Si Merah Saksi Sejarah, Terletak di Kota Tua

Bangunan bersejarah Toko Merah yang terletak di Kota Tua ini telah berdiri sejak abad ke-17 dan sampai sekarang masih memikat perhatian turis dan masyarakat setempat karena arsitekturnya yang unik, sejarahnya yang menarik dan latar belakangnya yang angker.

Terletak di bagian barat kanal utama Kali Besar Kota Tua, berdirilah sebuah bangunan berdinding merah, batu bata di atas batu bata, tertumpuk membentuk bangunan tinggi berlantai dua. Toko Merah adalah namanya, nama yang menggambarkan secara sempurna warna bangunan tersebut; merah menyala. Cukup kontras dengan bangunan-bangunan yang mengimpitnya, Toko Merah ini terbuat dari tumpukan batu bata berwarna merah mencolok dan telah berdiri selama hampir 300 tahun.

Advertisement

Hal menarik yang memicu banyak perhatian mengenai bangunan tua ini adalah peristiwa-peristiwa bersejarah yang telah disaksikannya. Selama ratusan tahun ia berdiri, Toko Merah ini telah menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah yang tak akan pernah luput dari ingatan bangsa, peristiwa-peristiwa yang nantinya membentuk sejarah bangsa Indonesia saat ini.

Toko Merah terletak di Jl. Kali Besar Barat No. 11, Pinang Siang, Tambora, Jakarta Barat, sebagai bagian dari kota wisata bersejarah Kota Tua. Walau sudah tidak lagi dibuka untuk umum, Toko Merah masih menarik para wisatawan asing maupun lokal untuk berfoto di depan bangunan bersejarah tersebut. Toko Merah tetap menjadi salah satu destinasi wisata sepeda onthel Kota Tua yang populer dan merupakan tempat yang sempurna bagi para pengunjung untuk berfoto-foto dan menyimpan kenangan.

Ketika masih dibuka, Toko Merah dapat dikunjungi setiap hari dari pukul 09:00 pagi sampai dengan 16:30 sore, dan tidak pernah sepi dari pengunjung. Dahulu merupakan cagar budaya yang megah, terawat, dan merupakan magnet wisata bagi para turis, sekarang bagaikan bangunan yang terabaikan, kosong melompong, tak berpengunjung sama sekali.

Advertisement

Walau tak lagi dapat memasuki Toko Merah, para wisatawan masih dapat melihat sepintas pemandangan di dalam bangunan tersebut. Jika mengintip melalui kaca buram pada sisi depan bangunan menuju bagian dalam, dapat terlihat dua tangga megah yang bergerak menuju lantai dua bangunan tersebut. Lantai, tembok, pintu maupun langit-langit interior Toko Merah dibiarkan seperti rancangan awalnya, menunjukkan corak elok yang terkesan antik.

Selain itu, pada bagian kiri bangunan, dapat dilihat melalui kaca sebuah miniatur kecil dari Toko Merah, berdiri rapi di sebelah tangga megah yang menuju ke lantai dua. Sementara di dinding bagian depan bangunan, tertera rapi serangkaian huruf yang membentuk kata “Toko Merah”.

Advertisement

Dibangun pada abad ke-17, Toko Merah telah menjadi saksi bisu berbagai kejadian bersejarah di Batavia, yang paling terkenal merupakan pembantaian etnis Tionghoa pada pertengahan abad ke-17. Para pemandu wisata sepeda onthel yang mengantar para turis berkeliling mengitari Kota Tua mengenal dengan baik sejarah gedung yang satu ini.

Salah satunya adalah Pak Sanen. Pak Sanen telah bekerja sebagai pemandu wisata sepeda onthel dan ahli sejarah seputar Kota Tua sejak tahun 2008, dan menjadi salah seorang pemandu yang mengenali secara dalam dan detil sejarah Toko Merah. Pak Sanen bercerita bahwa fungsi bangunan ini berubah-ubah seiring berjalannya waktu.

Dahulu, bangunan ini bekas kediaman Gubernur-Jenderal VOC Gustaaf Willem baron van Imhoff. Pada tahun 1740 sampai dengan 1743, terjadilah pembantaian etnis Tionghoa, bagian dari sejarah kelam bangsa Indonesia dalam perjuangannya mengusir para penjajah. Sampai sekarang, peristiwa inilah yang kerap diasosiasikan dengan Toko Merah, dan akan selamanya melekat pada sejarah Nusantara.

Pembantaian etnis Tiongoha tahun 1740 ini lebih dikenal dengan sebutan Geger Pacinan atau Tragedi Angke. Beberapa puluh tahun kemudian, menjelang pergantian abad ke-17 dan abad ke-18, bangunan tersebut digunakan sebagai sebuah hotel; hotel termewah dan termegah di Batavia pada masanya. Bangunan ini juga pernah digunakan sebagai pusat Akademi Ilmu Pelayaran, yang kemudian berpindah ke Marunda.

Apakah yang melatar-belakangi terjadinya Geger Pacinan pada abad ke-17 di hadapan bangunan merah yang menjulang tinggi tersebut? Semuanya berawal dari pembentukan Kota Batavia setelah Jayakarta direbut oleh Jan Pieterszoon Coen dan para pengikutnya. Jan Pieterszoon Coen ini memiliki seorang kenalan etnis Tionghoa yang bernama Souw Beng Kong, yang akhirnya ia tarik ke Batavia dan perintahkan untuk membangun lahan tanaman padi, tebu dan jenis pangan lainnya di Batavia.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak warga Tionghoa yang datang ke Batavia untuk membantu pembangunan lahan untuk memproduksi pangan tersebut, hingga akhirnya, lebih banyak warga Tionghoa menempati Batavia. Hal ini mendorong pihak VOC untuk menaikkan pajak bagi para warga Tionghoa yang berada di Batavia. Keputusan ini tidak disetujui warga Tionghoa. Pada akhirnya, banyak pekerja Tionghoa yang “dipulangkan” ke kota asalnya namun dibantai di tengah perjalanan pulang.

Peningkatan pajak yang semena-mena dan pembantaian yang terus-menerus terjadi akhirnya menyalakan api dalam diri warga Tionghoa untuk melawan VOC dan memulai sebuah pemberontakan. Alhasil, ribuan warga Tionghoa yang menetap di Batavia dibantai secara massal, beberapa tepat di hadapan Toko Merah, dan jasadnya dibuang di kali tepat di seberang bangunan tersebut, dibiarkan hanyut tanpa sedikitpun rasa kemanusiaan. Sebagian yang berhasil melarikan diri dari pembantaian tersebut kabur dari Batavia dan menyebar ke seluruh penjuru Nusantara.

Akibat sejarah kelam yang disaksikan Toko Merah beratus tahun silam, banyak yang berkata bahwa bangunan berlantai dua tersebut dihantui oleh mereka yang menemui ajalnya di kali seberang bangunan tersebut. Berbagai cerita beredar bahwa bangunan Toko Merah ini memiliki banyak penunggu, dan merupakan salah satu spot wisata paling angker di Jakarta.

Pak Sanen mengaku bahwa ia sendiri belum pernah mengalami kejadian-kejadian aneh semasa kerjanya, dan bahwa ia belum pernah berhadapan dengan hal-hal berbau mistis sebelumnya. Namun mayoritas teman-temannya yang menghabiskan waktu menjaga Toko Merah berkata lain. Mereka yang sering begadang di Toko Merah mengaku kerap mendengar langkah-langkah kaki prajurit, jeritan nyaring para korban Tragedi Angke atau tangisan Noni Belanda dari dalam bangunan tak berpenghuni itu.

“Gedung sudah tua, dari abad 17, sekarang dikosongkan pula. Tidak kosong saja sudah banyak yang berkeliaran, apalagi kosong. Angker sih, memang, walau tidak bisa dibuktikan sebelum kita lihat dengan mata kepala sendiri.” Tutur Pak Sanen sembari tertawa. Mitos mengenai keangkeran bangunan inilah yang menjadi salah satu daya tarik Toko Merah bagi para wisatawan.

Toko merah memiliki potensi yang besar untuk menjadi obyek wisata yang dapat menarik dan memikat perhatian masyarakat melalui sejarah dan mitos-mitos menarik yang mengelilinginya. Tentunya, bangunan ini akan populer di kalangan anak-anak muda yang tertarik dengan sejarah bangsa, atau hal-hal berbau mistis.

Akan tetapi, sungguh disayangkan, bangunan merah megah ini sudah tidak lagi dibuka untuk umum, dan keindahannya hanya dapat dipandang dari luar. Ketika ditanya mengenai alasannya ditutupnya Toko Merah, Pak Sanen hanya menggeleng, menjawab dengan singkat bahwa ia tidak tahu alasan pasti ditutupnya cagar budaya tersebut.

Ruangan-ruangan luas yang dulunya penuh dengan berbagai macam perabotan antik dan dekorasi megah yang dapat menarik perhatian pendatang, sekarang dibiarkan kosong. “Saat ini, dalamnya kosong, namun ornamen-ornamen seperti tangga kayu dan ukiran-ukiran di dindingnya tak pernah diubah. Jadi orisinilnya itu tetap.” Jelasnya ketika ditanyakan mengenai isi bangunan tersebut saat ini.

Toko Merah memang sudah tidak lagi dapat diakses masyarakat, namun dalam acara-acara spesial, masih dibuka untuk tamu-tamu tertentu. “Seperti pada tanggal 4 Februari 2018 besok, beberapa orang kementerian berkunjung untuk menggelar sebuah acara di dalam bangunan tersebut.” Ujar Pak Sanen. Pemerintah juga memastikan bahwa walau Toko Merah sudah tak dapat dikunjungi, bangunan tersebut tetap dijaga dan dilestarikan sebagai cagar budaya dan bagian dari sejarah Indonesia.

Namun siapa tahu? Mungkin suatu hari nanti, bangunan merah yang berjaya pada masanya ini akan dibuka kembali untuk masyarakat.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE