Tersimpan di Balik Senja, Semua Rasa Ini

Aku membuka mataku, menyambut pagi yang telah datang. Dengan semangat yang baru aku bertekad menjalani hari ini, tubuhku pun sudah mulai membaik dari kelelahan mengejar target kantor semimnggu kemarin. Tak seperti biasanya di pagi hari aku membuka aku Facebook ku, namun hari ini entah mengapa dengan riangnya aku membuka akun itu.

Melihat-lihat pemberitahuan dan membaca beberapa posting-an teman-teman. namun tiba-tiba mataku tak sengaja melihat gambar profilnya yang melintas dengan cepat, aku buru-buru menekan tombol kursor naik untuk kembali melihat, apakah posting-annya. Namun betapa terkejutnya aku, saat yang di-posting-nya adalah perayaan hari jadinya bersama dia yang tak kukenal.

Aku mencoba mengamati dengan baik, ternyata itu posting-an sebulan yang lalu, posting-an itu muncul karena ada komentar yang baru. Aku tertunduk dalam diam, "Tuhan,apakah maksud semua ini?" tanyaku dalam diam. Aku mencoba tersenyum, karena aku tahu aku wanita yang kuat. Namun tak ku sangka, butiran kristal itu keluar dari kelopak mataku tanpa kusadari.

"Apa yang aku tangisi?" Batinku bertanya pada hatiku sendiri? Perpisahankah? Kehilangankah? atau apa? "Tak ada perlu kau tangisi, kau tak kehilangan dia, toh dia tak pernah menjadi milikmu. Hubungan kalian hanyalah sebatas hubungan persahabatan yang terjalin, bukan sebuah hubungan yang didasari perasaan yang lebih."

Harusnya aku menyadari hal ini sejak dulu, sejak dia meninggalkan kota ini sekaligus meninggalkanku tanpa ada kata perpisahan yang memberi harapan, dia hanya pergi begitu saja, bahkan jejak langkah kakinya pun tak lagi berbekas.

Aku masih tepaku di tempat dudukku, mencoba menguatkan hatiku sendiri, mencoba menahan butiran bening yang terus mengalir tanpa bisa kuhentikan. aku menangis dalam diam, tanpa mengetahui dengan pasti apa sebabnya. Setengah jam berlalu, dan aku masih tertunduk mencoba melepaskan semua rasa yang menumpuk dihatiku, namun aku tak tahu bagaimana caranya, hanyalah sesak yang tertahan di dada.

"Kamu bukan wanita cengeng, kamu wanita yang kuat." Kata hatiku yang seolah memberi semangat bagiku.

Dengan langkah yang tergontai kecil, aku melangkah meraih handukku dan menuju kamar mandi. mengguyur sekujur tubuh ku dengan air, dengan harapan aku bisa sejenak melupakan apa yang terjadi pagi ini. semangat yang mengebu saat aku menyambut mentari pagi, terasa hilang dengan sekejap dalam sebuah posting-an Facebook.

Banyak hal yang harus kukerjakan hari ini.

Sesampai di kantor, alam seolah membantu kubangkit. Aku langsung diminta menghadiri meeting mendadak yang tak direncanakan sebelumnya. Seperti biasa aku selalu menenggelamkan dirinya dalam kesibukanku. Sama seperti hari-hari kemarin ketika aku berusaha keras menghapus rasa dihatiku untuknya.

Setiap kali mengingatnya yang pergi tanpa meninggalkan harapan, namun aku tetap menanti dalam sebuah harapan yang kuciptakan sendiri. Selesai meeting pertama, dilanjutkan meeting kedua dan setelahanya meninjau lokasi proyek, hari yang begitu "menyenangkan", membuatku berhasil menumpuknya di sudut hati yang tergelap.

Namun, senja selalu datang di setiap harinya, yang pertanda jam kantorku akan segera berakhir dan aku harus kembali ke rumah, menatap langit-langit yang seolah menuduhku sendiri yang tak pernah mampu mengungkapkan perasaanku padanya sejak dulu.

Enggan kembali ke rumah, aku mengarahkan motorku menuju pantai. Aku ingin ke bukit, memandangi tenggelamnya mentari dari ketinggian bukit itu, namun di sana ada banyak kenangan bersamanya, yang begitu mencintai bukit, gunung, hutan dan semua yang ada di dalamnya, namun begitu membenci pantai, karena tak pernah bisa berenang.

"Mungkin dengan menuju tempat yang dibencinya, aku bisa benar-benar melupakannya."

Aku terduduk seorang diri di sudut pantai yang tenang, memandang pantai dengan gulungan ombak yang indah. "Kemanakan arus air laut itu berpusar?". Aku tak tahu, sama seperti aku yang tak tahu juga kemana hati ini akan pergi. Memori kebersamaanku dengannya seperti diputar kembali, saat-saat di mana kami mendaki bersama, saat di mana aku tertawa lepas dengan candaannya, aku loncat-loncat hanya karena dikasih bunga liar yang dipetiknya dipinggir jalan, dan semua yang pernah terjadi.

Tak ada ikatan cinta dalam hubungan kami, namun aku terlanjur menyayanginya dengan kadar yang berbeda dari seorang sahabat, namun rasa itu tak pernah terungkapkan hingga kepergiannya. Aku selalu berharap, waktu membawanya kembali untukku, meski rasa dihatiku tak pernah terungkap, setidaknya kehadirannya mampu membuatku tersenyum.

Aku memandang mentari yang hampir kembali ke peraduannya, tak sadar butiran kristal itu kembali keluar. Aku membiarkannya, membiarkan aliran air mata ini, mengalir bersama senja yang datang, dengan begitu aku bisa menyimpan semua rasa ini di balik senja itu. menyimpan luka karena kepergianmu di balik mentari yang terbenam, dengan harapan ketika pagi menjemputku besok, tak ada lagi kamu di hatiku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Menyukai hutan, menyukai petualangan, dan sementara belajar menjadi penulis yang baik