Selaksa Rindu yang Tertawan

Selaksa rindu yang tertawan. Menghias malam yang gelapnya penuh dengan penat dan sekat. Iya, malam seolah menjadi penyekat bagi rasa dan asa, yang ingin menembusnya. Menuju peraduan bintang yang sebentar lagi radu. Malam seperti tidak menginginkan tercipta cinta penuh cita. Malam, selayaknya hitam yang diberikan, egonya terlalu jauh untuk dirangkul sepuluh jemari. Sekalipun tangga yang digunakan adalah harapan, tetap saja bisa tersapu angin.

Selaksa rindu yang tertawan. Tidak mau kalah dengan malam, angin pun demikian kejamnya. Ketika harapan selalu saja ada, ketika angan-angan setia tercipta, ketika impian berwujud, angin bilang tidak. Angin tidak seperti malam, ia gelap dengan jelas, egois dengan nyata. Sementara angin, lembut sekali caramu, meruntuhkan harapan yang tersusun berkat ekspektasi. Relung hati, tergulung angin yang bersifat dingin.

Selaksa rindu yang tertawan. Angin sebenarnya tidak dingin, ternyata ia berhembus bersama sekutunya, hujan. Hujan memang dingin, berkat sekumpulan buliran tangis dari awan hitam. Melincinkan jalan menuju kerinduan, itulah keahlian hujan. Merayu hujan percuma saja, sebab hujan hanya membawa air, tidak dengan hati. Maksud hujan mungkin membersihkan yang kotor, tapi terlalu naif. Percikan hujan yang bersentuhan dengan bumi, menghasilkan nada minor, sendu, dan mendayu-dayu. Menunggu hujan pulang, seperti menunggu waktu yang fana.

Selaksa rindu yang tertawan. Waktu, sewaktu-waktu juga akan tidak setia. Begitulah waktu, tak ingin dibelai, meski dengan rasa dendam sekalipun. Tidak bisa meluruhkan lara dari waktu, sebab ia berjalan saja. Waktu tidak akan menunggu, tidak suka menunggu, dan tidak bakal meragu. Waktu merubah semuanya, semua yang mencoba menentang kehendaknya. Malam, angin, bahkan hujan sekalipun, takluk pada waktu. Waktu lebih egois dibanding malam, waktu lebih kejam caranya daripada angin, dan waktu lebih dingin bila disandingkan dengan hujan. Waktu, teman sepi dan kawan kelam. Hingga waktupun tidak akan berpihak pada yang meragu.

Aku rayu malam, kubelai angin, kuusap hujan, kusentuh waktu. Tidak sekalipun dengan rasa dendam pada mereka. Tidak, bahkan secuil niatpun tidak akan pernah terjadi. Rasa dan asa pernah mereka buat lara. Rasa dan asa pernah merasakan sepi dan kelam. Buatnya harus menata hati. Buatnya harus menyelam jauh lebih dalam dari kelam. Begitu bajiknya rasa dan asa, meski tidak ada kepastian dari mereka, yang punya sifat tidak bisa menerima sedari dulu. Hanya saja rasa dan asa punya sifat untuk meluruhkan lara. Iya, kan kutempuh semua perjalanan, hanya untuk ke hatimu. Meski lebih hina dari malam, lebih bodoh dari angin, lebih idiot dari hujan, dan lebih rendah dari waktu. Karena rasa dan asa, ia sudah menyelam terlalu jauh, membawa salam penawar rindu dariku.

Kurindu, maka akan kukatakan demikian. Tidak untuk malam, angin, hujan, dan waktu. Lebih baik aku katakan apa adanya, karena aku memang rindu.

Kurindu, apa adanya aku bilang. Sebab malam, angin, hujan, dan waktu tidak akan berpihak kepada peragu. Maka kurindu, itu saja. Tidak perlu dipikir soal selaksa nanti rerah, karena kurindu, maka selaksa pasti berubah.

Kurindu. Selaksa rindu yang tertawan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Universitas Mataram | Penggemar Manchester United | Aktif di Twitter | Penulis Buku: Jomblo Ngoceh