Tentang Kesendirian yang Merindukan Sesosok Pasangan

Kehidupan itu lucu. Dia memberikan kebahagian, tetapi juga menawarkan kesedihan. Kebahagian yang ia tawarkan padahal bisa membuat orang banyak tersenyum tanpa lara. Kebahagian yang ia kasih tidak ternilai, namun mudah untuk didapatkan oleh banyak orang. Biasanya, yang tidak ternilai itu sulit untuk didapatkan, tapi ia tidak begitu. Seolah ia sudah menyodorkan tangan untuk bisa dijabat orang banyak, tinggal menunggu saja orang seperti mana yang mau menjabatnya. Sungguh murah hati sekali ia, kehidupan yang sedar tadi diucapkan ini.

Tapi, seperti yang sudah kusebut tadi, ia juga menawarkan kesedihan. Secara cuma-cuma, ia juga menawarkan kesedihan itu. Seolah ia punya tangan yang lain, yang juga siap dijabat untuk orang lain. Lara seperti mara, nelangsa hingga tak punya asa, dan sedu hingga lupa merindu, begitulah cara yang ia berikan pada penjabat tangannya. Kesedihan yang ia tawarkan buat otak jagi lupa, bahwa tiap orang juga pernah menjabat tangannya yang lain, yaitu kebahagian. Karena seperti itulah kehidupan, maka ingat pula ucapan dari Ernest Prakarsa,

Kadang hidup perlu ditertawakan.

Dan ia, kehidupan, yang sedari tadi pantas untuk ditertawakan karena lucu itu, mengikat kamu dengan kata "sendiri" dalam berjabat pada kesedihan. Kamu merasakan hidup begitu sendiri. Bahkan mungkin kamu bertanya-tanya dalam otak kopong ini, "Kenapa hidup memberikan kesendirian sepaket dengan kesedihan?". Kesendirian di awal memang sebuah suratan takdir. Tidak ada satupun orang yang lahir ke dunia ini dalam keadaan bersama jodohnya. Tidak satupun, termasuk kamu. Kamu mungkin sedikit bergembira dengan hal itu, menyenangkan mengetahui fakta bodoh itu. Tapi, hidup pun berubah, seiring jemari yang mampu menggenggam hati orang lain.

Ketika cinta muncul, kamu pun masih sendiri. Mungkin kamu bukan tidak berusaha mencari cinta, hanya saja, hanya saja, dan hanya saja, begitu ucapmu, kepada teman-temanmu yang menyodok hatimu dengan ejekan dan guyonan. Kamu mungkin terus mencari pembelaan, padahal di luar sana sudah ada orang yang ahli dalam membela. Tapi setidaknya kamu sudah belajar menjadi orang mandiri, yang pandai menerima setiap banyolan dari mereka tanpa mencari pembela.

Kamu terus mencari sang peneman dalam sendirimu, meski ada yang memprioritaskannya, dan ada pula yang selayaknya cemilan. Meniadakan waktu, menduakan diri, dan melesapkan emosi, begitulah kebiasaanmu tatkala mencari cinta, di tengah padang kehidupan. Tak kamu hiraukan lagi mereka yang menyinggungmu, bagimu mungkin mereka cuma sekumpulan itik yang bisanya membebek saja. Kamu terus mencari, hingga kamu lupa sesuatu, tanganmu masih menjabat mesra kesedihan.

Strong kok gue. Gue pasti bisa lewatin semuanya. Karena gue yakin, semua akan indah pada waktunya.

-Raditya Dika-

Hingga kesendirianmu sempat menghampiri cinta. Iya, menghampiri saja, selayaknya menghentikan sejenak sebuah permainan. Kamu suka dia, kamu sayang dia, kamu cinta dia, kamu, pokoknya hanya ada dia di otak kopongmu itu. Dia, orang yang buatmu jatuh cinta, ternyata hanya bisa menjadi fatamorgana bagimu. Kamu lihat indah dirinya, tapi semakin mendekat, kamu tidak menemukan apapun, bahkan secuil hatipun tidak. Oh, ternyata hatinya sudah bersanding dengan orang lain. Pantas saja tidak kamu temukan sisa hatinya.

Kamu bukan manusia terapes di dunia, banyak yang seperti di dunia fana ini. Ucap dan dan sikap dari yang berada dekat denganmu, menaikkan gejolak kawula mudamu. Hidup belum kiamat, ketika dia cuma bisa menyematkan luka yang pekat. Lantas kamu berjalan lagi, entah ke depan atau ke samping, yang jelas, tujuannya satu, keluar dari lorong yang sudah gelap ini. Hingga akhirnya, sendirimu pun bertemu dengan orang yang kamu cintai. Kali ini kamu pastikan dia tidak seperti masa lalu. Kamu mendekatkan hati yang sudah berbekas luka padanya, coba mengetuk pintu hatinya, dan berharap dibuka olehnya. Sekian lama kamu dekat dengannya, sekian lama juga kamu berpura-pura padanya, bahwa sebenarnya kamu mencintai dia.

Cinta yang kamu tawarkan begitu erat, hingga hati begitu sesak karena kamu remas. Tapi karena nelangsa masih setia bersamamu mungkin, dia yang ada di hatimu, dia yang ada di otak kopongmu itu, dia yang selalu menjadi alasan senyummu, kini pergi. Pergipun tidak jelas, tanpa sebab, tanpa kata, seolah tidak meninggalkan rasa padamu. Padahal kamu sudah memberikan satu hati yang kamu miliki itu padanya, tapi kenapa dia pergi tanpa kejelasan? Mungkin satu hati saja tidak cukup baginya. Dilema melanda hari dan jari, yang sempat bersama dengannya satu meja penuh rasa. Perjuangan yang kamu berikan, seolah tidak pernah ada.

Ada saatnya seseorang berhenti berjuang, bukan karena dia telah mendapatkan yang lain. Tapi karena dia sadar, orang yang diperjuangkannya tidak mengharapkannya.

-Raditya Dika-

Aku enggak pernah minta lebih, cuma satu: jangan pergi tanpa alasan disaat aku sedang benar-benar menyayangimu.

-Raditya Dika-

Hal yang paling aku takutkan adalah saat kamu berhenti menghubungiku, menghilang, dan seolah tidak pernah ada di kehidupanku.

-Raditya Dika-

Namanya juga perasaan, kalo udah luka, kadang enggak bisa disembuhin, kalaupun sembuh, pasti akan membekas.

-Raditya Dika-

Aku pernah dalam keadaan menunggu kabarmu dan berharap chat-mu penuh dengan kata sayang dan rindu. Pernah.

-Raditya Dika-

Kalian yg bilang “Yaudah lupain sih” mungkin kalian belum terlalu paham, bahwa mengikhlaskan yang tiba-tiba pergi bukanlah perkara mudah.

-Raditya Dika-

Seolah-olah kata-kata Raditya Dika mewakili hari-harimu yang durja ini. Andaikan saja angin menjadi penyampai pesan, maka mungkin akan kamu kirim seluruh kata-kata tersebut kepada dia yang telah pergi. Tak peduli seberapa lama pesan itu tersampaikan, yang penting sampai, begitu selorohmu pada kerinduan. Tak peduli sebapa kencang angin membawanya, yang jelas inti hatimu terbawa bersamanya, dan mendarat pada tangan dia yang pergi tanpa pesan. Tak peduli, hingga dia peduli pada kamu. Tapi, kenapa harus angin? Karena angin adalah sang perasa. Bukankah Presiden pertama Republik Indonesia juga pernah bilang soal angin, bahwa

Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.

-Ir. Soekarno

Iya, sementara dia pergi, kamu menghabiskan hari bersama angin. Menceritakan keluh kesahmu, deritamu, nestapamu, pada angin. Kamu harap angin mengerti dengan itu, lalu menjawabnya dengan suara serak dan berat, selayaknya orang bijak di televisi zaman sekarang. Hingga kelak kamu kembali melangkahkan kaki, guna mencari peneman kesendirian diri, dan bila telah menemukan dia yang pergi tanpa alasan itu, ataupun orang lain lagi, ingat akan satu hal,

Sebodoh-bodohnya kita kalau lagi suka sama seseorang, paling enggak kita harus pintar di satu hal. Kita harus tau, itu penasaran, atau suka beneran.

-Raditya Dika-

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Universitas Mataram | Penggemar Manchester United | Aktif di Twitter | Penulis Buku: Jomblo Ngoceh

3 Comments

  1. Shinta Iemut berkata:

    Kerenn artikelnya…suka bangett