Surat Cinta Untuk Indonesia

Salam Indonesia,

Salam negeriku

Salam rindu dariku yang sedang berkelana dan rindu sekali untuk pulang. Namun karena petualangan belum juga berujung, dia enggan untuk pulang. Bersabarlah menantiku! Aku tahu kamu menunggu. Hari ini adalah ulang tahunmu. Karena itulah, aku menuliskan sekeping cinta ini untukmu. Walau kamu tahu, masih banyak yang tertahan di dada ini.

Kamu sangatlah mempesona. Pesonamu itu membuatku ingin pulang sejauh apapun aku melangkah.

Negeriku, Indonesia. Kamu sangatlah mempesona. Pesonamu itu membuatku ingin pulang sejauh apapun aku melangkah. Padang rumput menghijau manis, gemericik air di sungai terdengar halus, mencipta indah alam desa membuat jiwa semakin teduh. Memandang gunung dan danaumu, segala lekuk bahkan tiap sudutmu membuat segala gundah ini meluruh.

Semenggiurkan apapun di sini, tidak ada alasan untuk tidak pulang. Karena aku sungguh tak berdaya menahan rindu ini.

Rinduku sangat bergejolak. Cinta ini semakin dalam.

Indonesia, kesayanganku di hari ulang tahunmu ini, aku ingin pulang. Rinduku sangat bergejolak. Cinta ini semakin dalam. Ingin rasanya aku kembali, bernyanyi kencang-kencang bahkan sekencang-kencangnya saat suara itu “Hormat graaak” melonglong.

Ingin rasanya aku di sana, melihat tali itu ditarik perlahan oleh dua orang yang berseragam putih. Aku rindu menyanyikan lagu cinta “Indonesia Raya”. Sambil melihat bendera itu, warna merah putih melambai-lambai sambil menari, seakan terbang ke langit yang biru. Rindu dengan semua peralatan kencan kita di malam 16 Agustus, ingat dengan obor itu. Ya, itu obor yang aku bawa berkeliling kota dengan semangat.

Aku tidaklah semengharumkan yang kamu harapkan. Maafkan aku, maafkanlah. Aku mencoreng wajahmu dengan nilaiku yang terjun payung itu.

Aku ingin selalu bangga karenamu, Indonesiaku. Kesayanganku. Aku ingin selalu menyebutkan namamu kepada seluruh dunia. Namun harapanku seolah masih terlalu jauh untukmu, Indonesiaku. Aku tidaklah semengharumkan yang kau harapkan. Maafkan aku, maafkanlah. Aku mencoreng wajahmu dengan nilaiku yang terjun payung itu. Apa kata mereka dengan itu?

Aku lebih mengutuk diriku yang tidak membuatmu bangga. Aku telah berjuang membuktikan cintaku, namun aku tahu itu tak sekeras perjuangan pahlawan dulu.

Aku lebih mengutuk diriku yang tidak membuatmu bangga. Aku telah berjuang membuktikan cintaku, namun kutahu itu tak sekeras perjuangan pahlawan dulu. Aku menimba ilmu di negeri orang, hanya berjuang untuk tidur dua jam per hari, sementara mereka berjuang mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan kami. Ah, aku tahu kamu kecewa.

Tanah airku, meski kamu melihatku diam, sesungguhnya aku sangat sakit saat kamu dirusak. Hatiku tercabik-cabik.

Tanah airku, meski kamu melihatku diam, sesungguhnya aku sangat sakit saat kamu dirusak. Hatiku tercabik-cabik melihat anak-anakmu disini. TKW yang sangat merindu anaknya namun tidak bisa pulang. Hatiku teriris saat melihat mereka mendorong kursi roda nenek-kakek. Sebuah kata yang menusuk-nusuk hati, “Inikah arti merdeka bagi mereka?”

Aku tahu kamu menderita. Banyak kutu-kutu yang menempel di tubuhmu. Mereka menggerogotimu. Sampai kamu tercabik-cabik. Ah, darahku naik ke ubun-ubun mengingat itu. Rasanya ingin kutokok saja kepalanya kutu-kutu parasit itu. Kamu memang lemah dan miskin. Maaf, aku tak bermaksud menghinamu. Tapi itu memang benar.

Salah dirimu kah itu? Tidak. Mereka yang membuatmu miskin, mereka yang menggorogoti amunisimu. Korupsi, bencana, terorisme, dan sederet luka yang lain. Bagaimana rasanya? Sakit. Itu pasti. Itu bukan salahmu. Berhentilah terisak! Aku mohon, berhentilah!

Itu salah kami yang tak bisa merawat dan membiarkanmu terluka. Salah kami yang selalu apatis. Salah kami yang membuang sampah sembarangan. Salah kami yang menebangi pohonmu, salah kami yang menerobos lampu merah, salah kami yang memberhentikan angkot sesuka hati, salah kami yang tidak giat belajar, salah kami yang terlalu banyak bermain dan tak peduli padamu.

Tapi apapun kata mereka, meski sebagian orang mengejekmu, bahkan meninggalkanmu, kamu tahu cinta ini adalah milikmu. Aku pastikan bahwa seseorang yang mendampingiku kelak adalah orang yang mencintaimu juga.

Kamu bahkan merana, lantas disalahkan atas luka-lukamu. Kamu yang indah, kamu yang gagah, kamu yang mempesona, tetapi kamu dirusak, jadi miskin, jadi jelek bahkan ditinggalkan. Tapi apapun kata mereka, meski sebagian orang mengejekmu, bahkan meninggalkanmu, kamu tahu cinta ini adalah milikmu. Aku pastikan bahwa seseorang yang mendampingiku kelak adalah orang yang mencintaimu juga.

Orang yang bertengger di hati ini adalah yang di hatinya ada kau dan aku, dan pastinya Maha Kuasa juga. Aku tak ingin kamu sedih melihat kami ribut. Karena aku memberontak saat kamu terluka, sementara dia tak peduli. Aku ingin sama-sama menangis saat kamu terluka. Aku ingin kami sama-sama memperjuangkan cinta kami untukmu. Kita tersenyum bersama.

Saat aku pulang, aku akan langsung menemuimu. Akan kucurahkan rindu yang telah kusimpan dalam kalbu ini. Entah seberapa banyak kamu dapat menampung.

Negeriku, waktu serasa berhenti apabila kuhitung hariku akan kembali. Lama sekali rasanya. Kupikir bukan lagi sehari atau seminggu. Tetapi sehari rasanya berabad-abad yang harus kulewati. Kuharap Engkau sabar menunggu. Saat hari itu tiba nanti, aku akan langsung menemuimu. Akan kucurahkan rindu yang telah kusimpan dalam kalbu ini. Entah seberapa banyak kau dapat menampung.

Akhir kata, selamat ulang tahun ke-70. Dirgahayu Negeriku, Dirgahayu Bangsaku, Jayalah Indonesiaku!

Salam sangat rindu,

dari aku di negeri asing.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penyuka Puisi seperti halnya kopi

19 Comments

  1. Jens Gian berkata:

    Nga bangga annon suster seraphin manjaha on

  2. Jentro: Hahahha… dohot Ibu Tumorang jen, Hahhahahah..

  3. Nurtama berkata:

    terharu, semoga sukses di negeri asing ka, god bles you

  4. Mauliate Tante @Nurtama.. doakan ya