Hal Terberat dalam LDR Bukanlah Jarak, tapi Pilihan untuk Bertahan atau Meninggalkan

Yang terberat dalam LDR

Terkadang saya bertanya-tanya, sebenarnya, apa arti sebuah hubungan yang selama ini saya jalani?

Advertisement

Apa hanya sebagai status? Sebuah predikat yang mengandung unsur perasaan yang minim dan unsur ego yang tinggi. Status yang mungkin hanya sebuah kebanggaan tersendiri atau sebuah tempat yang aman dari serangan pertanyaan tentang jodoh yang tak henti-hentinya. Atau hanya pengisi rasa bosan? Sebuah kegiatan yang tak pernah dirindukan saat sedang tenggelam dalam kesibukan utama yang hanya akan dirindukan saat merasa senggang.

Mau memiliki anggapan hubungan yang bagaimana memang adalah hak saya yang sedang menjalaninya. Tapi, saat hubungan itu kandas, baru saya menyadari bahwa ini bukan soal hak melainkan sebuah tanggung jawab moral.

Saya menjalani tiga kali LDR. LDR yang pertama adalah hubungan bocah ingusan yang baru mengenal pacaran. Seperti katak yang baru keluar dari dalam tempurung. Si katak mengira ini kehidupan baru yang menegangkan. Semua perasaan tumpah ruah di sana. 

Advertisement

Jarak tak menjadi masalah, karena saya yakin ia adalah pangeran berkuda putih dalam dongeng dan saya satu-satunya putri yang menerima cinta sang pangeran. Mata saya terjaga ketat dari pernyataan cinta pria lain. Keyakinan ini membuat saya terbuai dalam harapan dan mimpi. 

Namun saat hubungan ini berakhir, saya tersadar kalau saya terlalu naif. Mungkin karena ini LDR sekaligus pacaran saya yang pertama. Bagi orang lain, jadian dan putus adalah hal yang lumrah. Hanya saya saja yang terlalu serius menanggapinya. Di sini saya belajar, untuk berhati-hati dalam menginvestasikan perasaan saya. 

Advertisement

Kata “investasi” mungkin terdengar tak tulus, tapi saya hanya ingin memasukkan sedikit unsur logika dari perasaan-perasaan saya. Kita boleh bermimpi tapi kita pun harus sadar bahwa HIDUP adalah sebuah kenyataan yang mau tak mau harus kita terima dan hadapi.

Selama bertahun-tahun saya menolak menjalin hubungan yang baru. Hingga akhirnya muncul seseorang yang dengan sabar menunggu saya membuka hati. Pintu itu terbuka juga, apa yang ia lakukan pada masa pendekatan dan pacaran tak jauh berbeda. Dunia saya adalah dunianya. Ketertarikannya tentang saya membuat saya merasa benar-benar dicintai. Saya ibarat sebuah buku diary yang memuat semua rutinitasnya. 

Kami memang berbeda kota, tapi saya seakan mengikuti setiap rutinitasnya tanpa ada satupun yang terlewat. Memang terkadang ada perasaan sedih saat melihat teman-teman lain bisa bersama-sama dengan pasangannya, sedangkan saya hanya bisa mendengar suara dan membaca chat darinya. Anehnya tak ada kekhawatiran apa pun, saya percaya penuh padanya. Dan demikian pula sebaliknya. Tak ada yang mengira hubungan kami bakal kandas. 

Namun perbedaan prinsip memisahkan kami. Perasaan yang begitu dalam tak bisa menyatukan tembok kokoh di antara kami. Kami memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun menjalin hubungan. Bertahun-tahun bukan waktu yang singkat. Lewat begitu saja tanpa adanya rencana masa depan.

Saya tahu, manusia sejati harus bisa memegang teguh prinsipnya, bukan yang merelakan prinsipnya dan terombang-ambing untuk mendapat pengakuan baik dari pasangannya. Hal terberat yang harus dihadapi adalah, kita harus memilih salah satu dan mau tak mau kita harus merelakan yang lainnya. Mempertahankan prinsip atau kehilangan orang yang dicintai. Setiap kehilangan itu ada luka yang mendalam dan mungkin akan diiringi oleh penyesalan.

LDR ketiga merupakan LDR yang paling melelahkan dan banyak drama. Saya benci percakapan monoton seperti mesin penjawab otomatis.


Selamat pagi, selamat beraktifitas ya

Lagi apa, sibuk gak?


Percakapan yang terkesan penuh perhatian namun bagi saya hanya sekedar formalitas. Kesibukan membuat hubungan ini hambar. Saya yang tak biasa menjalani hubungan yang seperti ini, menjadi pasangan yang menyebalkan dengan menuntut ini itu. Semua saya lakukan untuk memperbaiki hubungan ini. Saya terpuruk dalam keputusasaan karena tidak ada titik terang. Dengan berani, saya mengakhirinya. 

Sebagian orang mungkin berpikir saya adalah pasangan yang kurang pengertian. Alasan saya berpacaran adalah menemukan pasangan hidup saya nantinya. Pasangan yang saya yakin bisa bersama dengannya seumur hidup saya. Mempertahankan hubungan yang tak cocok hanya akan membawa kesengsaraan bagi yang menjalankannya.

Jika saya mempertahankan hubungan karena takut nantinya tak punya pasangan setelah putus, berarti saya benar-benar egois. Saya menggantung perasaan orang lain untuk hati yang tidak pasti. Dan mungkin akan saya buang saat saya menemukan seseorang yang lebih baik. Jika merasa yakin ia orangnya, maka pertahankanlah. Jika tidak, lepaskanlah, biar masing-masing menemukan jodohnya.

Saya tak masalah dengan jarak. Jarak memang mempengaruhi keharmonisan sebuah hubungan. Tapi dengan adanya komunikasi, keterbukaan serta komitmen dari masing-masing pasangan bisa membuat jarak di antara kita terasa sangat dekat. Menurut saya, LDR yang sebenarnya adalah saat jarak kita dekat, tapi kita terasa jauh.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

maybe full of "Yin"

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE