Ini Dia Metode Tafsir Para Mufassir yang Belum Kamu Tahu

#gallery-1 {
margin: auto;
}
#gallery-1 .gallery-item {
float: left;
margin-top: 10px;
text-align: center;
width: 33%;
}
#gallery-1 img {
border: 2px solid #cfcfcf;
}
#gallery-1 .gallery-caption {
margin-left: 0;
}
/* see gallery_shortcode() in wp-includes/media.php */

Advertisement

Diturunkannya al-Qur'an kepada manusia merupakan anugerah terbesar yang Allah limpahkan. Ajaran di dalamnya benar-benar mengandung kearifan serta tak ada kesia-siaan maupun kedustaan. Al-Qur'an adalah sumber peradaban yang berhasil mengantarkan manusia dari lubang kegelapan menuju puncak penuh gemerlap cahaya.

Tradisi menafsirkan al-Qur'an sudah berjalan semenjak awal kali al-Qur'an diturunkan, yakni yang dilakukan langsung oleh Nabi Muhammad tatkala menjelaskan makna al-Qur'an melalui sabda-sabdanya yang agung. Tradisi tafsir merupakan sebuah keniscayaan, jika melihat subtansi al-Qur'an yang memiliki pesan moral bernuansa global (mujmal). Setiap zaman dan tempat perlu membaca al-Qur'an kemudian menafsirkannya dengan kearifan-kearifan yang bisa memenuhi kebutuhan zaman.

Para Mufassir dari berbagai generasi dan tempat berbondong-bondong melakukan agenda besar tersebut, tujuannya satu: mengejawantahkan al-Qur'an sebagai Hudaan Lin Naas (Pengarah kehidupan manusia), hal ini sebagai tertulis dalam al-Qur'an surat al-Baqoroh ayat 185.

Advertisement

Dalam meracik karya tafsir, ulama-ulama mufassir menggunakan atsar (nash dari Rasulullah, sahabat dan salafussalih) saat menerangkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an. Motivasinya adalah bahwa mereka (para generasi islam awal) adalah generasi yang lebih mengerti mengenai hakikat wahyu yang diturukan, tekhusus sabda Nabi, maka hal tersebut merupakan tafsir yang terjamin kebenarannya, selama jalur periwayatannya kuat dan benar sesuai kaidah ilmu hadis.

Metode di atas dinamai dengan metode bil ma'tsur (menggunakan riwayat sebagai bahan penafsiran). Contoh tafsir yang menggunakan metode ini adalah tafsir "ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur" karya Jalaluddin as-Suyuthi. Seiring bergulirnya waktu, ulama-ulama ahli tafsir memasukkan ilmu balaghah, sosial, akidah dan lain-lain sebagai bahan tambahan untuk membedah makna al-Qur'an. Jenis tafsir ini oleh Abdul Halim Mahmud (dosen al-Azhar) sebagai tafsir bir-ro'yi (tafsir yang melibatkan pemikiran manusia dalam proses pembuatannya).

Advertisement

Dalam setiap karya tafsir terdapat kecenderungan mufassir yang masuk ke dalam karya tafsir. Seorang yang pakar dalam fiqih maka karya tafsirnya akan bernuansa fiqih. Seorang ahli dalam teologi kalam akan memperpanjang pembahasan mengenai teologi saat menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an. Seorang yang piawai dalam balaghah tentu akan memandang al-Qur'an sebagai kitab yang susunan bahasanya penuh muatan sastra dan dengan sekuat tenaga mereka akan menguraikan rahasia-rahasia balaghah di dalamnya dengan saksama.

Hal ini terus berlangsung hingga sekarang. Ilmu-ilmu kontemporer lagi modern yang terkadang mnegadopsi pemikiran baratpun ikut berperan menyemarakkan literasi tafsir al-Qur'an. Dalam kapasitasnya sebagai petunjuk, al-Qur'an selalu eksis menerangi zaman, dan tafsir merupakan salah stau jalan yang menjembatani pendar cahaya tersebut agar bisa dinikmati khalayak.,

Sumber: Manahijul Mufassirin karya Prof. Dr. Mani' Abdul Halim Mahmud (Dosen universitas al-Azhar Kairo)

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Kece+

CLOSE