Sebuah Cerita yang Kuceritakan Kepada Tuhan

Terlalu banyak jalan menuju Roma

Tuhan, malam ini aku ingin bercerita. Sebelum cerita ini dimulai, Aku ingin berterima kasih padaMu terlebih dulu. Terima kasih karena kau telah menciptakan langit dan bumi. Karena dengan adanya langit, aku bisa menggantungkan impianku di sana. Iya. Di sana. Di tempat jauh dan tinggi agar impianku dapat melayang-layang seperti burung camar yang setia menemani matahari tenggelam di tengah lautan. Tapi sepertinya tak perlu lagi aku melayangkan impianku sepanjang hari seperti burung camar di tengah lautan. Karena aku masih ingat bahwa ada bumi di bawah langit yang katanya siap menerima diriku apa adanya. Apa karena mungkin karena ada cerita yang harus kuceritakan padaMu, Tuhan?

Sebenarnya aku takut untuk memulai cerita ini pada-Mu, Tuhan. Aku takut cerita ini menjadi sebuah dongeng belaka. Seperti dongeng tentang Punguk merindukan Bulan. Meskipun hanya melihat dapat melihat Bulan dari kejauhan, ia cukup senang. Kisah mereka seketika menyadarkanku tentang mimpi dan harapanku untuk ‘bersamanya’ yang telah lama hilang entah kemana. Ini bukan persoalan kecewa, toh juga di bawah langit ini masih ada tempat untukku bercerita padaMu, Tuhan.

Sesekali kualihkan ingatan di mana aku dilahirkan. Di sebuah kota dengan sosok layaknya seorang ibu yang setia menemani putra putrinya yang penuh dengan sejuta harapan. Ibu yang setia memberikan dongeng pada buah hatinya saat malam datang. Dan saat fajar datang menyambut hari, sejuta insan kembali melanjutkan cerita hidupnya dalam kota dengan sosok seorang ibu. Hari terus berlalu dan ibu pun tetap setia menemani buah hatinya yang kini beranjak dewasa. Iya. Saat ini, salah satunya sedang bercerita pada-Mu Tuhan.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana caraku mengingatMu, Tuhan. Bahkan, dalam anganku pun tak lantas terlewatkan tentang tradisi untuk mengucap syukur kepadaMu. Menemukan hidayahMu dalam aminku di ujung Al-Fatihahnya hanyalah sebuah angan yang merindukan kenyataan. Semakin hari, angan itu seakan lelah menanti. Karena untuk menjadi nyata, semua cerita ini harus larut dalam rumitnya dunia fana. Bagiku, semua ini adalah indahnya pelangi dalam senja di bawah naungan langit biru, semu. Namun apalah dayaku, segala kerinduanku hanyalah debu. Entah kapan akan menjadi nyata, yang jelas waktu yang tak pernah salah pun bingung untuk memberi jawaban dari segala tanya yang membuat sesak dada. Ya, jawaban atas apa yang selalu dinantikan oleh anganku.

Seketika aku lupa bagaimana cara untuk kembali mengingat kehidupan nyata di bawah langit sini. Dan bahkan aku lupa di mana harapan yang terlihat sangat nyata itu berada. Apakah dia sudah menghapus semua angan yang dulu pernah tergantung di ujung langit sana? Aku tak ingin Kau menjawab pertanyaanku Tuhan. Karena aku hanya sekedar bercerita. Yang aku tahu, ada sesuatu yang pernah tergantung di ujung langit sana. Dan ini bukan lagi soal mimpi, tapi soal hati. Baiklah, perlahan kucoba untuk kembali turun menuju bawah langit, bukan untuk istirahat. Namun untuk melanjutkan cerita nyata yang memang seharusnya dilanjutkan. Yang jelas bukan cerita tentang sepasang Adam seperti yang aku inginkan.

Terlalu egois jika cerita ini hanyalah tentang aku. Namun tetap kubiarkan aku yang menjadi aku, dia yang menjadi dia dalam tautan cerita tentang kami(beberapa waktu lalu). Kami yang kini telah melebur dengan kenyataan. Dulu, hanya mimpi kami yang pernah terbang menuju langit sana. Namun, mimpi kami yang cukup indah dalam buai belaka perlahan sirna. Cerita tentang kami yang sebenarnya tak akan pernah dimulai. Kami yang tak akan mungkin menjalin cerita cinta tentang sepasang kaum adam. Bukan karena dia atau aku yang tak mau, namun karena terlalu banyak jalan menuju Roma.

Sedangkan jalan yang Tuhan berikan untuk menuju Roma sudah terlalu banyak. Jadi, jalan Tuhan mana lagi yang hendak ku dustakan? Seharusnya bukan jalan, melainkan nikmat. Jadi begini bunyinya: Nikmat Tuhan mana lagi yang hendak ku dustakan? Jadi untuk apa kukembali meneruskan cerita tentang sepasang kaum Adam jika nikmat Tuhan tidaklah aku dustakan? Tuhan, sekali lagi aku tak meminta jawabanMu karena aku hanya bercerita. Bercerita tentang banyaknya jalan menuju Roma yang sedang menggantung di ujung sana.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

It's easier to see the world in just two colors ?