Surat Terakhir Untuk Mantan

Hari ini aku ingat. Hari saat kamu tak bersamaku lagi. Aneh! aku tak menangis. Padahal aku masih mencintaimu. Aneh! aku tak bersuara memanggil namamu, padahal hatiku pedih karena sikapmu. Bayangmu semakin menghilang di ujung sana, disebuah perempatan. Lelaki itu memanggilkku. Panggilan yang mesra. Aku menyambutnya dan hanya terduduk memunggungimu.

Aku tau kamu marah. Dan kamu pasti akan sangat marah kalau kamu masih bersamaku dalam waktu yang lama. Saat itu kamu sendiri yang memintaku menemanimu. Kamu ingin ke toko buku, dan tak ada orang yang menemanimu. Rumahmu jauh, aku tau itu. Kamu bela-belain datang ke rumahku, hanya untuk mengajakku menemanimu. Rumahku, ya rumahku. Rumah yang selama empat tahun rajin kau kunjungi. Saat itu aku berharap senyummu hadir hanya untukku. Tidak seperti sekarang, kamu hanya mengerutkan sudut bibirmu untukku. Okelah, tak masalah. Bukan karena aku masih mencintaimu. Lagi pula, masih berhakkah aku marah? Toh, kita sekarang cuma sepenggal kisah masa lalu.

Aku berlari ke peraduanku. Mataku terpejam meski tak perlu. Tak ada lampu disini. Memejamkan mata atau tidak, tak ada bedanya. Aku mulai mencoba mengingat semua masa kita, dengan terlebih dahulu menyebut lima huruf namamu. Ada rasa cinta yang mengalir. Namun rasanya, dingin, perih, berombak-ombak. Lantas, bermuara di dada.

PUTUS!!! Mulutmu mengeluarkannya. Aku diam saja. Entah sudah berapa kali kata itu terucap dari bibirmu. Dan entah sudah kesekian kali juga aku mengatakan padamu, jangan pernah main- main dengan kata "Putus".Seperti laki-laki kekanakkan yang masih ABG. Kali ini aku bilang ya sambil melihat kamu melemparkan aku sebuah boneka teddy bear pemberianmu di depanku. Sudah, kita akhiri cukup sampai disini, agar tak ada hati lagi yang terluka kedepannya.

Di malam itu, kembali aku teringat masalah-masalah antara aku denganmu, dan keluargamu yang jika aku pikirkan, tak akan ada ujungnya. Dengan mengumpulkan puing-puing asaku yang hilang, aku sempatkan menulis luapan hati terakhir yang ingin kutulis tentang dirimu.

Sayangku…

Kamu tidak pernah menjadi dewasa. Kamu tak mengizinkanku berbagi maaf denganmu atas apa yang telah kita lalui selama ini. Entah sudah berapa kali kita bertengkar karena keluargamu untuk melambangkan perlawanan akan penindasan cinta kita. Namun engkau selalu menyalahkanku. Kamu berpikir akulah yang tak cocok dengan keluargamu.

Sayangku…

Kamu bahagia saat ini, kan? Senyum pipi chubby-mu menggembung. Matamu membesar. Mengisikan keceriaan akan masa depanmu. Masa depan yang diinginkan dan dirancangkan keluargamu, bukan denganku. Seorang wanita disampingmu, berbalut gaun putih yang indah. Kumpulan berbagai bunga tertata indah. Berselimut kain dan benang jarang ada ditanganmu. Aku turut bahagia juga buat kamu. Tak terucap, namun rasakan dihatimu. Aku mengirim degup jantungku. Sudah terasakah? Mengertikah kamu, degup jantung kita sama. Itu kata yang selalu kamu ucapkan ketika aku sedang sedih. Degup jantung ini sebahagia dirimu. Kamu memang pantas bahagia setelah apa yang kita alami berujung tak ada peningkatan.

Tak pernah terpikir aku untuk menyumpahimu meski kau berulang kali menyakitiku, mengatakan putus, dan akhirnya pergi meninggalkanku dengan sejuta luka yang masih ku rasakan perihnya, karena aku memujamu. Tak pantas aku menyesali kepergianmu karena engkau selalu dekat dengan jiwaku. Malam itu, di rawa itu. Aku meninggalkan lukaku. Menguburnya di rerimbunan ilalang setinggiku. Aku bangkit lagi. Menyalakan semangatku untuk melangkah maju.

Aku masih menggigil menanti cahaya di dalam kamar. Suatu kesadaran menghampiri, memberitakan bahwa hal bahwa besok kamu tak akan pernah lagi menemuiku. Esok, kamu bukan lagi milikku selamanya.

Setelah beberapa tahun berlalu, rawa itu tak ada lagi. Kau menggantikannya dengan membangun rumah seratus meter persegi keatas menggantikannya. Cintaku, jalan kenangan kita, lukaku, hancurku, dan tanaman rinduku sudah tak berbekas. Saat aku membayangkan terakhir kali aku menyampirkan kepalaku di pundakmu. Entah aku lega atau tidak atas perpisahan kita waktu itu.

Aku menutup laptop. Kata terakhir sudah aku tulis. Kata perpisahan untukmu selama aku hidup di bumi. Aku mengantuk tanpa menguap. Lantas kuhampiri jendela yang dingin tertimpa angin semilir.

Sebelum mata ini terpejam, sekali lagi kusenandungkan doa untuk kebahagiaanmu, mantanku. Payung hujan keputus asaanku, lewat hembusan nafas. Selamat tidur, kamu adalah hal terindah dalam hidupku. Jika engkau mati sebelum aku, aku berjanji untuk datang ke pemakamanmu. Aku akan meletakkan segerombolan mawar. (Eh.. masih ingatkah kamu saat kamu meletakkan mawar di depan rumahku. Malamnya aku telepon kamu untuk menanyakan apakah kamu yang meletakkannya?)

Aku mencintaimu dengan segala kelemahanku….

Aku menyayangimu dengan berlagak kuat selalu….

Kusebut namamu disetiap ulang tahunmu…

Kuingat darahku memanas memandang penggantiku…

Kutata doa untuk sang Maha Kuasa…

Maafkan aku yang talah menyakitimu…

Jangan tulis dosaku atas rintihan air matamu…

Hitunglah nafasku sebagai ganti nafas dia…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Namaku OLVIN DIASA, biasa di panggil OLVIN. Salam Manis dari aku yah,,, ().. :) Si Gadis Libra

28 Comments

  1. Yeshua berkata:

    Luar biasa kata2 nya 🙂

  2. Lah.. kayanya aku pernah baca tulisan mirip kaya tulisan kamu

  3. Olvin Diasa berkata:

    mirip, tapi nda sama 🙂

  4. Imas Pratiwi berkata:

    Keren sih, topi ada beberapa kalimat yg terlalu over.

  5. Hanez Pengky berkata:

    ykinlah smua yang trbaik sudh disiapkan untuknkita semua,,