Secangkir Puisi Aroma Stroberi

Hujan selalu mengingatkanku pada kopi hitam buatanmu dengan beberapa pisang goreng hangat yang masih mengepul. Ku tahu kau baru menggorengnya di dapur saat aku tengah duduk memandangi hujan diberanda rumahmu itu. Kau antarkan dengan baki dan semerbak wangi aroma sampo dari rambutmu yang basah dan kucoba menebak aroma apa. Tak pernah lupa, selalu kau selipkan secarik kertas disela jarimu yang mungil. Ku tahu kopi yang kau buat tak pernah gratis atau hanya cukup ku bayar dengan senyum manis.

Selalu kau minta sebait puisi setiap cangkir, itu pun harus kubaca sampai akhir. Andai jika tidak karena senyum manismu saat kau mulai merajuk tentu aku tak akan mau. Meski kau tau aku tak bisa tak mau. Maka apadaya ku buatkan sebait puisi juga dengan secerca goda. Agar tak bosan kau menunggu diantara jeda. Hingga selesai dan saat yang kau sukai tiba. Aku bacakan puisiku diiringi suara hujan dan sesekali bunyian lonceng bambu di beranda rumahmu yang diterpa angin.

Aku mulai membaca puisi yang telah selesai kubuat dan kau mulai asik mendengar. Sembari cengar-cengir tak karuan meski tak jarang berubah sendu kemudian. Tapi tetap diam memperhatikan. Sungguh menggemaskan melihatmu demikian. Hal yang selalu sulit untuk ku acuhkan, saat aku harus membaca puisi tapi kau berada didepan pandangku dengan berlatar belakang hujan. Wanita dan hujan adalah dua hal sulit dipisahkan dan harus dikisahkan.

Bersama selesainya puisi yang kubacakan telah kubayar kopi yang telah kau suguhkan. Kini saatnya kuteguk kopi yang mulai dingin dan tinggal separuh. Karena kulihat tadi kau menikmatinya, menyeruputnya sedikit-sedikit, sambil menatapku membaca puisi sebait-bait.

Kurasa kau kedinginan saat itu. Bagaimana tidak, kau kedinginan dengan rambut basah seperti itu, di antara hujan pasti kau butuh kehangatan. Meskipun aroma stroberi dari rambutmu kusuka juga dan tentu kopi buatanmu selalu nikmat seperti biasa. Pahit tapi sedikit terasa manis. Atau mungkin, aku meminumnya tepat pada bekas bibirmu ya sehingga terdapat rasa manis.

Lekas ku berikan kertas puisiku sebelum kau meminta, sebagai tambahan koleksi pada album puisi mu. "Seperti foto, puisi adalah caraku untuk mengabadikanmu” katamu saat dulu ku pernah bertanya untuk apa. Kertasku pun kau terima dan lekas kau berdiri. Kau kecup keningku seperti biasa, setiap selesai aku membaca dan kau selalu pergi begitu saja. Aneh. Tapi tetap aku bersyukur Tuhan berikan kau disampingku. Inspirasi yang tak pernah habis ku gali, tempat aku pulang jika merindu Illahi

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini