Asmat yang Tak Kunjung Selamat, Asmat yang Terlupakan

Ayo bantu saudara sebangsa setanah air kita!

Asmat yang Tak Kunjung Selamat

Advertisement

Oleh: Ayu Mei Wulandari

Suku Asmat, merupakan suku yang mendominasi di Papua. Suku yang kental akan nuansa adat ini menjadi bagian yang penting bagi Papua, bahkan Indonesia. Mengapa demikian? Karena suku Asmat sudah menjadi salah satu ikon Bhineka Tunggal Ika. Di balik sisi adat yang begitu menarik, dewasa ini justru banyak hal yang baru terkuak yang merupakan sisi lain dari suku Asmat yang terlupakan.

Advertisement

Banyak dijumpai media-media membicarakan permasalahan di suku Asmat, terutama masalah kesehatan. Tak jarang beberapa media pula menggambarkan bahwa permasalahan tersebut sudah sampai pada level mengkhawatirkan.

Sejak September 2017 sampai Januari 2018, kasus luar biasa (KLB) di Asmat semakin meningkat, di antaranya adalah 218 anak menderita gizi buruk, dan 646 anak terjangkit campak. Dari data KLB tersebut, setidaknya ada 3 penyebab utama yaitu kurang menyebarnya imunisasi di Indonesia dengan rata-rata hanya sekitar 20%, tenaga kesehatan yang tidak terdistribusi secara merata, dan jarak antar puskesmas memiliki waktu tempuh yang cukup lama.

Advertisement

Jika ditelaah lebih jauh, beberapa akar permasalahan dari masalah ini adalah akses dan ketersediaan pangan, sanitasi dan fasilitas air bersih yang tidak memadai, serta pola hidup dan pola asuh yang kurang sehat. Minimnya jumlah fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga medis membuat jangkauan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Papua sangat terbatas.

Uskup Mgr Aloysius Murwito dari Keuskupan Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua mengatakan bahwa masyarakat di Asmat kurang mendapat makanan yang bergizi dan tidak setiap hari warga mendapatkan ikan, sayur sayuran juga terbatas. Buruknya kondisi pangan tersebut membuat para ibu di kampung Asmat kekurangan gizi dan mempengaruhi kualitas ASI bagi kesehatan anak anak.

Kasus yang telah terjadi di Asmat termasuk gizi buruk memperlihatkan bahwa anak anak Papua sangat rentan terhadap penyakit sehingga ancaman kematian dalam jumlah besar masih memungkinkan terjadi pada masyarakat Papua, mengingat setelah Tim Satgas Kesehatan Terpadu TNI yang dibentuk atas perintah Presiden Joko Widodo diturunkan, ternyata kasus gizi buruk tidak hanya terjadi di Kabupaten Asmat tetapi juga di wilayah Pegunungan Bintang yang berjarak 286 km dari Agats, ibukota Asmat.

Mengingat permasalahan di Asmat ini relatif kompleks, tentunya dalam penyelesaiannya pun membutuhkan respon dari beberapa pihak terutama pemerintah, yang merupakan wakil rakyat dan mempunyai kewajibannya mengayomi dan memfasilitasi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan koordinasi dan kerjasama yang melibatkan kementrian/lembaga yang lebih luas.

Dapat diakui, pemerintah memang telah menunjukkan peran dan kerjasamanya yang luar biasa dengan lemba lembaga yang lebih luas seperti pada saat berbagai instansi seperti Satgas Terpadu Polda-TNI terjun mengatasi KLB atas perintah Presiden Joko Widodo, disusul oleh Kementrian Kesehatan beserta tim kesehatannya, diikuti Kementrian Sosial, Satgas Kesehatan TNI dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) sebagai tindakan darurat mengatasi wabah penyakit agar tidak meluas dan bertambahnya korban jiwa.

Pemerintah juga membuat berbagai program di daerah Asmat untuk menurunkan angka kemiskinan dan upaya perbaikan gizi anak. sayangnya, beberapa di antaranya tidak sepenuhnya tepat sasaran karena anggran kesehatan yang diperuntukkan bagi rakyat, menguap entah kemana. Mengapa selama ini kasus Asmat tidak dapat diantisipasi? Padahal dana yang digelontorkan tiap tahunnya untuk Papua dan Papua Barat sekitar Rp 60-80 triliun.

Mengapa pembangunan manusia di suku Asmat yang mungkin bisa dikatakan tidak terlalu banyak justru tidak dapat mencapai kualitas yang diharapkan? Jika persoalan gizi buruk tidak ditangani secara serius, Papua akan semakin ironis karena sangat minim generasi penerus di dalamnya. Kasus gizi buruk yang terjadi di Papua seperti “mengorek luka lama” yang ingin dilupakan oleh bangsa ini tetapi faktanya di ujung negeri ini masih ada saudara sebangsa dan se-Tanah Air yang masih mengalami peristiwa yang mengharukan.

Peristiwa KLB gizi buruk di Papua menyiratkan kekhawatiran jikalau gizi buruk tidak hanya terjadi di Kabupaten Asmat saja tetapi meluas ke wilayah lain. Seperti yang kita semua ketahui bahwa komponen dasar negara kita salah satunya adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” di mana kita masyarakat Indonesia, ikut serta membantu saudara sebangsa kita untuk memberikan sesuatu yang nyata untuk diharapkan.

Seperti halnya penggalangan dana se Indonesia, menyampaikan ide, pikiran, dan tindak lanjut yang mungkin efektif dan efisien, atau mengikuti salah satu program pemerintah sebagai volunteer atau sukarelawan. Semua itu tentunya tak dapat dipisahkan dari peran pemerintah sendiri. Tindakan yang diambil pemerintah belum tentu cukup untuk mengatasi persoalan kesehatan di Papua.

Upaya pembangunan sektor kesehatan dapat dilakukan dengan cara memperbaiki sistem pembangunan sektor kesehatan sebelumnya yang dapat dikatakan belum efektif dan menyeluruh antara lain dengan cara pemberian imunisasi yang optimal dan memastikan seluruh warga diberikan imunisasi, menambah daftar tenaga medis yang telah dikirim ke Papua termasuk ahli gizi untuk memperbaiki persoalan ketahanan pangan dan mungkin dapat membantu warga Asmat dalam meminimalisir gizi buruk, yang merupakan masalah utama di Asmat.

Apabila ditinjau dari segi penyebab permasalahan kesehatan di Asmat memang sangat banyak. Namun di sisi lain, hal itu dapat terjadi juga tak luput dari kebiasaan masyarakatnya yang mungkin sulit diubah. Masyarakat Papua pun harus mau berubah demi keberhasilan penanggulangan masalah kesehatan dengan cara menjalankan hidup sehat dan belajar memelihara serta menjaga kesehatan dan kebersihan.

Tentu saja hal ini sangat memerlukan panduan, himbauan, dan bimbingan dari tenaga kesehatan yang berada di sana maupun yang dikirim oleh pemerintah. Akan lebih baik apabila pemerintah membuat program pengabdian tenaga kesehatan di seluruh Indonesia untuk membantu masyarakat Asmat menanggulangi masalah kesehatan.

Dengan demikian, diharapkan semua kementrian dapat bekerjasama untuk menangani KLB di Papua seperti pernyataan Ketua Dewan Adat Masyarakat Papua, Yoris Raweyai yang dapat dijadikan renungan, bahwa “tidak mudah mengubah suatu masyarakat sebagaimana dikehendaki oleh kekuasaan."

Namun, perubahan masyarakat Papua ke arah yang lebih baik tidak cukup dengan pembangunan fisik semata, karena otonomi khusus bagi Papua bukanlah “pemberian” tetapi tanggung jawab sebagai bentuk pelurusan sejarah masa lalu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

CLOSE