Hari Anak Nasional; Penuhi Hak Anak!

Kekerasan juga seharusnya tidak dilakukan dalam lingkungan keluarga.

Peringatan Hari Anak Nasional diselenggarakan tiap tahunnya pada tanggal 23 Juli. Bertahun-tahun kita sudah merayakan hari tersebut, tapi apakah hak-hak anak itu sendiri memang sudah sepenuhnya dirayakan secara bebas?

Advertisement

Hari Anak Nasional sendiri hadir dari gagasan Presiden Republik Indonesia ke-2, yakni Soeharto yang melihat anak sebagai aset bangsa untuk membuat negara lebih maju. Lebih lanjut, Hari Anak Nasional ini disahkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984. Hari Anak Nasional dibuat untuk menunjang kesehjateraan anak itu sendiri dan melindungi hak-haknya. Sebenarnya, hari peringatan khusus anak juga diperingati dalam tingkat internasional pada 1 Juni dan ada pula Hari Anak Universal pada 20 November.

Hari Anak Nasional ini sepatutnya memang dapat menjadi momentum untuk seluruh masyarakat merenungkan kebutuhan anak, termasuk penjaminan atas hak-haknya. Selain itu, perlindungan terhadap anak itu sendiri dalam berkegiatan sehari-sehati perlu menjadi sorotan. Perlu diingat, memperjuangkan hak anak bukan hanya dilakukan pada tanggal 23 Juli, tapi harus dilakukan setiap hari. Mengingat banyak sekali kekerasan dan pelanggaran terhadap anak setiap harinya.

Salah satu yang menjadi perhatian khusus ialah hak anak dalam memperoleh pendidikan. Memang, dapat diakui banyak pula anak-anak Indonesia yang mampu mendapat pendidikan tinggi, layak, dan bahkan mendulang prestasi sampai kancah internasional. Namun, dibalik itu masih banyak anak-anak Indonesia yang belum bisa merasakan pendidikan yang sama.

Advertisement

Banyak anak di beragam wilayah yang terpaksa putus sekolah, belajar dengan sarana prasarana yang tak mumpuni, dan lainnya. Hal itu tentu berasal dari banyak faktor, mulai dari perekonomian, geografis wilayah, kesenjangan pendidikan, tidak meratanya pembangunan, dan lain-lain. Faktor kunci juga dari hak anak terkait pendidikan yang belum terpenuhi ialah adanya stigma atau pemahaman dari lingkungan, bahkan orang tua soal pendidikan yang tak begitu penting dan lebih mengutamakan ekonomi.

Di Indonesia sendiri ada contoh nyata soal hak pendidikan anak yang terenggut, yakni saat para anak terpaksa putus sekolah dan mulai bekerja menjadi buruh di perkebunan. Bukanya mengenyam pendidikan di bangku sekolah, anak-anak tersebut bekerja dengan beban setara orang dewasa. Mereka bahkan dikategorikan sebagai Bentuk Terburuk Pekerja Anak (BPTA) yang terpapar pestisida dalam Konvensi International Labour Organization (ILO). Selain itu mereka juga tidak terlindungi dan terkeslusi. Anak-anak tersebut terpaksa menjadi pekerja lantara faktor ekonomi keluarga.

Advertisement

Pemerintah sendiri sudah mengatur soal hak pendidikan anak dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah menegaskan dalam aturan tersebut bahwa bertanggung jawab secara penuh untuk memberi biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.

Bukan itu saja hak anak yang patut direnungi dalam momentum ini, tapi juga hak untuk bermain. Belakangan banyak orang memang bermaksud baik untuk memberi beragam kursus atau les tambahan bagi anak. Namun, secara tidak langsung itu mengurangi bahkan menghilangkan waktu bermain mereka. Dalam kasus ini, tentu peran orang tua sangat besar dan penting untuk memberi waktu bermain bagi anak. Selain itu juga memilihkan jenis mainan yang sesuai dengan usia, karakteristik, dan minat anaknya itu sendiri.

Hak bermainan ini beririang juga dengan hak rekreasi yang sewajarnya didapat seorang anak. Bukan hanya orang dewasa yang membutuhkan refreshing atau penyegar suasana dalam hidupnya, tapi juga anak. Tentunya bentuk implementasi rekreasi ini disesuaikan dengan kondisi dan diselipkan edukasi di dalamnya.

Hak anak lainnya yang juga penting, terutama belakangan ini perlu dikumandangkan kembali ialah hak untuk mendapat perlindungan. Dalam masa tumbuh kembangnya, anak tentu memiliki psikologi, pikiran, dan jiwa yang rentan dan mudah terpengaruh oleh banyak faktor, terutama lngkungan sekitar.

Hal ini yang perlu menjadi sorotan khusus, terutama orang tua dan keluarga terdekat agar melindungi anak dari beragam unsur negatif di lingkungan sekitar. Anak acap kali jadi korban beragam tindak negatif, seperti kekerasan atau pelecehan seksual, diskriminasi yang dapat terjadi secara sadar maupun tidak, dan lainnya.

Kekerasan juga seharusnya tidak dilakukan dalam lingkungan keluarga. Dalam hal ini bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga psikis. Memarahi atau menjatuhkan mental anak merupakan tindakan berbahaya untuk tumbuh kembang anak ke depannya. Sebagai orang tua, kakak, atau anggota keluarga lain sepatutnya memberi contoh tindakan yang baik, bukan sebaliknya untuk memenuhi hak perlindungan anak.

Tentunya masih banyak hak-hak anak lain yang patut direnungkan dan dipenuhi lagi demi tumbuh kembang anak. Dalam hal ini, perlu peranan dari banyak orang, termasuk kita sebagai remaja.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE