merangkak mengikuti alur hidup. Deeck, sejatinya sajak ini rindu. Sajak ini milikmu karena berhiaskan namamu yang anggun. Sajak ini aneh karena rupanya aku telah sanggup mencintaimu kembali dengan cara yang begitu aneh. Lagi, kau tak perlu tahu apa itu.

Deeck… bahkan ketika bibirku sanggup berteriak aku membencimu, di saat yang sama aku telah mencintaimu dengan sederhana tanpa perlu kau minta. Aku, juga kau, sudah tak perlu lagi bersimpuh meraih penghargaan diri. Kita telah bebas oleh kasih dan bukannya ego diri. Deeck, aku telah mencintaimu lewat buku-buku usang itu. Dan cukuplah begitu untuk memelukmu dari jauh. Bukankah hidup ini indah?

Karena cairan infus itu sama sepertimu dan aku telah menjadi kuat karenanya. Untuk kesekian kalinya, terimakasih Deeck. Senyum simpul ini untukmu. Selamat malam jiwa yang rapuh, selamat tinggal. Kurasa sajak ini telah menjawabnya. Aku telah sembuh sayang.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswi pinggiran yang gemar bercerita.