Hemat Itu Sulit? Memang! Tapi Sulit Bukan Berarti Tidak.

Beberapa waktu lalu sempat memutuskan untuk mulai belajar berhemat. Belajar mengontrol pengeluaran, berusaha menekan diri sendiri. Menekan? Iya, menekan pengeluaran maksudnya.

Advertisement

Mencoba jadi pribadi pelit terhadap diri sendiri, menahan sekuat mungkin nafsu belanja juga "nongki-nongki" tidak jelas yang kerap kali berakhir membobol dompet, bahkan tabungan.

Berusaha hidup seirit, juga sepelit mungkin. Menjauhi Mall yang biasanya selalu jadi tempat wajib dikunjungi sepulang kampus, menolak plus menghindari berbagai ajakan nongki atau main.

Advertisement


Sulit? Sangat! Tapi sulit bukan berarti tidak bisa, sulit tidak membuat saya mundur karena tekad yang telah bulat. Adudu~~ awalnya memang membuat merana bukan kepalang, uring-uringan tidak jelas, hingga galau berkepanjangan. Rasanya itu kayak ada nyesel-nyeseknya, jengkel-jengkelnya.


Advertisement

Alasannya apa? Belajar! Loh? Lah, iya belajar.

Karena saya ingin belajar tidak jadi manusia boros. Boros? Baiklah meski malu mengakuinya tapi diakui saya adalah salah satu tipe manusia boros. Tidak bisa mengontrol pengeluaran.

Awalnya merasa biasa, hingga akhirnya merasa jengah dengan gaya hidup sendiri.

Merasa pengeluaran semakin tidak terkontrol, semakin hari semakin tidak terkendali seperti "bablas" saja itu uang, tidak jelas kemana larinya, tidak tahu dia berlabuh. Menghamburkan uang dengan mudah hingga kerap merana di akhir, bahkan sering kali dipertengahan bulan.

Semakin tidak bisa membedakan mana yang pokok dan tidak, mana yang wajib dibeli dan hanya sunah. Aih, pokoknya uang semakin tidak jelas kemana larinya, kemana perginya. Mereka seperti tidak betah berlama-lama dalam dompet.

Seperti tanpa sadar, meski sebenarnya sadar sepenuhnya saya kerap kali menghambur-hamburkan uang dengan tidak jelas. Dengan mudah memberi uang kepada kasir baik itu di Mall, atau beberapa Cafe tempat "nongki-nongki" tidak jelas bersama beberapa teman.

Jika orang lain menabung di Bank maka saya menabung di Mall, dan Cafe. Jika orang lain dapat mengambil tabungannya jika perlu, tidak dengan saya. Loh? Lah, iya. Wong uang saya lari kesana kok. Ntah jika dihitung sudah berapa banyak uang mengendap di sana.

Memberi banyak barang ini-itu yang sebenarnya tidak perlu. Nongkrong di sana, sini seperti membuang waktu dengan percuma. Aih, pokoknya uang serasa lenyap dalam sekejap.


Baru pertengahan bulan sudah kalang kabut, khawatir tidak cukup sampai akhir hingga berakhir migren berkepanjangan.


Perlahan saya mulai sadar.

Bukan uang yang tidak betah di dompet, tapi saya sebagai pemegang yang tidak bisa membuat mereka berlama-lama berada disana.

Bukan uang yang tidak suka berada di dompet, tapi saya yang dengan bodohnya mengeluarkan mereka dengan gampang.

Bukan uang yang kerap minggat tanpa pamit, tapi saya yang tanpa sadar mengusir mereka. Mengusir dengan memberi pada para kasir. Mau tidak mau saya harus berubah, tidak bisa terus seperti ini. Belajar menghargai uang, belajar merasa berat melepas mereka.

Sulit? Sekali lagi sangat sulit.


Tapi bukankah semua akan jadi mudah setelah terbiasa. Dulu saya terbiasa hidup boros, jika saya terus menekan diri saya maka saya akan terbiasa hidup irit.


Setidaknya meski sulit irit adalah yang terbaik untuk dompet dan tabungan saya.

Sebenarnya niat untuk mulai belajar berhemat itu sudah ada sejak dulu, namun hasrat belanja dan nongkrong selalu saja berhasil menghilangkan niat itu, lalu berakhir membobol dombet tak jarang tabungan juga.


"Udahlah, tidak apa-apa, sekali ini saja. Lagi pula apa kamu yakin tidak akan menyesal jika melewatkannya."

"Bonekanya lucu loh, gelang yang tadi apa lagi. Yakin nih nanti aja? Tiati nyesel."

"Yakin gak mau ikut nongkrong? Ih, di sana pasti seru."


Kalimat di atas adalah di antara dari beberapa bisikan-bisikan sesat yang kerap kali berhasil mendobrak niat berhemat. Tapi kini tidak lagi.

Karena pelan tapi pasti saya sudah mulai terbiasa irit, tapi tidak sampai pengiritan. Terbiasa hemat, meski masih kerap berdebad dengan hati karena hasrat belanja itu masih ada. Terbiasa mengatakan tidak pada teman yang mengajak nongkrong, meski ada sedikit rasa tidak enak.

Semua butuh proses, pelan tapi pasti asal ada kemauan pasti bisa.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Freelance Writer • Blogger • Penjelajah • Mahasiswi • Faculty Of Law // Biasa di panggil Lisa atau Ica, suka sebel kalau di panggil Risa atau Nisa. Gadis biasa perpaduan Jawa-Sulawesi. Gadis biasa dengan segudang mimpi tak biasa. // #SukaBacaDoyanNulis #SukaJajanDoyanMakan #SukaJalanDoyanMinggat // Email: lisaevasartika30@gmail.com (Office) // KataLisa ? (1) https://galerikatalisa.wordpress.com (2) https://goresanpenalisa.wordpress.com (3) Wattpad: @Klisaevasarttika (Alana, Now Showing.)

CLOSE