Ulang Tahun Setiap Waktu

Namanya saja ulang tahun maka kita rayakan setahun sekali sebagai peringatan tanggal kelahiran. Tak jarang terisi dengan menerima ucapan selamat ulang tahun, baik secara langsung maupun melalui perangkat telekomunikasi yang semakin canggih sekarang ini. Juga kita gunakan kesempatan ini untuk mentraktir keluarga dan teman. Termasuk kesempatan untuk menjalin komunikasi lagi dengan mantan. Itu pun kalau mantan memberi ucapan selamat ulang tahun.

Semampu saya memberi ucapan selamat kepada siapapun yang berulangtahun, walaupun dengan cara dan ucapan yang sederhana. Paling tidak saya seolah memberitahu bahwa saya mengingatnya. Ucapan selamat ulang tahun seringkali disertai dengan doa baik yang dipanjatkan. Baik untuk yang menerima maupun yang memberi. Facebook cukup membantu saya menjadi ingat ulang tahun keluarga dan teman-teman.

Handphone yang sedari tadi tergeletak di meja saya ambil. Hari masih pagi. Saya melihat recents call, memilih dan menelpon satu nama yang tersimpan di phone book.

“Halo?”

Suara yang selalu berhasil menenangkan saya.

Dan seperti biasa saya jarang membalas kata halonya.

“Ma, selamat ulang tahun ya.”

“Makasih ya anakku”

Ibu saya ulang tahun. Karena kemarin malam ibu sudah bilang kalau mau tidur duluan dan ngasih ucapan selamat ulang tahunnya besok pagi aja. Supaya tengah malam ibu tidak dibangunkan.

“Semoga mama bahagia, sehat dan panjang umur.”

“Amien”, sahut ibu saya.

Tiba-tiba mulut saya kaku, kehabisan kosa kata untuk mengisi setelah kata ‘semoga’. Mungkin karena akibat latihan saya selama ini untuk mengurangi berharap dan lebih menambah bersyukur. Mulut saya seolah lebih terbiasa melafalkan kata ‘selamat’.

“Lagi ngapain, ma?”, tanya saya penasaran.

“Abis jalan kaki sebentar, ini lagi nyongket. Kaki sudah seperti ini jadi kegiatannya ya gini-gini aja. Hehehe.”

“Ulang tahun pingin apa, ma?”

“Pingin apa, ya?

Cuma pingin anak-anak mama selalu rukun aja”, terdengar ibu saya menghela napas.

“Mama sehat ‘kan?”

“Sehat, tapi ya sehatnya orang tua seperti ini. Hehehe. Kamu sehat ‘kan?”

“Sehat, mam.”

“Dijaga kesehatanmu lho. Jangan capek-capek. Pagi ini udah jalan kaki? Udah meditasi?”

“Belum, mam. Abis ini mau jalan kaki pas udah ada panas sinar matahari, terus meditasi.”

“Lutut gimana, ma?”

“Ya kadang masih sakit kalau salah posisi duduk atau salah posisi gerak. Tapi udah ga sesakit dulu. Cuma rasa sakitnya masih pindah-pindah.”

“Ya pelan-pelan ya, ma”

“Iya, kalau dari duduk terus berdiri harus pelan-pelan. Kalau jalan juga harus perlahan.

Tapi mama ‘kan memang udah begini, mau gimana lagi, jadi ya semuanya harus dinikmati, disyukuri. Udah dianugerahi umur sampai segini pun disyukuri. Semakin mendekati. Jadi setiap saat bersyukur karena masih diberi waktu.”

“…”, mulut saya terkunci dan nggak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

Meskipun hanya melalui telepon, saya yakin ibu mengatakan itu tadi sambil tersenyum. Terasa dari notasinya. Saya mendapatkan pelajaran yang sangat bermakna dari ibu saya sendiri yang kadang merasa tidak sepintar anak-anaknya. Dan pembelajaran dengan cara sederhana ini terjadi cukup sering, tapi sungguh bekal hidup yang tak biasa. Saya tahu ibu belajar ini bukan saat menuntut ilmu di bangku sekolah atau pun dari baca buku. (Hobi saya membaca buku diduga kuat dari ibu saya). Pelajaran bermakna ini ibu dapatkan sendiri di tengah laku hidupnya selama ini.

Memang bertambah usia, semakin tua, akan lebih berkesempatan untuk meninggal dunia. Tapi usia tua tidak bergaransi akan lebih dulu mendahului “pulang”. Kematian adalah pasti, tapi kedatangannya tidak pasti. Setiap waktu, setiap tarikan dan hembusan napas, berapapun usia kita, bisa jadi adalah gerbang kehidupan selanjutnya.

Tak hanya ulang tahun, ulang napas pun perlu kita rayakan dengan rasa penuh syukur dan bahagia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Murid meditasi, mindfulness, zen | Hobi menulis | Bereksperimen: Human, Mind, Habit | Pelayan di SukhaCitta