Seperti Pelangi, Kamu Adalah Kesementaraan

Langit biru berhiaskan awan putih sangat indah. Seolah-olah memang sudah ditakdirkan dari awal bahwa biru serasi dengan putih, atau putih pas bersama biru. Dan juga sudah dikodratkan bahwa tidak selamanya awan setia dengan putih, menemani langit biru. Satu waktu, awan akan menjadi gelap, hitamnya begitu pekat, bahkan mampu meniadakan birunya langit.

Advertisement

Ketika hal itu tiba, maka kemungkinan terbesar dari drama awan tersebut adalah hujan. Awan dengan senang atau sedih, mencurahkan airnya, hingga mampu menusuk tanah bumi ini. Kadang hujan tidak datang sendiri, bersamanya juga ada kilat dan petir. Kilat seolah memberi bukti betapa agungnya cahaya yang ia berikan, hingga silap mata. Petir menambah gemuruh air hujan yang bertabrakan dengan atap rumah, payung, daun, dan sebagainya.

Suasana seperti itu juga tidak selamanya terjadi, karena masih ada hal menarik setelah hujan. Terkadang, dan banyak orang berharap, sehabis hujan yang mampu membatalkan semua janji itu, terbitlah lengkung spektrum warna di langit, terlihat karena pembiasan sinar matahari oleh titik-titik hujan atau embun. Atau lebih mudah dan sederhana disebut pelangi.

Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu, adalah tujuh warna yang yang saling menumpuk rapi di atas sana. Pelangi adalah bagian terbaik dari seseorang untuk mengharapkan keindahan pasca hujan. Meski indah, pelangi cuma sementara. Benar-benar sementara. Kamu dan pelangi, benar-benar sementara, setidaknya begitu di hidupku.

Advertisement

Aku juga masih normal, bahwa mengharapkan cinta akan hadir dan untuk selamanya adalah apa yang diidam-idamkan semua manusia normal. Tapi kamu seolah tidak ingin menormalkanku. Kamu menyapa, dan hilang begitu saja. Ketika kamu menyapa, runtuh semua raguku. Ketika kamu menyapa, yakinku kamu adalah akhiran dalam hidup ini. Tapi, ketika kamu hilang begitu saja, ya begitu saja. Seolah tidak pernah ada yang terjadi sebelumnya.

Seolah tidak ada hari kemarin. Seolah kita asing. Begitulah kamu, sama seperti pelangi, terbit lalu lesap begitu saja. Indah memang, tapi cuma sesaat. Tapi sesaat itu sudah cukup untuk mewarnai hariku. Bolehkan aku bertanya? Tidak perlu dijawab, karena sekalipun kamu bilang “tidak”, tetap kupaksakan untuk bertanya. Tanyaku, kenapa aku tidak bisa denganmu? Tegasku, aku cuma bisa jadi cinta yang tidak akan pernah terjadi untukmu kan. Tapi maaf sekali kalau aku terlalu lancang berkata, tapi kenapa kamu masih di sini (menunjuk hati). Iya, bersamamu adalah kenangan yang tidak mudah untuk dilupakan. Sosok mungilmu di hati ini masih saja ada. Hal itu membuat harapan terus bernapas.

Advertisement

Mungkin kalau diibaratkan adalah kamu seperti sebuah kapal besar, bahkan mungkin kapal pesiar, besar dan megah. Berlayar menemani air laut, kesana dan kemari. Berteman dengan pagi dan malam. Bersuka cita di dalamnya, sampai tiba saatnya harus menepi sejenak, maka pelabuhan adalah tempatnya. Sayangnya, aku ibarat pelabuhan kecil yang tidak sanggup untuk menampung kapal pesiar.

Ketidakberdayaan pelabuhan kecil itu, sudah pasti tidak akan pernah menjadi pilihan bagi kapal pesiar untuk melabuh. Bahkan menjadi pilihan terakhir pun tidak, ‘kan? Lalu, sudah jelas akhirannya, kapal pesiar akan melabuh pada pelabuhan yang sanggup menampungnya. Kira-kira, kalau diumpamakan, maka seperti itulah kisahnya. Bodohnya aku, sudah jelas-jelas pelabuhan kecil, tapi masih berharap kapal pesiar mau berlabuh. Dan beruntungnya kapal pesiar, tidak menjadikan aku sebagai pilihan untuk berlabuh, bahkan untuk menjadi opsi terakhir pun tidak.

Meski bodoh, bukan berarti tidak boleh berharap, ‘kan? Jadi, harapan ini adalah harapan yang bodoh. Tetaplah kamu di sini, di hati ini. Jangan sudah datang, lalu wajib untuk kamu pergi. Jangan begitu caranya. Karena hatiku bukanlah tempat persinggahan. Hatiku bukanlah rest area yang digunakan untuk beristirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan.

Dan meski bodoh, bukan berarti tidak boleh tegas, ‘kan? Jadi, tegas ini adalah tegas yang bodoh. Kalau memang kamu tidak menginginkan aku untuk jadi selamanya, jangan pernah buatku berkespektasi. Sebab aku berekspektasi karena punya awal yang indah. Kamu dan bersama kamu adalah indah, setidaknya begitu bagiku. Jadi, kamu indah, pelangi juga indah. Kamu dan pelangi, benar-benar sementara.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Universitas Mataram | Penggemar Manchester United | Aktif di Twitter | Penulis Buku: Jomblo Ngoceh

CLOSE