Apakah Nasionalisme Dianggap Luntur Lantaran Tak Pernah Upacara Bendera?

Betabe’k Ka’k Jubata, Betabe’k Ka’k Mensia, Betabe’k Ka’k Buah Nalang’k.

Advertisement

Sebuah ungkapan rasa syukur bagi kami Suku Dayak Mali. Betabe’k Ka’k Jubata yang artinya menghormati Tuhan yang maha kuasa yang merupakan sang pencipta segala makhluk di muka bumi ini.

Betabe’k Ka’k Mensia yang berarti bahwa sesama manusia, kami saling menghormati dan menghargai siapa pun, dimana pun dan berasal dari suku bangsa mana pun.

Betabe’k Ka’k Buah Nalang’k yang artinya adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kami senantiasa menghormati alam ciptaanNya pula, berarti bahwa menghargai dan menjaga alam dengan sebaik mungkin.

Advertisement

Hal yang sama dengan saat menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang berarti kita mensyukuri kemerdekaan yang telah bangsa ini raih semenjak menjelang 70 tahun silam. Sebuah perjuangan yang sangat panjang, sehingga kita patut bersyukur atasnya. Sebagai bukti bahwa nasionalisme terhadap bangsa ini tak diragukan lagi. Tentu bukan hanya itu saja yang menjadi ukuran untuk menakar nasionalisme, entah lah bagaimana pun caranya. Mengalir dari lagu Indonesia Raya, sudah membuktikan bahwa ke Indonesiaan sudah nampak kental.

Kembali ke Tahun 1998—Suatu Ketika Aku Masih Duduk di Bangku Sekolah Dasar

Advertisement

Sebuah bangunan yang tentunya berdiri di atas tanah itu, aku berlari-lari mengejar teman-temanku. Begitulah aktivitas kami sehari-hari, bermain di sebuah gedung yang samping kiri dan kanannya adalah hutan. Gedung yang berlantai papan (kayu), berdinding papan (kayu) dan beratap kisap (kayu).

Sekolah Dasar Negeri No. 21 Munguk Tawak, begitu namanya tertera pada dinding yang terbuat dari kayu pula. Disanalah aku pertama kali menimba ilmu, mengenal dan merasakan bagaimana ‘rasanya’ sekolah. Sebuah sekolah yang terletak di kampung Bangang, yang jauh dari ibukota kecamatan, apalagi ibukota kabupaten, sangat jauh. boleh dikatakan terletak di daerah terpencil di pedalaman Kalimantan Barat.

Mengarungi hutan belantara, lantaran belum ada jalan raya untuk menuju ke sekolah, tidak sedikit pun menyurutkan niat aku dan sekitar tiga puluhan murid lainnya untuk menimba ilmu. Jalan Badok, begitu kami menyebutkan jalan raya yang kiri kanannya adalah pohon-pohon kayu besar dan sawah penduduk. Berpanas-panasan melewati petak demi petak hamparan sawah. Begitulah cara kami menikmati ‘rasanya’ sekolah.

Tiada seorang pun diantara kami yang bersepatu sebagai alas kaki, ada yang bersandal jepit ada pula yang nyeker—kami menyebutnya kaki ayam. Bukan niat yang tak ingin mengenakan sepatu, namun hendak membeli sepatu saja orang tua tidak mempunyai uang. Bukan hanya sepatu, tas pun demikian.

Beberapa dari kami (termasuk aku) menggunakan kantong plastik hitam, bertalikan tali rapia, untuk dijadikan sebagai tas sekolah. Meski ada beberapa yang sudah menggunakan tas pada umumnya, entah itu dibelikan om atau bibinya yang bekerja di kota, atau tas bekas anak majikan om atau bibinya (bagi mereka yang memiliki bibi atau om bekerja di kota).

Kami berangkat ke sekolah menjelang jam dua belas siang, lantaran jam satu siang kami masuk kelas. Pagi harinya kami membantu orang tua kami motong’k (noreh pohon karet), atau sewaktu-waktu kami juga membantu orang tua kami ke sawah. Pendapatan yang diperoleh hanya secukupnya, untuk makan sehari-hari dan tentunya untuk membayar uang sekolah yang perbulannya kami membayar Rp 1500. Harga yang cukup mahal di zaman dahulu, dimana sekarang biaya sekolah sudah di gratiskan.

Selama enam tahun duduk di bangku Sekolah Dasar, tidak pernah barang sekali pun aku merasakan upacara bendera di sekolahku. Mungkin dengan alasan karena sekolah siang, atau tidakkah ada upacara penurunan bendera merah putih? Ah, hanya simbolis saja mungkin. Dinaikkan dan diturunkan begitu saja, tanpa ada ritual atau upacara khusus. Tidak heran jika aku agak sedikit gugup dan tidak hafal lirik lagu Indonesia Raya.

Aku meyakini, tidak hanya sekolahku saja yang tidak pernah melakukan ritual upacara bendera, namun sekolah yang terletak di kampung sebelah, kampung Manang namanya, bahkan hari masuk sekolah hanya tiga kali dalam seminggu lantaran tidak ada guru yang mengajar. Semua guru yang mengajar disana (termasuk di sekolahku) berasal dari ibukota kecamatan. Jauhnya jarak antara kampung dengan kota, membuat guru tidak betah bolak balik, belum lagi medan jalan yang sangat tidak bagus.

Jika setiap tanggal 17 Agustus, hari memperingati kemerdekaan Indonesia, beberapa sekolah dasar yang letaknya di kecamatan akan mengikuti upacara bendera atau “Apel Bendera” di lapangan besar di kecamatan. Maka pada kesempatan itu pula aku yang diajak oleh orang tuaku menjadi penonton di tepi-tepi lapangan.

Apakah karena kami sekolah di kampung terpencil, kemudian tidak berkesempatan ikut upacara bendera? Ataukah karena kami sekolah di lingkungan sekolah anak-anak miskin kemudian kami tidak merasakan hak yang sama dengan mereka yang sekolah di kota kecamatan? Pertanyaan demi pertanyaan itu belum bisa kutemukan hingga kini.

Tahun 2015—Ketika Raga ini Mampu Berdiri di Sebuah Universitas Ternama di Negeri Ibu Pertiwi

Lain dulu lain sekarang, dulu adalah masa lalu sekarang saatnya mencoba untuk membuka cakrawala yang dulu redup. Bukan nasionalismenya yang meredup, melainkan cara menasionalismekan diri saja yang berbeda. Toh, pada saat akan menjelang memperingati hari kemerdekaan Indonesia, dari jauh-jauh hari masyarakat di kampungku sudah memasang bedera merah putih di setiap depan rumah mereka. Meski tak pandai bernyanyi “Indonesia Raya”, tetap kami adalah Indonesia. Hanya saja tidak terlihat oleh Indonesia yang sesungguhnya.

Tidak upacara bendera, bukan berarti tidak mencintai Indonesia, atau rasa nasionalisme yang dimiliki kemudian luntur, atau apa pun itu namanya. Kondisi dan keadaan lah yang membentuk kami. Maka tidak heran jika di era modern ini, masih banyak bapak-bapak dan ibu-ibu di kampungku yang tidak mengenal lagu Indonesia Raya, apalagi hafal akan liriknya—mustahil. Sekali lagi bukan karena ke-Indonesia-an mereka luntur.

Meski berada di pelosok kampung, daerah terisolir, atau entah apa saja sebutannya, kami tetaplah ‘Indonesia’.

Banyak kasus yang saya cermati dan saya sering tonton di masa kini, banyak pejabat besar di negeri ini yang mencurangi kepercayaan rakyat kecil. Mereka mengambil hak milik rakyat kecil—alias korupsi. Mulai dari pejabat kelas teri alias kroco, hingga pejabat kelas kakap seperti ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah mereka yang bersekolah tinggi, berjas dan dasi mahal, hafal segala jenis undang-undang hingga lagu-lagu kebangsaan, kemudian mereka dikatakan bernasionalisme tinggi? Pikirkan saja.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Masih mahasiswa lutju!

CLOSE