[CERPEN] Tuan Barista dan Nona Penulis

Terkadang kita merasa dia berharga, saat orang itu jauh...

Criiing….

Advertisement

Suara lonceng bergerincing kala pintu kaca dengan bingkai kayu hitam itu membuka dan menutup otomatis.

"Selamat datang di Bear x Bull Coffee yang akan menghangat dan sejukkan harimu! Mau pesan apa, Nona?" Seorang laki-laki dengan senyum merekah menyambut kedatangan perempuan cantik berbalut cardigan biru yang hampir setiap Sabtu mampir ke kedai kopi miliknya.

Sebenarnya ia sudah hafal dengan pesanan si perempuan, hanya saja ia ingin berbasa-basi dari balik meja bartendernya.

Advertisement

"Seperti biasa." Si perempuan tersenyum.

"Baiklah, satu chocolate with hazelnut syrup—" Si laki-laki menengok sebentar ke balik kaca yang ada di sampingnya dan terik matahari sukses menyilaukan matanya, "—Less ice."

Advertisement

Ia sudah terlalu ingat di luar kepala bagaimana kebiasaan si perempuan.

Jika hari sedang hujan atau dingin menggigit, perempuan itu akan memesan hot chocolate.

Dan tentunya dengan hari yang terik seperti siang ini, ia akan memesan ice chocolate. Ah tidak, tapi less ice. Cukup empat buah ice cube.

Si laki-laki tersenyum, merasa bangga pada dirinya sendiri.

Si perempuan mengeluarkan selembar uang dan menyerahkannya pada laki-laki itu, lalu beranjak mencari tempat untuk duduk.

Ia tidak benar-benar mencari karena hanya ada satu tempat yang menjadi favoritnya, sudut kedai dengan sedikit pencahayaan namun sempurna karena bersisian dengan jendela bertirai tipis dengan sebuah pot bunga kecil di pinggir jendela.

Jika hujan sedang membasahi bumi, ia bisa melihat titik air yang mengenai jendela dan membentuk liuk-liuk sungai kecil. Dan jika mentari sedang cerah-cerahnya, ia bisa melihat segala macam orang yang berlalu-lalang di luar kedai.

Menyenangkan.

Ia mengeluarkan senjata pamungkas setelah berpuas diri menikmati pemandangan yang tersaji di luar kedai, notebook kesayangannya.

"Silahkan dinikmati, Nona Penulis," Si laki-laki datang dengan membawa segelas cokelat dingin dan menaruhnya di samping notebook yang sudah menyala. Ia mengedipkan matanya nakal saat perempuan itu menatapnya.

"Aish, kau genit! Kembalilah bekerja, Erland. Tapi, terima kasih," Perempuan itu mengangkat sekeping biskuit susu yang tersampir di piring kecil, bonus yang selalu diberikan laki-laki itu.

Ya, nama laki-laki tinggi bertelinga lebar dengan senyum yang tidak berhenti terulas itu adalah Erland, Erland Utama Perwira.

Bukannya langsung kembali bekerja, Erland memilih merendahkan tubuhnya dan berbisik tepat di telinga si perempuan, "Aku hanya genit padamu, Karina." Lalu ia berlalu dengan cepat sebelum perempuan itu memukulnya.

Karina Octavia, seorang penulis muda berbakat ibu kota. Tapi, tak banyak yang mengenalinya secara langsung karena ia memakai nama pena, terlebih lagi seluruh tawaran launching atau bedah buku selalu ia tolak. Ia bukan orang yang percaya diri untuk tampil di muka umum. Ia lebih senang berada di balik layar dengan gelimang kata-kata.

Jangan tanya bagaimana seorang Erland Utama bisa mengetahui bahkan mengenal Karina sebagai penulis. Keberuntungan sedang berpihak padanya saat tumpukan buku referensi yang dibawa perempuan itu jatuh dan membuat jurnal pribadi miliknya terbuka.

Karina menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar dengan menarikan jemarinya di atas keyboard dengan santai. Sesekali ia akan melihat ke arah luar jendela sekedar untuk memilah kata yang tepat seolah orang-orang yang lalu-lalang itu kamus berjalan. Dan tak jarang, Karina akan memejamkan mata untuk membayangkan adegan yang perlu ia tulis dan sialnya beberapa kali ia jatuh tertidur karenanya.

Erland yang mempunyai kebiasaan memperhatikan orang, terlebih lagi perempuan secantik Karina, akan langsung beringsut dari tempatnya. Ia akan pergi ke ruang ganti untuk mengambil jaket dan menyampirkannya pada Karina yang tengah terlelap.

"Mau sampai kapan kau tidur di sini?" Erland sudah duduk di kursi seberang Karina setelah setengah jam berlalu.

Perempuan itu membuka matanya dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa, "Aku sudah mematikan notebook-mu dan membereskannya."

Karina mengangguk, "Terima kasih untuk jaketnya. Bye." Ia mengembalikan jaket Erland dan membawa peralatan perangnya sebelum pergi dari kedai kopi.

Laki-laki itu tersenyum setiap kali melepas kepergian Karina. Ia selalu berharap, hari Sabtu akan datang lebih cepat. Ia tidak akan bosan dengan rutinitas seperti itu.

☕☕☕

Sesampainya di rumah, Karina akan membuka notebook-nya dan kembali menulis. Ia baru saja membuka file terakhir yang ia simpan dan sedikit terkejut dengan barisan tulisan yang tidak ia kenal berada di bawah kalimat terakhir yang ia tulis di kedai.

Halo Cantik,

Maaf, tadi aku sempat membaca tulisanmu, hehe. Rasa penasaranku sudah tidak bisa ditahan dengan apa yang kau tulis setelah buku terakhirmu diterbitkan.

Sekarang, aku sudah tidak penasaran lagi. Tapi, bolehkah aku memberimu saran?

Tolong, tokoh barista laki-laki bernama Lingga dibuat sedikit lebih ramah. Bukankah ia sering tersenyum pada si perempuan bernama Fatiya itu? Ah, apalagi ia sering menutupi wajahnya dengan selembar tissue jika ia tertidur di kedai kopi, bukan? Dan aku yakin, Lingga sudah hafal tanpa kau menyebutkan pesanan Fatiya tiap kali datang.

Dan, satu saran terakhir.

Bisakah kau buat Fatiya membuka hatinya untuk Lingga? Karena kulihat sepertinya Lingga menyukai Fatiya sejak pertemuan pertama mereka. Bagaimana? ^^

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

I Am Not Special, I just Limited Edition

CLOSE