Jika Jodoh di Tangan Tuhan, Akankah Kita Direstui-Nya?

Pertanyaan bernada judul di atas, akhir-akhir ini terus mengiang di kepalaku. Jodoh, apa maksudnya itu? pasangan hidup. Ya, jawabannya adalah pasangan hidup kelak. Aku dan kau, adalah pasangan muda-mudi yang saat ini tengah merajut cinta. Cinta kita, sama. Sama-sama saling mencintai dan merasa saling dimiliki.

Sikap mengalah, sikap saling mengerti sudah sangat lekat dan kental dalam hubungan kita hingga saat ini. Aku yang perlahan-lahan jemu dengan kesibukanmu yang membuatmu sering lupa tuk mengabari, kini telah terbiasa bahkan sudah kenyang dengan sikapmu yang sibuk itu. Sedang kau, mulai dari tak paham soal caraku merengek, hingga sekarang sudah sangat paham caraku merengek sampai mengerti apa yang menjadi penawarnya. Ya, kita terlampau tuk saling memahami. Hubungan kita memang begitu.

Usiamu juga bukan usia yang patut menjalani hubungan main-main, katamu padaku. Sedang aku, terlalu takut menjalani hubungan bernada serius yang selama ini kau senandungkan dalam hubungan kita. Sesekali topik yang kita bincangkan adalah mengenai pernikahan. Mengenai indahnya sebuah istana yang akan kita bangun bersama dengan generasi kita selanjutnya. Ya, aku pun bahagia jika membayangkan hal itu menjadi nyata. Namun, apa dayaku?

Sepertinya hal itu terlalu sulit untuk kita wujudkan bersama. Ada jurang sangat dalam yang harus kita lalui bersama, sayangku. Dalam jurang itu, ada sungai yang arusnya sangat deras dan kuat. Jika aku bahkan kau masuk di dalamnya, maka kita akan terhanyut dan hilang bersama dengan muaranya. Itu hanyalah pemikiranku, tapi aku sangat takut membayangkan kita jatuh dalam jurang itu. Karna itu, aku selalu menepi sangat jauh dari jurang itu dalam hubungan kita.

Tahukah kau, jurang apa yang kumaksud? Bukan soal orang ketiga, keempat dan seterusnya. Aku tahu, cintamu padaku sangat besar melebihi cinta pertamamu dulu. Aku sangat tahu, mengingat semua yang telah kau lakukan padaku. Tapi jurang itu bukan tetap tinggal di tempatnya sayang, jurang itu semakin mendekati hubungan kita saat ini.

Ya, soal agama. Mengapa kusebut agama sebagai jurang? Bukan maksudku mengolok-olok agama. Sungguh, bukan itu maksudku. Aku sangat mencintai agamaku, begitu pula kau. Kita mencintai agama kita, melebihi hubungan kita. Ya, itulah jawaban kita tentang agama yang kita anut. Cara kita mengenal Tuhan, cara kita memuja Tuhan, cara kita bercerita padaNya, cara kita mensyukuri berkatNya, semuanya sangat beda.

Sungguh, sangat berbeda. Aku berdoa dengan mata yang terpejam sambil melipat kedua tangan, sedang kau dengan serangkaian upacara doa yang kau laksanakan. Aku tahu dalam doa kita yang berbeda, seringkali namaku bahkan namamu berkumandang. Namaku bahkan namamu tak pernah luput dari doa-doa yang kita haturkan pada Tuhan. Aku juga terlampau tahu bahwa kita berdoa setiap waktu seraya merayu Tuhan, tuk memberikan akhir yang membahagiakan sebagai pasangan sehidup semati. Tapi bukankah jodoh di tangan Tuhan?

Ya. Pertanyaan itu selalu kutanyakan padamu, disetiap percakapan kita mengenai jodoh. Jawabmu, “aku percaya Tuhan yang memberikan pasangan hidup, tapi Ia berkehendak untuk tidak menikahi seseorang yang beragama berbeda”. Jawaban itu mengandaskan harapan-harapanku tuk bersama denganmu. Aku tahu, bahwa hubungan itu tak layak kita jalani. Hanya menambah dosa, menambah perih, mengeraskan luka hingga akhirnya patah hati tak berujung yang menyebabkan traumatis berkepanjangan. Lalu harus ku apakan cintaku padamu? Sedang aku pun sangat mencintai Tuhan.

Tak ada jawaban atas pertanyaan yang kutanyakan pada diriku sendiri. Sungguh, sama sekali tak ada jawaban. Hingga satu waktu kau bertanya, “bolehkah kita hidup bersama (menikah) namun tetap mempertahankan agama kita masing-masing?”. Ya!, jawabanku dengan perasaan bahagia yang meluap-luap. Setidaknya saat itu, kau adalah orang yang membuatku bahagia dan aku tak ingin kehilanganmu.

Hingga pada tahun kedua di tengah hubungan kita yang masih baik-baik saja, pernyataan yang sudah berlalu ini sudah sangat tertanam di memoriku. Aku terus mengingat pernyataan itu, hingga akhirnya aku kembali bertanya padamu dengan pertanyaan serupa yang pernah kau berikan padaku. Jawabanmu, sama denganku waktu itu. Ya, adalah jawabanmu. Kau meyakinkanku, tuk meyakinkan orangtuaku bahwa pernikahan beda agama tak selamanya buruk.

Katamu, kita akan baik-baik saja jika kita saling mencintai. Sedang katamu, orangtuamu tak mengapa jika pada akhirnya anak lelaki mereka akan menikahi seorang gadis yang beragama berbeda. Katamu, orangtuaku mencintai karaktermu bukan agamamu. Terdengarnya sangat menyegarkan pikiran yang tengah dahaga mencari penyegaran akan beban pikiran yang menyelimuti kepalaku, kala itu.

Justru sebaliknya, aku cukup terkejut mendengar semua itu, orangtuamu bahkan dirimu sendiri yang siap menjalani hubungan beda agama. Bagaimana denganku? Sungguh, aku tak siap. Sedari kecil, lingkunganku adalah orang-orang yang seiman. Kami pergi beribadah bersama, menyanyikan lagu-lagu pujian yang sama di gereja, hingga berdoa bersama.

Lalu apa rasanya jika kita serumah, tapi berdoa dan mengenal Tuhan dengan cara yang berbeda? bagaimana dengan masa depan pernikahan kita nanti? Akankah tak ada pertengkeran kecil hingga sangat besar seputar agama kita? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menari di kepalaku. Sungguh, aku rasa ini sangat sulit.

Aku memilih untuk beberapa bulan, melarikan diri dari hubungan kita. Saat kularikan diri dari hubungan kita, waktunya kupakai tuk berpikir jernih. Memikirkan tawaran-tawaranmu dengan kepala dingin. Bukan dengan egoku, tapi dengan keputusan bijakku. Setidaknya, keputusan ini kuambil karna kupimpin diriku sendiri tuk berpikir normal. Sejatinya, masalah kita ini masih enggan kubincangkan dengan kedua orang tuaku.

Aku tahu, bahwa orang tuaku akan begitu sulit menyetujuinya. Sedari kecil, aku didoktrin bahwa pernikahan seagama adalah yang paling baik. Sama-sama membimbing anak-anak menjadi anggota gereja, sama-sama mengajarkan anak-anak mencintai Tuhan. Begitulah yang juga aku anut, hingga rasa takutku sangat besar untuk memberitahu perihal hubungan asmaraku dengannya pada ayah dan ibu.

Setelah beberapa bulan aku pergi sementara dari kisah kita, aku kembali. Di sana, di hubungan kita, kau masih menungguku kembali. Katamu, hatimu berkali-kali menyatakan bahwa akulah yang dititipkan Tuhan padamu. Pertanyaanmu pun setelah aku kembali masih tetap sama, mengenai pernikahan beda agama.

Hingga akhirnya aku memberikan jawaban yang kutemukan setelah berpikir jernih, “aku tak bisa. Sulit rasanya, menikah dengan seseorang yang berbeda agama. Aku tahu, bahwa kita saling mencintai. Bagiku, cinta saja tak cukup dalam membangun hubungan di masa depan. Agama juga penting. Dalam pernikahan, kita mengaku sebagai satu di depan Tuhan. Dan janji itu, adalah janji yang sama-sama kita ikat serta ikrarkan pada Tuhan. Sedang aku takut, sangat takut untuk hidup bersama dengan orang yang menyebut Tuhan dengan sebutan berbeda. Aku pun mencintaimu, sangat mencintaimu. Sungguh, belum pernah kutemukan orang sepertimu dalam lingkungan agamaku. Tapi rasanya, masih sangat sulit untuk kita bersama, maafkan aku. Aku menyerah pada kisah kita”.

Ketika kuutarakan perihal ini, kuusahakan agar mataku tak berkaca-kaca, suaraku tak bergetar dan tanganku pun tak gemetaran ketika tatapanmu telah menelanjangi kejujuranku saat itu. Aku sudah siap, sudah sangat siap bahwa kisah ini telah berakhir. Dan ungkapan itu, adalah tanda bahwa aku telah menarik diri. Aku tak sanggup lagi bersama, bukan karna tak cinta. Tapi karna sangat cintanya aku padamu, maka kau berhak bahagia.

Kau hanya menatapku. Hanya tatapanmu yang membuatku, tak dapat lagi berbohong bahwa aku pun memiliki kecewa yang mendalam atas keputusanku itu. Sedang kau, masih dengan tegarnya memelukku seerat mungkin. Kau tak ingin aku menarik diri dari kisah yang membuat kita semakin dewasa dalam hal mencintai. Pelukanmu kala itu, membuatku tak mampu menahan tangis lagi, tak mampu menahan getarnya suaraku yang berserakan bahkan gemetarnya tanganku yang sudah tak mampu kusembunyikan lagi.

Ya, semuanya menjadi kelihatan di pelukan itu. Di pelukanmu yang menenangkanku, dari kencangnya badai masalah hubungan kita. Dalam pelukmu pun, aku tahu bahwa ada tangisan yang sama darimu, ada suara yang bergetar pula yang keluar dari mulutmu hingga isak tangis yang tak mampu kau sembunyikan lagi. Mengharu biru, ya mengharu biru pelukan kita. Pelukan yang bagiku adalah pertanda pamit dari pihak kita masng-masing.

Katamu, “jangan terburu-buru, sayang. Bisakah aku menunggumu tiga tahun lagi? ataukah kau butuh lima tahun? Aku siap menunggu. Kau dan agamaku, sama pentingnya bagiku. Aku tak ingin kehilangan keduanya. Ijinkan aku menunggumu selama tiga tahun. Aku mampu, sangat mampu tuk menunggumu. Kau membangunkanku, dari tidur panjangku perkara cinta. Cinta yang pernah membusukkan hatiku, kini kembali hidup dan segar karnamu. Hatiku pun berkali-kali meyakinkanku, bahwa kaulah orangnya. Orang yang selama ini kucari, dan kubutuhkan. Ketika kutemukan, aku hanya tak ingin kehilangan. Tolong, jangan tarik diri seperti ini. Kita belum berjuang bersama, bukan?.

Katamu kala itu, membuatku sadar. Benar, aku telah menyerah sebelum berjuang. Bukan karna aku tak mampu berjuang, sejatinya aku hanya ingin menyelamatkan diri jika memang kita bukan yang ditakdirkan oleh Tuhan. Supaya patah hatiku nanti, tak berkepanjangan. Setelah perkataanmu waktu itu, pelukanmu kuuraikan. Aku pergi, sedang kau menantikan jawabanku. Tapi lidahku beku, tak mampu berucap. Hingga akhirnya aku pergi.

Sebulan berlalu. Kau menghubungiku, tepat di perayaan hari Natal. Suara ketukan pintu, mengagetkanku. Suara yang sangat akrab di telingaku dan suara yang selama ini aku rindukan. Ya, itu suaramu. Aku pun kaget. Maksud kedatangannya pun, menantikan jawabanku atas pertanyaannya. Aku menyuruhnya pulang, namun dia tetap menunggu. Bagaimana bisa aku sejahat ini melangkah pergi darinya yang tetap bersikukuh tegap berdiri bersamaku?

Aku memintanya membawaku ke tempat lain agar kita bisa berbicara dengan baik, sebagai seorang kawan. Ya, hanya sebagai kawan yang dapat kukatakan. Hingga akhinya, pertanyaan yang sama terlempar dari mulutnya, “bolehkah kau kutunggu hingga tiga tahun? Sampai kau mengerti bagaimana berharganya kau untukku. Aku mohon, jangan hanya aku yang berjuang sendirian. Dapatkah kita berdua berjuang bersama? Kau kulayakkan dalam doaku tiap waktu, merayu pada Tuhan agar kaulah tujuanku. Kaulah tempat kusandarkan berjuta harapan. Kaulah alasan, kuberpeluh tuk masa depan kita. bisakah?

Aku tak sanggup lagi menahan tangisan yang tersimpan sebulan lamanya. Bahkan ketika aku sendiri pun, aku enggan menangis. Air mata yang membeku itu, seketika menjadi cair dan mencari jalan keluar ketika mendengar perkataanya kala itu. Aku hanya memeluknya dengan anggukan kepala. Hanya itu yang dapat kulakukan. Sejak saat itu, kita sama-sama berjuang. Berjuang untuk menerangkan hubungan yang selama ini kusembunyikan dari semua orang. Aku hanya ingin menerangkan, seterang-terangnya bahwa aku mencintai dia. Segalanya yang ada padanya.

Sayang, waktu ini kita telah memasuki tahun kedua. Masih belum ada yang berubah, masih sama. Orang tuaku menolak, menolak hubungan kita. Sudah setengah jalan perjalanan kita, dan aku tak mampu lagi menatap ke belakang. Aku siap menatap ke depan. Sesekali bayangan terburuk mengenai kandasnya hubungan kita, menghantuiku tiap malam. Namun saat ini, aku telah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi dalam hubungan kita. Perpisahan bahkan tangisan sebagai perarakannya pun, semuanya sudah aku siapkan. Setidaknya telah kusiapkan obat ketika luka itu datang sewaktu-waktu.

“Jika nyatanya beberapa tahun mendatang kau bertemu dengan gadis yang seiman denganmu dan mencintaimu sepenuh hati, jangan kau sia-siakan. Cepatlah, jadikan dia rumah masa depanmu”, pintaku padanya. Dia hanya menatapku lalu mengecup keningku. Katanya, “jika akhirnya memang begitu, yang paling terluka adalah aku. Lebih baik kau menikah lebih dulu, supaya aku menyerah. Sebab jika kau belum dimiliki, aku takkan pernah menyerah”.

Aku tersenyum lalu bertanya, “kau percaya jodoh di tangan Tuhan? Akankah kita direstui-Nya?”. Kedua kalinya, kecupan kening darinya padaku. Pelukannya pun menenangkanku. Katanya, “sudah kurayu Tuhan, jawabannya belum kutemukan. Mungkin masih dipertimbangkanNya. Tuhan pun punya hati, Ia tak mungkin memisahkan dua insan yang sangat mencintai. Sudahkah kau rayu Tuhanmu?”

Aku hanya tersenyum mendengar jawabnya. “Masih sedang kurayu Tuhan, sama. Jawabannya pun belum kutemukan, namun aku siap jika memang kita pada akhirnya tak direstui olehNya”. Jawabku dalam hati. Tak ingin kuutarakan padanya. Setidaknya, biarlah tiga tahun ini kita sama-sama berjuang mengenai arah hubungan ini.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pengkhayal tentang uniknya cinta. Temui aku disana, kamu. ellasermatang.wordpress.com