Anak Membaca Buku Fiksi Dianggap Buang-Buang Waktu

Orang tua lebih menyukai jika sang anak membaca nonfiksi dibanding fiksi

Banyak orang tua khawatir apabila anaknya lebih suka membaca buku fiksi dibanding buku nonfiksi. Buku fiksi berupa novel, cerpen, puisi dan juga cerita rakyat, dongeng, fabel dianggap remeh temeh dan lebih baik bila anak membaca buku bahasa Inggris, buku cerdas matematika dan lainnya. Sesungguhnya pemahaman seperti inilah pemahaman keliru.

Advertisement

Anak usia sekolah dasar sekitar usia 6-10 tahun sesungguhnya sangatlah baik apabila orang tua menyuguhkan kepada mereka buku-buku fiksi selain buku nonfiksi, janganlah mengenyampingkan buku fiksi. Sebab dalam buku fiksi ada banyak sekali pesan yang dapat dipetik di dalamnya.

Bisa kita intip dari unsur fiksi itu sendiri yaitu adanya unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik ini salah satunya adalah tema, tokoh, setting sedangkan unsur ekstrinsik adalah pesan dan moral yang ada dalam sebuah karya fiksi. Banyak tokoh sastra mengatakan bahwa, "membaca karya fiksi berupa sastra dapat melembutkan hati seseorang, seorang yang suka membaca sastra tidaklah tumbuh menjadi seorang bajingan sebab di dalam satra terdapat pesan moral yang dapat dipetik."

Fiksi Membuat Anak Mengoptimalkan Fungsi Otak Kanan

Advertisement

Siapa sangka, dengan membaca fiksi otak anak dapat terangsang dengan stimulus berupa kata-kata, kalimat, paragraf yang kemudian dicerna oleh otak anak dan dikembangkan menjadi sebuah imajinasi sesuai interprestasi anak dari apa yang dibacanya. Berbeda halnya, dengan anak usia 7-10 tahun yang dibekali handphone oleh orang tuanya dibanding dibekali buku fiksi. Anak masih berkembang kemampuan motoriknya dengan merangsang otak mereka berpikir dan mengembangkan imajinasinya, dunia anak adalah dunia imajinasi.

Hal itu jelas tidak akan terwujud jika, orang tua justru memberikan handphone pada anak-anak, sebab dalam handphone terdapat audiovisual yang membuat otak tidak bekerja maksimal selayaknya membaca, orang akan menginterprestasikan melalui visual yang dibangkitkan dari otak sedangkan handphone yang sudah memiliki audiovisual membuat otak tidak bekerja sebagai mana buku fiksi bekerja. Celakanya banyak orang tua membelikan anak mereka handphone daripada buku fiksi.

Advertisement

Buku fiksi VS Buku Nonfiksi

Buku nonfiksi lebih disukai orang tua untuk diberikan pada anak ketimbang buku fiksi, akibatnya anak tidak berkembang dengan baik fungsi otak kanannya, yaitu imajinasi yang diperoleh melalui bacaan. Pasti akan ada bedanya antara anak yang gemar membaca fiksi dengan anak yang hanya membaca buku nonfiksi.

Anak yang gemar membaca buku fiksi secara emosional dan psikologi akan lebih baik, serta kosa kata yang didapat pun lebih banyak dibanding anak yang hanya membaca buku nonfiksi saja. Sekali lagi perlu ditekankan, bahwa dunia anak adalah dunia imajinasi, ini dapat diwujudkan dengan menyediakan alat bermain untuk mereka dan juga bacaan fiksi.

Bukan berarti membaca buku fiksi maka seorang anak tidak belajar dan buang-buang waktu. Ini presepsi yang salah. Justru dengan membaca fiksi, anak pun juga belajar banyak hal yang tidak diketahui sebelumnya.

Seperti Bapak Psikologi Dunia, Sigmund Freud membuat teori dalam bukunya yang berjudul Psikologi Sastra, kepribadian manusia ada 3. yaitu id, ego dan superego yang masing-masing ini ditentukan oleh pola asuh anak sedari kecil yang dapat terbawa hingga anak dewasa dan bagaimana dia berkepribadian di masa depan.

Bila anak disuguhi buku-buku fiksi dia akan mengerti apa itu persahabatan, keajaiban, kegigihan hidup, kesabaran yang dia baca dan peroleh dari karya fiksi. Terkadang, kita belajar kehidupan dari cerminan kehidupan itu sendiri, yaitu sastra atau fiksi.

Sebab tidak lain, fiksi merupakan cerminan kehidupan yang ada dan merupakan representasi kehidupan nyata yang sesungguhnya dimasukkan ke dalam sebuah tulisan berbalut retorika. Jadi, tidak heran fiksi dapat menjadikan seseorang belajar nilai-nilai kehidupan dan menjadi lebih bijaksana dan matang secara emosional juga psikologis.

Anggapan Membaca Fiksi Membuang Waktu dengan Rendahnya Minat Baca di Indonesia

Apakah ada hubungannya antara anggapan orang tua bahwa membaca buku fiksi adalah buang-buang waktu dengan rendahnya minat baca di Indonesia? JIka, dari kecil anak dibiasakan membaca buku nonfiksi saja otomatis mereka akan jenuh dan tidak tertarik untuk menjadikan membaca sebagai sebuah kebiasaan.

Mereka akan membaca jika ulangan harian saja atau belajar di sekolah. Ini adalah sebuah masalah serius yang kita hadapi bersama. Pasalnya seperti yang dilasir dalam UNESCO mencatat bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat minat membaca terendah, dari 61 Negara, Indonesia menempati peringkat 60.

Bayangkan, betapa minat membaca sangat kecil, bisa jadi dipengaruhi faktor orang tua yang tidak memperbolehkan anaknya membaca buku fiksi sehingga anak menjadi jenuh akhirnya meninggalkan minat baca.

Jadi, jangan kungkung anak dengan hanya menyajikan kepada mereka buku nonfiksi saja, namun berilah mereka kebebasan dan fasilitasi mereka untuk membaca buku fiksi juga karena di dalam buku fiksi ada banyak sekali manfaat yang didapat bagi perkembangan anak-anak.

Buku fiksi sama sekali tidak membuang waktu, namun justru mempersiapkan waktu anak untuk menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan. Jangan lupa, pilihlah buku fiksi yang sesuai dengan anak, jangan sampai ada unsur kekerasan, unsur dewasa, unsur sara, maupun unsur yang menyimpang lainnya.

Salam literasi.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Dosen muda yang suka menulis

CLOSE