Tentang Kita dan Semua yang Telah Sirna

Aku suka menangis, melampiaskan kesedihanku bersamaan saat hujan turun

Hari ini, aku merasa sangat suntuk karena hari libur dan tak ada kegiatan. Aku ingin mengajaknya jalan, tapi ternyata ia sibuk dengan pekerjaannya. Aku jadi tak ingin mengganggunya. Dan tiba-tiba terpikir olehku, untuk jalan bersama teman saja daripada di rumah dan kesepian. Sebut saja Julita dan Rama. Aku menelepon mereka dan kami sepakat jalan hari itu juga. Saat kami sedang mengobrol, ponsel Rama berbunyi dan ada pesan masuk dari temannya. Temannya mengajak Rama untuk ikut acara di rumah pacar Andi. Rama pun mengiyakan, tapi saat ia mengatakan pacar Andi, ia terkejut dan langsung menceritakan padaku. 

Advertisement

“Mala, Andi sudah punya pacar, tapi kok dia dekatin kamu?” Saat itu juga, aku penasaran apakah benar Andi sudah punya pacar. Lalu aku mengirim pesan pada Andi. 

“Andi, sekarang jujur ya, sama aku. Apakah kamu sudah punya pacar?”

“Oke, aku akan jujur sama kamu. Aku sudah punya pacar, tapi aku baru jadian dengannya. Kita yang terlambat kenal. Sebenarnya, aku dari dulu suka padamu. Tapi aku bingung, bingung untuk mencari topik agar kita bisa dekat. Terlebih lagi, kamu orangnya sangat cuek kalo sama orang baru.”

Advertisement

“Terima kasih sudah mau jujur sama aku. Lebih baik jujur daripada ditutup-tutupi. Ya sudahlah, sudah ada dia. Aku yang salah, karena ada di tengah-tengah hubungan kalian. Lanjutkan saja hubungan kalian, jangan diakhiri. Udah dijalanin, kok masa mau diakhirin gitu aja. Jangan pikirin soal perasaanku, aku nggak apa-apa, kok.” kataku.

“Mala, aku pun sakit.”

Advertisement

“Semoga langgeng ya, jangan sakitin hati orang yang sudah sayang sama kamu. Mungkin aku yang gak bisa terima semuanya, tapi aku tau posisiku. Makasih atas waktu yang udah diluangkan untukku.”

“Boleh aku minta 1 permintaan? Mala aku rindu sama kamu.” katanya.

“Simpan saja rindumu itu.”

“Aku telepon ya, Mala. Aku kangen sama suaramu.”

“Nggak usahlah, kerjaanmu kan masih banyak. Kerjainlah nanti nggak selesai-selesai.”

“Aku nggak semangat kerja, aku mau dengar suaramu dulu.”

“Mana boleh gitu, semangatlah untuk masa depanmu.”

“Mala, aku telepon ya. Kamu di mana sekarang?”

“Aku lagi di tempat kawanku.”

“Nanti aku datang ya, ke rumahmu.”

“Ya sudah.”

Saat kami ingin pulang ke rumah, ternyata hujan deras sekali dan kita akhirnya basah kuyup. Sampai di rumahku, kita sepakat untuk berenang. Awalnya aku malas berenang. Tapi, karena aku lagi patah hati, aku pun ikutan berenang. Sesampainya di kolam renang, kita agak ragu karena sudah menunjukkan jam 7 malam. Kita mengira sudah tutup, ternyata kolam renangnya belum tutup. Sesampainya di dalam, kita langsung melepas semua penat yang ada. Setelah selesai berenang, kita pun pulang ke rumah. Malamnya Andi datang ke rumah, tapi ia tak berani mengajakku mengobrol berdua.  Aku berusaha senyum di depannya, menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja. Sebenarnya aku kesal sekali, tapi aku tak tega mengusir dia. Dia tidak lama di rumahku, mungkin ia hanya ingin memastikan kalau aku baik-baik saja.

Aku sudah memikirkan semuanya, aku akan tetap berteman baik dengannya, tapi aku juga akan berusaha menjauh dan tak ingin tahu semua tentangnya lagi. Cukup terakhir ini aku merasakan luka ini, aku tak ingin berharap kepada orang yang hanya manis di bibir saja dan perbuatannya tak semanis perkataannya. Untuk menghilangkan semua kesedihan ini, aku berpikir untuk piknik dulu bersama keluarga, kami pun akhirnya pergi ke Perbaungan. Siang hari itu saat aku baru sampai di Perbaungan, Andi menelepon, tapi sama sekali kuabaikan karena aku tak ingin mengganggu hubungannya dengan pacarnya.

Keesokan harinya ia masih saja terus meneleponku.  Aku sedikit kesal karena niatku ingin melupakan dia, tapi sepertinya ia tak ingin kulupakan. Akhir-akhir ini ia pun semakin perhatian kepadaku. Aku tidak tahu apa maksud dari semua perbuatannya. Dan bahkan ia selalu mengingatkanku untuk beribadah dan selalu menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Besoknya di kampus, ia mengirimi ku sebuah pesan, tapi aku tak meresponnya.

Ia begitu kesal dan akhirnya ia datang kerumahku. Aku mengusirnya dan menyuruh ia agar menjauh dariku seterusnya dan kalau bisa aku tidak usah lagi melihat ia di depan mataku.

“Kalau itu mau Mala, aku kasih waktu buat kamu nenangin diri dulu ya, Mala. Aku nggak mau jadi musuhmu. Aku harap baik-baik terus ya, Mala.”

“satu aja permintaanku. Jauhi aku untuk seterusnya, anggap saja kita nggak pernah sedekat ini. Bertingkah sewajarnya saja, dan nggak usah terlalu berlebihan.”

Aku pun langsung menutup pintunya. Andi terus memanggilku, tetapi aku tidak membukakan pintu rumahku. Andi juga meneleponku, tapi aku tidak mengangkatnya.  Dan sampai akhirnya Andi mengirimiku pesan yang isinya : 

“Kok gitu, Mala? Perasaan semalam kamu nggak gini.”

“Mungkin itu lebih baik jalannya. Mungkin kemarin masih bisa aku tahankan, tapi sekarang sudah nggak lagi.”

“Ya sudah. Aku mengerti. Mungkin kamu belum tenang saja sekarang. Oh iya, kalau aku nyimpen foto kita berdua, nggak apa-apa kan, Mala?”

“Untuk apa sih disimpan?”

“Buat kenang-kenangan, Mala, sama fotomu juga aku simpan, ya.”

“Itu kenangan menyakitkan.”

“Aku tahu. Tapi percayalalah, ini gak seperti yang aku inginkan. “

“Apa maksudmu?”

“Ini nggak yang aku inginkan sama sekali, Mala. Menjauhimu membuatku sedih.”

“Kalau nggak mau kayak gini, kenapa dilakukan?”

“Alasannya kan aku sudah bilang. Aku sebenarnya juga sudah suka sama kamu.”

“Terus aku mau gimana? Apa aku harus menuruti kemauanmu?”

“Aku juga nggak tahu. Sekarang, kamu tenangin hati dan perasaanmu dulu. Jujur aku nggak mau kita jauhan, aku mau kita jadi teman baik, bahkan bisa dibilang sahabat.”

“Maaf, aku nggak bisa.”

“Ya sudah, Mala. Iya. Umur bapak berapa, Mala? Aku cuma pengin tahu saja.”

“Nggak perlu tahu.”

“Jaga bapak ya, Mala. Jaga baik-baik.”

“Aku jaga orang tuaku dan Nggak akan aku sia-siakan mereka.”

“Iya, ya sudah. Nggak apa-apa, kok. Oh iya, besok kamu mau dibawain  apa?”

“Tanya pacarmu sana, mau dibawain apa.”

“Aku nanya sama kamu, lho!”

“Sejak kapan jadi peduli begini?”

” Kalau aku nggak peduli sama kamu, bisa saja kan, aku ninggalin kamu setelah pengakuanku waktu itu!”

“Ya sudah, tinggalkanlah, tapi sudah kamu akui semuanya, untuk apa lagi masih ganggu aku?”

“Aku tetap sayang sama kamu dan akan tetap peduli sama kamu. Maaf, karena aku terlalu mengagumimu sampai aku lupa kalau aku sudah menyakitimu. Asal kamu tahu, aku nggak ada sama sekali bersandiwara. Kalau aku mau bersandiwara, bisa aja kan aku macarin kamu, dan mainin perasaan kalian berdua. Aku cuma nggak mau kamu jauh dariku. Apa hina kali aku rupanya bagimu? Aku terima semua kok, sikap kamu yang sekarang. Dan aku selalu rindu kita yang dulu, dan bukan kita yang sekarang.”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Suka menulis, suka travelling, sama suka makan. Kalau suka kamu, emang boleh?

CLOSE