Jadi Mahasiswa Baru Itu Seperti Mencukur Bulu Ketiak Pertama Kali

Belajar di waktu muda dianalogikan bagai mengukir di atas batu, belajar di masa tua bagai menulis di atas air. Impian yang terlampau muluk diibaratkan pungguk yang merindukan bulan. Atau orang yang menyerah karena keterbatasan alat, pepatah asal Polandia menyamakannya seperti ballerina yang menyalahkan lipatan roknya, seperti kita yang menyalahkan angin kalau main badminton. Dan jadi mahasiswa baru seperti mencukur bulu ketiak kali pertama.

Advertisement

Saya terpikirkan menulis ini tiga hari kemudian setelah pertama kali, seumur hidup, memutuskan untuk mencukur bulu ketiak. Iya, bercukur, sebuah gagasan perdana, langsung direalisasikan karena ada uang plus kesempatan dan keberanian.

Saya miskin pengalaman mencukur bulu ketiak, hanya referensi dari internet tentang panduan memilih pisau dan gel. Nggak ada sebuah artikel yang benar-benar memahami saya, seorang pemula, bagaimana sebenarnya bercukur, akan seperti apa rasanya di kulit, dan bagaimana gejolak perasaan yang akan timbul selama proses berlangsung.

Buktinya, meski beberapa artikel mengenai mencukur bulu ketiak dibaca, saya masih diselubungi rasa khawatir, masih berlama-lama tercenung di hadapan berbagai merek pisau cukur. Dari yang paling murah, seharga mie ayam aci kuning kering tanpa bakso, sampai yang harganya sama dengan buku-buku laris di Gramedia.

Advertisement

Karena tertarik dengan pisau cukur berwarna pink, saya menggapainya. Menebak-nebak apakah warnanya yang dibuat lembut adalah usaha produsen untuk menunjukan bahwa pisau mereka ramah dengan kulit, sehingga tidak menciptakan lolongan aww? Tapi kemudian harga dibawahnya meragukan niat, betapa eman ya, kantong dirogoh dalam-dalam demi sebilah pisau cukur. Jadilah malam itu, sebuah pisau cukur biru biasa merek Gilette saya kantongi pulang, harganya melegakan.

Sampai di rumah, dengan pisau cukur terhunus dan shaving gel abal-abal yang saya pakai adalah hand-body lotion, saya berdiri depan cermin. Meniti setiap rambut yang bakal dibabat habis. Mengira-ngira apakah yang didapatkan setelah itu adalah luka atau perasaan lega luar biasa karena bulu-bulu geli itu telah sirna.

Advertisement

Akhirnya proses mencukur dimulai, secara ajaib rambut-rambut kasar itu tumbang dari tempatnya tenteram terjepit barusan. Kemudian entah karena saya atau pisau cukurnya ketagihan, dibabat lagi hitam-hitam panjang itu biar pergi. Berjatuhan di ubin. Lagi, lagi, sampai menipis. Sampai kulit berubah warna menjadi abu-abu.

Selesai bercukur, beberapa bulu, yang sudah sangat pendek tapi belum habis tampak tegang berdiri di kulit ketiak. Luar biasa susah ditaklukan. Saya menyerah. Pisau cukur itu dibersihkan. Anggap saja cukuran ini selesai, ya. Saya senang. Tapi aduhai menjelang tidur, kacau. Rasanya sisa-sisa bulu yang gagal dibabat tadi menggelinjang di apitan ketiak. Menusuk-nusuk. Perih gatal tak tertahankan.

Ingat-ingat cukuran tempo hari, tarikan pisau cukur ke atas lalu ke bawah, bulak-balik begitu bak setrikaan Mbak Iyem, alam bawah sadar saya menghubungkan benang-benang relevansi antara keduanya, hal yang ingin saya coba bahas: bulu Ketiak dan masuk kuliah. Mungkinkah? Mari kita telusuri keterkaitan mereka.

Dimulai dari dari enam bulanan lalu, ketika hati dipenuhi harapan-harapan yang baru mekar, kuliah, kampus, dan segala hal yang meliputinya! Diterima di sebuah universitas negeri, jauh dari rumah, tidak ada sanak saudara di sana, merantau, merantau, merdu dikicau-kicau. Perasaan yang berbunga-bunga itu, serta taburan sedikit getir dan khawatir tak ubahnya dilema seperti membeli pisau cukur.

Sebagai mahasiswa baru yang belum tahu betul medan yang akan dihadapi, begitu antusias kami menyambut ketidakpastian baru. Segala hal tentang perkuliahan membuat darah berdesir, proses pendaftaran ulang dan pengumuman uang kuliah tunggal (UKT) rasanya seperti audisi. Padahal, kami adalah mahasiswa yang sudah lolos. Tinggal menyelesaikan buntut proses sedikiiit lagi. Tapi perasaan takut gagal masih ada, takut berkas administrasi yang belum lengkap dengan cerobohnya membatalkan identitas baru sebagai mahasiswa.

Bolak-balik orang-orang penting diminta tanda tangan: Pak RW yang suka main catur, Pak RT yang pulang kerja larut malam, tetangga 1 dan tetangga 2 yang belum tentu selalu ada di rumah. Hati-hati file yang diminta diteliti. Memang setakut itu rasanya kalau gagal. Padahal, sampai saat ini pun, 1 semester setelah perkuliahan, masih ada dua atau tiga berkas saya yang masih belum lengkap. Ha ha mahasiswa ilegal! *ups

Bisa sampai pada kampus tujuan pun alurnya panjang, tidak instan, tidak ujuk-ujuk daftar, tes, dan diterima. Ada tahap yang pernah sangat membimbangkan sekaligus melambungkan: tahap memilih kampus. Sama halnya dengan memilih pisau cukur. Segala aspek universitas tujuan dipertimbangkan: jurusan yang tersedia, akreditasi, apakah A, B, atau Z, lingkungan kampus, jarak dari rumah, sampai hal kecil seperti warna jaket almamaternya.

Ketika menebak-nebak apakah selesai bercukur Ketiak jadi bebas gatal atau sebaliknya, sebenarnya mirip-mirip juga dengan seorang mahasiswa baru yang sudah terjebak di lingkungan kampus waktu bertanya-tanya akan ada apa di sini, jadi apa setelah ini. Mungkinkah saya akan aktif turut dengan segala macam kegiatan kampus, pulang malam, banyak teman, digemari orang-orang? Menyongsong semacam gebrakan, dari seorang yang terbuang dari pergaulan bisa membangunkan jiwanya sendiri yang tertidur di masa SMA? Pikiran-pikiran semacam ini selalu menggairahkan. Seolah abrakadabra, seseorang berubah hebat tiba-tiba.

Di lingkaran baru yang belum benar-benar dikenal itu, hari-hari pertama pernah berlangsung menyenangkan. Jauh dari rumah, terbebas dari trilogi kerjaan rumahan: mencuci piring, menyapu lantai, dan menyetrika baju yang menggunung. Juga hei, tidak seorangpun mengenal kami secara personal. Mereka layaknya orang-orang di pasar ikan. Beli ikan-pergi-beli ikan-pulang-beli ikan-masak ikan.

Saya jadi bisa menelusup ke kantin tiap fakultas. Di sini juga kami punya hak penuh atas uang bulanan yang orang tua rutin kirim, bisa makan apapun, dimanapun, bisa pergi kemanapun tanpa seorangpun khawatir, bisa berbuat apa saja, mencari jati diri dengan peradaran yang tak berbatas lagi.

Tapi senang hati-bergembira-ria di lingkungan baru tidak berlangsung lama. Seminggu di sana, betapa perbedaan yang begitu besar telah menjorok jauh, it became pressure. Uang bulanan ternyata jumlahnya sangat terbatas. Jadi untuk keperluan lainnya seperti tetek bengek ospek, biaya fotokopi, sampai iuran ini itu, secara terpaksa, uang makan jadi dipangkas. Uang jajan apalagi, sejarahnya bagai tak berbekas.

Layaknya bulu Ketiak yang liat dicukur habis, gatal juga perih, kepayahan hidup di kampus baru nggak sampai di situ, lama-lama saya mulai mengenal satu dua orang, lalu semakin banyak. Mereka juga mengenal saya. Setidaknya mengenali wajah, tahu nama saya. Beberapa kali berpapasan dengan orang. Senyum rasanya membeku.

Lebih-lebih rekan se-prodi yang minta dianggap keluarga. Boro-boro! Mereka orang baru, orang asing, orang-orang yang awalnya mustahil. Wah hidup mulai tidak tenteram. Belum lagi Bahasa Jawa yang tidak pernah saya sentuh sebelumnya, mengudara di mana-mana hingga mengakibatkan kuping saya penging!

Saya seolah bayi prematur yang diluncurkan ke dunia walau belum waktunya. Saya merasa merah dan berdarah. Setiap orang yang wajahnya saya kenal melintas di hadapan, bisa saja waktu sedang makan di angkringan, perpustakaan, atau sembarang jalan, otomatis membuat saya buang wajah. Sehingga setiap berangkat ke kampus adalah terror, sebab, ada sebuah trotoar besar membentang yang harus dilewati setiap hari, yang meski cara saya berjalan dibuat membungkuk, tetap, siapapun bisa menemukan saya, hap!

Siapapun bisa menyerukan nama saya dan menawarkan tebengan motor. Membuat saya yang tadinya baik-baik saja tiba-tiba gagu terhadap lawan bicara. Mengakibatkan saya merasa jadi anak paling aneh, semua mata seakan memperhatikan, menangkap gerak-gerik abnormal. Tekanan saat itu menggerus saya habis-habisan. Selama satu dua bulan, tangis yang ditahan seharian menghiasi kamar kosan F8. Haid saya absen 5 bulan. Rambut rontok berserakan.

Namun bagaimanapun, waktu punya caranya sendiri untuk menyembuhkan. Kulit Ketiak berkenalan dengan pisau cukur, seorang mahasiswa baru beradaptasi dengan kampusnya. Lambat laun, hari-hari berjalan sebagaimana mestinya. Dengan payung tertutup di tangan kanan seolah tongkat, sekarang saya mulai menegakkan badan ketika jalan di trotoar, dilindungi bayangan cemara-cemara Norfolk dari samping.

Bersenang hati ketika teman menawari tebengan. Tidak jauh-jauh beda dengan si bulu ketiak, beberapa hari kemudian dia tumbuh lagi dan ujungnya tidak setajam waktu baru dicukur. Permukaan kulit Ketiak yang satu berdamai dengan permukaan kulit Ketiak yang lain, rerumput di padang itu melembut. Dan begitulah hidup bergulir seharusnya. Ha ha.

Liburan, Serang, Januari 2018

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

yang berenang-renang dalam pikirannya sendiri.

CLOSE