Rasa yang Kini Tinggal: Sebuah Curahan Untukmu yang Kupuja dalam Diam

Tentang perasaan yang tertahan, dilema antara mengungkapkan atau melupakan

Tak ada hal spesial yang terjadi di awal perkenalan kita. Hanya sebatas bertemu secara virtual di dunia maya. Melihat wajahmu yang tertutup kacamata hitam di foto profil membuatku berpikir kamu adalah orang yang menarik. Kamu terlihat sempurna di sana, berbeda denganku yang bukan apa-apa. Aku beranikan diri untuk sekadar mengatakan “halo” padamu, meskipun aku tidak terlalu yakin kamu akan membalas pesanku. Dengan harap-harap cemas aku menunggu.

Advertisement

Tak disangka, kamu langsung membalasnya hanya dalam jeda beberapa menit. Ya, tepatnya 120 menit. Senyum seketika tergores di wajahku. Aku heran, kenapa aku tiba-tiba tersenyum? Padahal kamu hanya membalas pesanku dengan begitu wajar, tidak ada yang spesial di sana. “Apa aku benar-benar tertarik denganmu?” pikirku.

Tidak terasa sudah 2 minggu berlalu. Perasaan nyaman dan ingin mengenalmu lebih dari virtual pun semakin kuat. Aku beranikan untuk mengajakmu berkencan di sebuah kafe. Tapi kamu bilang kamu lebih suka ketemuan rame-rame dan memintaku untuk mengajak temanku yang lain. “Ketemuan tapi rame-rame? Bakal aneh mungkin, tapi daripada dia gak mau” gumamku dalam hati.

Aku tidak menyangka di pertemuan itu, kamu dapat membawa suasana dengan begitu baik, padahal kamu tidak pernah bertemu dengan teman-temanku sebelumnya. Aku kagum dengan kemampuan bersosialmu. Jauh melebihi aku yang seorang introvert.

Advertisement

Bahkan setelah pertemuan itu, aku merasa sikapmu padaku sedikit berubah. Jika di chat sebelumnya kamu terkesan cuek dan dingin, kini kamu jadi lebih perhatian, bahkan kamu mengingat hal kecil tentangku. “Apa kamu juga tertarik denganku?” dengan hati berbunga-bunga aku membayangkan akan seperti apa kita ke depannya.

Kita chatting semakin intens, kamu tahu itu. Aku menyukainya, berharap kamu pun demikian. Sampai suatu ketika, kamu mengajakku untuk menghabiskan waktu akhir pekan bersama di perpustakaan kota dari pagi hingga perpustakaan tutup. “Apakah itu artinya kamu ingin mengabiskan waktu bersamaku di akhir pekan?” pikirku.

Advertisement

Aku suka caramu mengajakku pergi. Kamu tidak secara terang-terangan mengatakan bahwa kamu ingin pergi bersamaku, melainkan lewat isyarat-isyarat yang masih bisa aku pahami. Aku tahu kamu masih malu-malu.

Di perpustakaan, kita sibuk dengan laptop masing-masing, tapi setidaknya kita masih bersama. Tahukah kamu bahwa aku sesekali melirikmu? Memperhatikanmu di sampingku, kamu tampak serius mengerjakan sesuatu yang tidak aku tahu. Aku menikmatinya.

Bahkan saat perjalanan pulang pun setelah dari perpustakaan, aku menyukai momen itu. Kita mengobrol tentang banyak hal. Kamu tampaknya tidak pernah kehabisan topik untuk bisa mengobrol denganku.

Lalu tiba-tiba hujan turun. Kita kehujanan berdua di motor. Kita sama-sama lupa bawa jas hujan. Kamu meminta untuk berteduh di pusat perbelanjaan di dekat sebuah kampus di kota. Kamu bilang kamu ingin membeli sesuatu. Dengan keadaan basah, kita belanja bersama selayaknya pasangan resmi yang sedang belanja untuk kebutuhan sehari-hari. Tidakkah kamu juga berpikir demikian? Ah, suasana hujan sore hari di kota Jogja terasa berbeda kali ini.

Aku menyukai gaya chatmu yang cuek. Aku tidak kaget karena sedari awal kita berkenalan, kamu selalu bersikap seperti itu. Tidak masalah bagiku kamu bersikap cuek di chat karena kamu dapat bersikap sebaliknya saat bertemu.

Sampai suatu ketika, kamu mengajakku lagi di akhir pekan untuk pergi ke perpustakaan. Kali ini kita tidak sibuk dengan laptop masing-masing. Kita mencari buku bersama sesuai minat kita, lalu membacanya, dan kemudian berdiskusi tentang buku yang kita baca. Aku menyukai suasana seperti itu. Aku suka dengan orang yang juga menyukai hal atau kebiasaan yang aku suka, dan kamu adalah orangnya.

Sepulang dari perpustakaan, kamu memberikan isyarat lagi padaku untuk membawamu pergi ke suatu tempat bernuansa alam di tengah kota. Aku bingung karena semalam kamu bilang kamu ada acara di siang hari. Tapi kamu bilang itu urusan nanti. Kamu bilang kamu sedang ingin menyalurkan hobi fotomu. Aku semakin tidak paham dengan isyaratmu yang kali ini terdengar kurang jelas.

Tapi tak apa, aku tetap bakal bawa kamu ke tempat favoritku: taman kota di dalam sebuah kampus. Di sana ada hutan dan danau dan kamu terlihat terpukau karena baru pertama ke tempat itu. Lalu kita berfoto bersama di sana. Tidak terasa 3 jam di taman berlalu begitu cepat. Kamu pun mengatakan demikian. Apakah ini juga merupakan isyarat bahwa kamu menikmati waktu bersamaku?

Keesokan harinya, aku dibuat kegirangan olehmu. Kamu menggunakan foto profil WhatsApp yang di spot yang sama denganku ketika di taman tanpa aku minta. Kita terlihat sedang couple-an foto profil. Tidak hanya itu, aku semakin dibuat kaget olehmu ketika aku menyadari kamu memajang foto wajahku ketika di taman di statusmu. Hariku terasa begitu berwarna kali ini. Aku senang sekaligus bingung, berusaha menebak-nebak apa maksudnya. Tapi aku berusaha bersikap biasa. Kita pun kemudian membahas hasil foto-foto kita.

Akan tetapi di hari berikutnya, semua berubah seketika. Semua terasa berantakan, kacau. Seolah semua hal yang kita lakukan selama beberapa minggu ini tidak lagi berarti. Kamu seperti dengan sengaja mengunggah screenshot chat mesra dengan orang lain di status WhatsApp.

Seketika hatiku terasa sesak. Tidak tahukah kamu bagaimana rasanya? Aku tidak tahu apakah kalian hanya sedang becanda, atau kamu hanya sedang berusaha membuatku cemburu, ataukah memang benar sedang ada yang dekat denganmu?

Lalu kembali aku cek akun datting app-mu, aku baru menyadari bahwa kamu menuliskan “mencari teman” dan itu terpampang jelas di biomu. “Mencari teman” gumamku. Lalu selama beberapa kali kita bertemu ini, kamu menganggapku sebagai apa? Aku pikir selama ini kamu sedang berusaha menciptakan momen bersama. Bahkan kita pernah couple-an foto profil, dan kamu juga sempat mengunggah fotoku dengan bangga di statusmu. Kalau “mencari teman”, bukan begitu caranya.

Hasratku untuk mengenalmu lebih jauh, kini rasanya seperti terjatuh, hancur setelah melihat screenshot-an itu. Sekarang aku sadar bahwa aku telah terlanjur menaruh hati terlalu dalam padamu. Sementara kamu di sana hanya menggantungkanku tanpa sebuah kejelasan. Sikapmu yang berubah-ubah membuatku bingung, bahkan untuk bertanya kabar seperti biasanya, aku kikuk.

Aku mulai berpikir untuk perlahan menjauhimu sebelum aku tenggelam lebih dalam. Tapi di sisi lain, aku juga tidak sanggup untuk melupakan. Aku sudah terlanjur tenggelam dan tidak bisa berenang.

Aku memang cemburu, tapi biarlah. Aku akan bersikap biasa. Berusaha menutupi perasaan dan seribu pertanyaan yang muncul di kepala. Menyembunyikan semua karena aku takut kamu akan menjauh jika aku mengutarakan semuanya. Tak apa, setidaknya kita masih berteman seperti biasa, aku harap demikian. Karena lebih baik menjadi teman daripada tidak sama sekali, bukan? Meskipun aku tahu itu menyesakkan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang mahasiswa tingkat akhir yang lagi skripsian. Suka berbagi informasi seputar kesehatan mental dan komunikasi interpersonal, serta hal-hal lain yang masih relevan. Lebih suka menuangkan isi kepala ke dalam tulisan karena lebih enak aja gitu.

CLOSE