Bantahan (Percayalah, yang Terpenting Itu Bukan “Cepat Menikah” Tapi “Dengan Siapa” Kita Menikah)

Berawal dari share postingan saudaraku Hendra Uciha , hingga saat ini aku terus membaca (bahkan membaca berulang-ulang) mengenai tulisan saudari Fety Fatimah. Jujur, aku sedikit terusik dengan tulisan dalam artikel tersebut. Bukan karena aku baru saja menikah, bukan pula karena kebanggaan sesat atau hal-hal yang tidak penting lainnya. Setelah ditelisik isi dari artikel yang dituliskan oleh saudari Fety Fatimah (Percayalah, yang terpenting itu bukan “cepat menikah” tapi “dengan siapa” kita menikah), menurut hematku sang penulis memandang sakral & pentingnya pernikahan itu hanya sebatas kenikmatan duniawi, materi & logika semata. Padahal esensi & pencapaian dari biduk pernikahan adalah keridhaan Rabb Tabaraka wa Ta'ala. Ketakutan-ketakutan yang beliau sampaikan seakan menyangsikan Maha Tingginya kekuasaan & Pertolongan Rabb Semesta alam. Berikut pandangan "kepercayaan" Fety Fatimah beserta bantahan dariku :

Bismillahirrahmanirrahim.. (segala kebaikan hanya dari Allah Ta'ala semata, sedang kesalahan datangnya dari diriku sendiri).

Fety Fatimah berkata :
1. Financial
Jika kalian memutuskan menikah cepat, lalu kalian berdua belum bekerja dan tidak punya penghasilan dari sebuah usaha, mau makan apa kalian?, punya penghasilan pun kadang tak cukup dikarenakan gaya hidup orang yang berbeda-beda, apalagi kalian yang belum siap secara finasial, ditambah lagi jika kalian langsung dikaruniai seorang anak, mau dikasih makan apa anakmu? cinta?

Bantahan :
Sungguh Maha Sempurnanya Kekuasaan Allah meliputi langit & bumi. Maha Suci Allah atas prasangka buruk dari kebanyakan makhluk. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin memelihara kesucian, dan pejuang di jalan Allah." [HR. At-Tirmidzi (no. 1352) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1512)]

Benar, melangsungkan kehidupan setelah pernikahan tentunya kita perlu sesuatu (usaha) agar segala kebutuhan terpenuhi. Manusia yang beriman kepada Rasulullah, tentunya akan mengikuti sunnahnya (menikah) & seorang laki-laki yang beriman kepada hari akhir tentulah mempunyai usaha agar kehidupan berkeluarganya diberkahi & diridhai oleh Allah. Mereka tidak akan pernah berputus asa dari rahmat Allah yang meliputi langit & bumi. Belum bekerja bukan berarti tidak bekerja & setiap usaha yang ikhlas mengharapkan keridhaan Allah tentulah ada ganjarannya. Termasuk yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah akan mencukupkan rezki bagi mereka-mereka yang melaksanakan sunnah Nabiullah (menikah) serta Allah tidak akan membiarkan 1 pun makhlukNya berada dalam kelaparan setelah mereka berusaha. APAKAH KITA MENYANGSIKAN KEKUASAAN, RAHMAT & PERTOLONGAN ALLAH HANYA KARENA BELUM BEKERJA & TAKUT KELAPARAN? Semoga Allah menjaga kami & keluarga kami dari prasangka buruk yang demikian. Amin!

Fety Fatimah berkata :
2. Hubungan Keluarga
Sebelum memutuskan menikah pastikan kalian tidak akan berhubungan dengan mertua perempuan yang super bawel, percayalah bahwa mertua bawel itu lebih menakutkan dibandingkan bertemu dengan hantu di tengah malam. Dan pastikan kalau pasanganmu itu bukan laki-laki "anak mami" yang dalam mengambil keputusan selalu melibatkan mertua, mau jadi apa rumah tangga kalian jika setiap masalah yang ada dalam keluargamu masih "disetir" mertua yang pemikirannya penuh subjektifitas terhadap menantu perempuannya.

Bantahan :
Dalam perkara ini, menurut pandanganku adalah tergantung laki-laki yang baligh & berakal (siap menikah). Beliau mampu memposisikan diri ketika berada pada posisi antara ta'at kepada orang tua & kewajiban menuntun istri dalam hal kebaikan. Hubungan antara istri & mertua bisa dijalin dengan baik karena adanya andil yang benar pula dari sang suami dan Allah akan senantiasa menolong hamba-hambaNya yang menjaga silaturrahim. Allah Jalla wa 'Ala berfirman:
"Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)". [ar-Ra’d/13:25]

Fety Fatimah menuliskan :
3. Rumah tangga bukan hanya sekadar "seks"
Jika motivasi pertama kalian untuk cepat menikah adalah karena seks, maka bersiaplah untuk gigit jari, karena seks tanpa kebutuhan sandang, pangan dan papan yang terpenuhi adalah "nothing" dan "impossible"

Bantahan :
Tidak kita pungkiri, di akhir zaman ini perkara seks tidak lagi menjadi hal yang tabu terutama bagi generasi muda kebanyakan. Kita saksikan (bahkan mungkin diriku sendiri) yang pernah terjebak dalam kehinaan tersebab hal syahwat ini. Pada dasarnya, segala sesuatu mempunyai motivasi tertentu serta tujuan tertentu. Berangkat dari hal tersebut, maka apa yang dicita-citakan sudah pasti dilaksanakan/ diraih. Benar, dalam menjalani kehidupan apalagi perkara beribadah kepada Allah tentulah hal utama yang harus diperbaiki adalah NIAT yang ikhlas Lillahi Ta'ala. Tanpa hal tersebut, dipastikan kita akan menemui jalan buntu atau menjalani sesuatu yang klise (semu belaka).

Jadi, bagi muda-mudi yang takut terjebak dalam perilaku menyimpang (seks bebas atau semacamnya), alangkah indah bila tuntutan naluri manusia yang asasi tersebut disalurkan melalui jalan yang benar & di ridhai Allah (menikah). Karena memang, selain untuk membentengi akhlak yang luhur & menundukkan pandangan, dalam Islam tuntutan naluri manusia yang asasi (seks) juga menjadi tujuan pernikahan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya." [HR. Ahmad (I/424, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/ 77), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu]

Fety Fatimah berujar dalam tulisannya :
4. Kebiasaan pasangan
Sebelum menikah ada baiknya cari tahu kebiasaan pasangan anda terutama yang berkaitan dengan gaya hidup, bagi perempuan jangan coba-coba menikah dengan laki-laki tak berpenghasilan jika kebutuhan bulanan kalian setinggi langit bahkan untuk sekadar pergi ke salon, dan bagi laki-laki carilah wanita yang gaya hidupnya "sesuai" dengan penghasilanmu, ingat! jangan paksa anak perempuan orang lain untuk hidup sengsara dengan dirimu.

Bantahan :
Berkata Sufyan bin Uyainah :
"Siapa yang mencari kemuliaan (dengan nasab keturunan), maka dia akan ditimpa musibah kehinaan, dan siapa yang mencari harta, maka dia akan ditimpa kemiskinan, dan siapa yang mencari agama, maka Allah mengumpulkan untuknya kemuliaan, harta, sekaligus agama."

Kita ketahui bersama, Islam telah mengatur segalanya (terkhusus adab-adab pernikahan) baik dari lamaran hingga ketika seorang suami menyetubuhi istrinya. Semuanya telah jelas diatur sedemikian rupa oleh agama yang mulia ini. Pada dasarnya laki-laki lah yang memilih wanitanya, namun islam juga tidak pula melarang wanita untuk memutuskan apakah ia siap dinikahi atau tidak oleh laki-laki tersebut.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” [HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Telah jelaslah dasar dalam memilih pasangan. Ketika wanita yang didapatkan karena agamanya, tentulah pemenuhan tuntutan-tuntutan kehidupan berdasarkan kecukupan suaminya. Bukan atas dasar mampu atau tidak mampu atau bahkan sampai kepada kadar menyengsarakan satu sama lain.

Lantas, ketika pondasi (pokok/ adab pernikahan) telah jelas & gamblang di uraikan dalam Islam (baik pertolongan Allah maupun kebaikan-kebaikan didalamnya), apakah kita yang bernaung dalam syahadat masih takut, was-was, ragu-ragu atau bahkan tetap teguh dalam keadaan berprasangka buruk?

Wallahu a'lam bisshawab

Apa yang aku paparkan yang disertai bantahan diatas, sekali-kali bukan karena aku orang yang fasih dalam beragama. Namun, bagiku (seorang Muslim) apapun permasalahan atau ketidakmengertian yang kita sangkakan hendaklah dikembalikan kepada sebaik-baik tuntunan yaitu Al-Qur'an & As-Sunnah bukan kepada selainnya (nalar/ logika/ firasat atau undang-undang buatan hawa nafsu manusia).

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Lahir di Pesisir Riau (Bengkalis) 29 Tahun silam. Lulusan FEKONSOS UIN SUSKA Pekanbaru dan sedang menyelesaikan Program Pasca di FISIP-UR. Gemar membaca, suka menulis, tidak suka berdebat tersebab pembenaran semata (karena debat seperti itu adalah jalan syaithan), sedikit kritis terhadap fenomena sosial kemasyarakatan & pecinta golput.

4 Comments