Sejak Kapan Depresi Jadi Keren? Coba Pahami Terlebih Dahulu Apa Itu Depresi.

Penyakit mental memang susah dipahami.

Penyakit mental memang susah dipahami. Maksud saya, kalau Anda belum mengalami sendiri, nggak akan paham rasanya. Yang saya tahu, penyakit mental, misalnya depresi, adalah sesuatu yang nyusahin, nggak enak, kacau, dan banyak terjadi di lingkungan kita. Nah pertanyaanya adalah, "Sejak kapan depresi itu keren?"

Pertama kali berkenalan dengan depresi, pastinya dari sosial media. Banyak foto hitam-putih wanita remaja sedang duduk kayak yang lagi pusing, di ruangan berantakan dan memegang silet (atau rokok). Sesuai dugaan Anda, banyak yang like, komentar, dan tiba-tiba depresi jadi sesuatu yang keren. Banyak anak muda yang kepengen depresi.

Saya ingat banyak postingan di IG atau Tumblr tentang ABG yang digambarkan depresi, nyaris bunuh diri, dan ‘menemukan dirinya kembali’ berkat kekasih yang selalu setia menemani. Kita suka hal-hal seperti itu, hal-hal yang ada ceritanya, seperti film Hollywood.

Bukan cuma sosmed, tapi media lain seperti TV atau film turut berperan dalam pembentukan image depresi yang sekarang dianggap keren, gothic, romantis, atau terserah apapun yang mendatangkan banyak Likes.

Jangan salah, depresi itu serius dan banyak terjadi di lingkungan kita, apalagi ditambah tekanan dari banyak sumber seperti teman, kekasih, orangtua, media sosial, pekerjaan, ekonomi dan lain lain. Permasalahannya adalah, depresi itu mirip medali: bisa dipamerkan, bisa dapat pengakuan.

Tampil sebagai orang depresi adalah salah satu cara untuk mendapat perhatian dan pengakuan, itu membuat kita terlihat lebih ‘dewasa’. Tentu saja pemikiran semacam ini sangat berbahaya. Media sosial punya power yang sangat besar dalam pembentukan karakter anak muda, dan banyak abg masa kini yang sengaja memiliki penyakit mental buatan di dalam otak mereka, meskipun sebenarnya mereka jauh dari depresi ataupun penyakit mental lainnya.

Bukannya mau mencegah konten tentang penyakit mental untuk muncul di media populer. Bahkan sebenarnya media adalah platform yang ampuh untuk mengedukasi anak-anak muda. A Beautiful Mind adalah film yang menggambarkan secara akurat apa yang terjadi pada orang dengan penyakit mental.

Di situ tergambar penyakit mental dengan tepat: Memengaruhi psikologi seseorang secara mendalam, dan yang paling penting adalah penyakit mental itu Tidak Enak.

Kreator konten perlu sadar bahwa penyakit mental bukan sesuatu yang cantik. Penyakit-penyakit mental seperti depresi sangat menyulitkan penderitanya dalam segala aspek kehidupan, dan ketika hal ini diglorifikasi serta dibungkus sebagai sesuatu yang indah, banyak kecacatan mental baru yang akan lahir di generasi anak muda pengguna Instagram dan Tumblr.

Permasalahan lain yang muncul dari generasi "depresi-wannabe" ini adalah, lingkungan jadi menganggap remeh depresi, sekaligus mengagungkannya. Kasus depresi yang serius justru tidak mendapat penanganan dan pencegahan yang semestinya, serta tenggelam didalam lautan depresi-wannabe.

Problemnya adalah misinformasi. Anak muda banyak mendapat informasi dari media, website, sosial media, atau teman, ketimbang dari sumber terpercaya. Kita bisa lihat banyak yang ngakunya depresi, padahal sebenarnya tidak. Mereka cuma marah, stres, atau menghadapi tantangan sehari-hari yang normal.

Sosial media, seiring berjalannya waktu penggunaan, akan mengelompokkan orang orang dengan pemikiran dan masalah yang sama. Yang terjadi adalah mereka masuk semakin dalam dan tidak bisa keluar dari lingkungan itu.

Sebagian orang menggunakan kata ‘depresi’ kalau nilai sekolahnya jelek, berantem dengan pacar, atau ditolak kerja. Karena inilah kata ‘depresi’ kehilangan makna sesungguhnya, dan penderita depresi yang sebenarnya, seperti yang saya utarakan diatas, tidak mendapat penanganan semestinya.

Fenomena ini memengaruhi remaja wanita jauh lebih banyak dibanding remaja pria. Pria diajarkan untuk mengambil tindakan dari masalahnya masing-masing. Meskipun tidak selalu lancar (atau justru mendatangkan masalah lain), ini membantu mereka keluar dari pergulatan batin di dalam, dan segera ambil tindakan untuk menyelesaikannya.

Remaja wanita di sisi lain, dibentuk untuk berekspresi, tidak untuk mengambil tindakan atau menyelesaikan masalah. Kombinasikan ini dengan sosial media, dan kita mendapat glorifikasi penyakit mental. Mungkin menjadi tugas orang-orang yang (maaf) sedikit lebih berpengalaman hidup di bumi, untuk memberikan gambaran ke anak anak muda tentang gimana sih cara menyikapi masalah dalam hidup.

Di luar cerita saya di atas, saya juga yakin tidak selamanya trend ini akan berlanjut. Mungkin ini dampak dari kagetnya kita terhadap kedatangan internet dan sosmed yang tanpa permisi. Mungkin perlu waktu untuk mengenali dampak dari lingkungan terhadap diri sendiri.

Stop glorifikasi penyakit mental, dan semoga netizen sekalian bisa mengurangi penyebaran paham radikal ini.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

digital marketer - scientist