[CERPEN] Terhambat Adat

Kita lanjutkan saja perjuangan ini, masalah jodoh atau tidak kita serahkan pada Sang Pemilik Alam

Usiaku masih 18 tahun saat pertama kali aku mengenalnya. Tepatnya saat pertama memasuki SMK negeri di kota ku. Dan kini telah satu dasawarsa, ku lewati hari-hari bersamanya. Banyak hal dan pengorbanan yang telah kami lewati satu sama lain. Berawal dari sekedar sms bertanya kabar saudara yang jauh di tanah perantauan, komunikasi semakin intens. Tiada malam yang kami lalui tanpa bercerita kegiatan hari itu, via telepon. Hingga terkadang, lewat tengah malam, telepon baru kita akhiri. Ah, indahnya masa itu.

Advertisement

***

“Intinya bapak tidak setuju kalau kamu mau menikah dengannya !” suara bapak yang meninggi membuat nyaliku sedikit menciut.

“Apa kamu lupa dulu dia pernah mencampakkanmu, heh?” Begitulah sanggahan bapak tiap kali kita membahas apa keinginanku saat ini.

Advertisement

“Kalau kamu tetap menikah dengannya, urus saja sendiri, nikah sendiri, bapak tidak mau ikut campur apalagi membantu!”

Tak terasa air mataku mengalir begitu saja mendengar kalimat terakhir yang diucapkan bapak sebelum meninggalkanku sendiri di ruang tamu.  Perih hatiku setelah tahu apa yang ada dipikiran bapak selama ini tentang dia. Seakan tidak ada celah baik untuk melihat setitik kebaikan dan perjuangannya selama ini. Tidakkah bapak tahu, bagaimana perasaanku selama ini. Tidakkah bapak peduli dengan rasa yang terpendam di hati ?

Advertisement

***

Aku tidak mengerti mengapa jalan cintaku serumit ini. Jika memang rasa ini haram untuk diperjuangkan, mengapa Tuhan menghadirkannya melalui cara yang indah? Apakah kiranya Dia hanya mempertemukan namun tidak mempersatukan?  Tapi mengapa? Aku yakin rasa di antara kita tidak akan pernah ada, tanpa suratan indah dariNya, bukan?

Sering aku mendengar banyak mulut-mulut yang ikut menghakimi atas hubungan ini. Dengan mudahnya mengucapkan pendapat yang belum tentu bisa aku terima.

“Yaelah, hari gini cuma berharap pada satu laki-laki, nggak jamannya kali.”

Atau begini

“Yaudah kalau nggak direstuin tinggalin aja, cari yang baru, gampang kan?”

Atau malah begini

“Emang dunia hanya seluas daun kelor? Laki-laki nggak hanya dia kali.”

Menyedihkan, di saat aku membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Namun apa yang aku dapat? Aku belum mengerti, kenapa mereka berkata demikian. Apakah memang benar adanya atau hanya belum pernah merasakan.

***

Siang itu aku pulang bekerja lebih awal. Kondisi badan yang sedang tidak fit, memaksaku untuk pulang lebih cepat dari biasanya. Hingga saat tiba di rumah, ibu ku dengan cepat mengambil koin dan minya kayu putih untuk mengerik tubuhku. Masuk angin, katanya.

“Kamu itu kalau diberitahu orang tua mbok jangan ngeyel. Kamu masih belum tahu apapun tentang kehidupan. Beda dengan bapak ibumu ini, yang sudah banyak makan asam garam. Kowe ki mung uyuhku, nduk!”

Hah, ada apa ini. Sepertinya tadi tidak membahas apapun. Tapi kenapa ibu tiba-tiba memulai pembicaraan dengan seperti ini, batinku.

“Kamu mau tahu kenapa, ibu sama bapak melarangmu menikah dengannya? Secara garis keturunan kamu itu mbak nya dia. Posisimu lebih tinggi dari dia. Jadi secara adat, kalau keadannya begini, kalian dilarang menikah. Sekarang kamu paham kan? Dadung kepunthir namanya!”

Sakit tidak lagi ku rasa, hanya perih mengiris hati yang sangat mnyiksa.

“Sekarang ibu sudah kasih tahu, kalau kamu tetap nekat menikah, maka salah satu diantara kalian akan mati!”

Bagai petir di siang bolong, tidak kusangka perkataan itu akan keluar dari mulut ibu.

***

Ya, mungkin ini memang adalah kesalahan kita berdua. Saling mencintai, meski kita adalah sepupu sendiri. Dia adik sepupuku, tapi aku mencintainya. Apak mereka pikir aku dan dia hanya main-main dengan perasaan ini? Sama sekali tidak. Bagaimana bisa mempermainankan rasa hingga sampai satu dasawarsa? Aku rasa cinta tidak sebercanda itu.

Lalu mengapa ada pertentangan kepada kami ? Akankah adat istiadat mengalahkan telak ajaran agama? Akankah di era modern dengan segala kecanggihan ini masih dapat membelenggu rasa cinta antar manusia karena terhalang adat? Lantas akan sampai kapankah belenggu itu akan lepas? Sampai kapankah manusia dengan penuh cinta akan menunggu hingga belenggu tak dapat lagi mengganggu?

Pikiranku makin tidak menentu sejak hari itu. Entah apa yang akan aku lakukan setelah ini. Aku tak tahu pasti, haruskah mengakhiri jalinan cinta yang telah bersemi, atau harus tetap memperjuangkan demi kebahagian di masa depan. Jika mencintai sepupu sendiri adalah sebuah kesalahan, lalu mengapa Tuhan menciptakan rasa yang begitu indah yang telah lama tertanam? Semenjak saat itu, aku mulai sibuk mencari tahu, tentang kebenaran perkataan ibu. Aku mulai membiasakan mendengarkan penjelasan dari para pemuka agama lewat youtube. Dan hasilnya, apa yang diucapakan oleh ibu, tidak ada benarnya.

***

Jika ku tahu jalan cintaku akan serumit ini, harusnya dulu kupangkas sebelum lebat berbunga. Kita, sepasang anak manusia yang telah jatuh cinta, memiliki rencana indah untuk masa depan kami berdua. Perjalanan yang telah kita lewati, akankah sirna begitu saja?

Saat ini, kami berdua telah sepakat, membulatkan tekad, meneguhkan hati, dan menyamakan pemikiran bahwa cinta yang kami miliki, layak diperjuangkan seperti cinta milik yang lain. Bukankah Adam dan Hawa dipersatukan kembali setelah melakukan kesalahan besar? Apakah tidak ada kesempatan bagi kami, yang hanya ingin direstui?

Sembari berjalan menuju tujuan, kita selalu erat bergandengan tangan, menguatkan satu sama lain bahwa semua ini pasti akan berlalu. Tidak akan pernah airmata dan perjuangan yang berakhir sia-sia. Selama ini, kita telah menengadahkan tangan setelah lima waktu, saat sepertiga malam pun kita tak lelah berdoa dan memuji ke Gusti, semoga orangtua diberi kelembutan hati. Semua ini hanya agar cerita dan perjalan cinta kita tidak hanya mengendap dalam angan.

***

Terkadang aku iri, pada mereka yang dengan mudahnya mendapat restu. Apakah jalan mereka telah ditakdirkan mudah, atau malah pemikiranku yang keliru ?

Untukmu, laki-laki sabar nan manis pujaan hatiku, semoga engkau selalu sabar menunggu. Mari kita meminta, agar sang pemilik takdir berbaik hati melembutkan hati dan memberikan restu yang selama ini kita tunggu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

seorang perempuan biasa yang ingin selalu belajar

CLOSE